Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pajak untuk Siapa?

Topswara.com -- Sebagaimana kita ketahui, di negeri kita pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara. Pajak dinegeri kita merupakan instrumen yang memiliki peranan penting dalam menopang pembiayaan negara.

Maka wajar jika negara mati-matian dalam memungut pajak baik dari perseorangan maupun badan usaha. Hampir 75 persen hingga 85 persen pembangunan infrastruktur negara bersumber dari pajak.

Setiap orang dan daerah pun didorong untuk taat pajak. Seperti yang disampaikan oleh sekretaris daerah kabupaten Garut, Nurdin Yana, dalam acara penyerahan penghargaan kepada wajib pajak atas kontribusi penerimaan pajak KPP pratama kabupaten Garut tahun 2023. 

Dalam sambutannya, Nurdin Yana menekankan pentingnya kesadaran para wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan pajak dengan benar dan tepat waktu. (garutkab.go.id/17/05/2024)

Inilah hasil dari penerapan sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme memang menjadikan pajak dan utang negara sebagai sumber pendapatan negara. Oleh sebab itu, maka berbagai slogan dilontarkan demi mendorong masyarakat taat pajak. 

Bahkan dalam pasal 4 ayat (1) UU No. 28 tahun 2007 disebutkan bahwa pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terhutang oleh individu atau badan yang bersifat memaksa. Maka jelas bahwa kebijakan pajak adalah suatu bentuk paksaan dan zalim kepada rakyat. 

Inilah wajah buruk sistem kapitalisme. Rakyat terus menerus diperas meskipun sedang dalam keadaan kritis akibat menanggung beban hidup yang sangat sulit. Pajak hanya semakin menambah kesulitan hidup rakyat. 

Bagaikan lintah darat yang menghisap darah rakyat nya hingga tetesan terakhir. Manfaat pajak yang digadang-gadang kelak akan diperuntukkan demi kesejahteraan rakyat dan kebutuhan negara adalah isapan jempol belaka.

Menteri keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, penerimaan pajak anjlok pada maret 2024. Total penerimaan pajak hingga maret 2024 atau selama kuartal I-2024 hanya sebesar Rp 393,9 triliun. Realisasi ini turun 8,8 persen dari penerimaan pajak periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 431,9 triliun. (cnbcindonesia.com/26/4/2024)

Mirisnya, berkurangnya target penerimaan pajak memicu negara mengeluarkan berbagai kebijakan yang membantu para pengusaha seperti tax amnesty dan insentif lainnya. 

Negara juga dapat mengubah aturan terkait pajak tanpa dianggap melanggar aturan yang telah ditetapkan. Inilah keburukan dan kecurangan kapitalisme. Demi mendapatkan keuntungan dan sumber pemasukan, bisa melakukan apa saja. 

Sangat jauh berbeda dalam sistem Islam. Pajak dalam Islam bukan untuk kemaslahatan rakyat dan bukan pula menjadi sumber utama pendapatan negara. 

Dalam sistem Islam yaitu khilafah, seorang khalifah tidak akan menetapkan pajak atau biaya apapun terhadap pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, jalan umum, tarif listrik, air, pengurusan surat-surat kendaraan, pajak bangunan dan lain-lain. 

Pajak (dharibah) dalam Islam adalah alternatif terakhir yang akan ditempuh oleh khilafah ketika baitul maal negara dalam keadaan kosong sementara negara harus tetap membiayai berbagai kebutuhan masyarakat yang sangat penting seperti kebutuhan dasar, gaji pegawai dan tentara, jihad dan lain-lain. 

Maka dalam hal ini, negara akan memungut pajak. Namun, pajak hanya akan di pungut dari kaum muslim yang dinilai mampu. Dalam hal ini, perhitungan pendapatan nya akan dikurangi dengan segala kebutuhannya, setelah ada kelebihan dari perhitungan tersebut maka dia dikenakan pajak. 

Pajak juga tidak akan dipungut terus menerus oleh negara. Jika kondisi keuangan negara sudah stabil maka pajak akan dihentikan.

Begitu jelas pandangan Islam terhadap pungutan pajak. Islam tidak akan menzalimi rakyat nya. Bahkan Islam (khilafah) akan mensejahterakan dan melayani rakyatnya. Kita bisa melihat bagaimana penerapan Islam pada masa khilafah benar-benar mampu mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. 

Pada masa khalifah Umar Bin Abdul Aziz, zakat melimpah ruah di baitul maal, hingga petugas zakat kesulitan mencari orang miskin atau yang membutuhkan pendistribusian zakat. Sebab, rakyat dalam kondisi sejahtera dalam naungan khilafah. 

Sungguh jauh berbeda dengan kehidupan umat dalam naungan kapitalisme saat ini. Sejak runtuh nya khilafah 100 tahun yang lalu, rakyat hidup dalam kekurangan, kemiskinan, kezaliman dan kesengsaraan. Maka, jika kita mengharapkan kehidupan yang baik dan sejahtera hanya akan kita temukan dalam naungan khilafah islamiah.

Wallahu A'lam Bishawab.


Oleh: Faridah Marpaung 
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar