Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Nasib Pilu Dosen

Topswara.com -- “Saya dosen, saya buruh.” Kalimat ini pernah ramai dan menjadi topik hangat di tahun 2023. Pernyataan ini dimaksudkan untuk menegaskan keberadaan dosen yang meskipun notabene mereka menyandang gelar sebagai kaum intelektual, kenyataannya statusnya sama seperti pekerja lainnya. 

Terlebih setelah terbitnya Permen Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 1/2023 tentang Jabatan Fungsional. 

Dikutip dari laman berita TEMPO.CO. Hasil penelitian yang dilakukan Serikat Pekerja Kampus (SPK) mengungkapkan bahwa mayoritas dari dosen menerima pendapatan bersih kurang dari Rp 3 juta di kuartal pertama tahun 2023. Hal ini juga terjadi pada dosen yang telah mengabdi selama lebih dari enam tahun.

Secara umum, upah dosen di Indonesia masih jauh dari kata layak. Mereka mendapat gaji di kisaran Rp 2 juta hingga Rp 5 juta dalam 1 bulan. Jika ingin mendapat pendapatan diatas Rp 5 juta per bulan, mereka harus melakukan pekerjaan sampingan atau berburu program hibah kompetitif dalam penelitian maupun pengabdian di masyarakat. 

Hal itu pun tentu dengan konsekuensi seperti tri dharma lainnya misalnya juga mengajar harus terseok- seok mengikuti padatnya program penelitian dan pengabdian dengan seabrek administrasinya. 

Para dosen harus memenuhi banyak beban administrasi agar angka kredit yang belum mereka klaim tidak hangus. Adanya aturan tersebut semakin menegaskan gambaran dosen di Indonesia yang kian miris. Mereka disibukkan dengan banyak beban administrasi, namun kepayahan mereka menjalankan tugas tak berbanding lurus dengan upah yang dapat menjamin kesejahteraan. 

Perbincangan mengenai hal ini sesungguhnya sudah banyak mewarnai ruang-ruang diskusi para akademisi. Namun sayang, perbincangan ini kerap berakhir tanpa solusi hingga akhirnya menguap dengan sendirinya. Paling banter berhenti pada nasihat dan pesan-pesan moral untuk mengedepankan rasa syukur saja. 

Memang benar, bersyukur dengan apa yang kita dapat adalah bagian dari keimanan. Hanya saja, ini tidak boleh menghalangi munculnya pemikiran kritis guna menelaah akar masalah yang terjadi. Ketika membahas perihal kesejahteraan, tentu tidak semata berpijak pada kehidupan individu. 

Setiap individu berhak memperoleh kehidupan layak dan hidup sejahtera serta mampu memenuhi kebutuhannya secara manusiawi. Jika berkaca pada realitas masyarakat kapitalistik saat ini, kita bisa melihat mayoritas kehidupan masyarakat jauh dari kata sejahtera. 

Dunia pendidikan sendiri menyimpan banyak kisah kelam, terlebih setelah terjadinya liberalisasi pendidikan tinggi. Berlakunya kebijakan ini tidak hanya menjadikan pendidikan tinggi sebagai barang mewah bagi masyarakat menengah ke bawah, lebih luas lagi kebijakan kapitalistik di pendidikan tinggi juga berdampak pada dosen sebagai tenaga pengajarnya. 

Kehidupan ekonomi kapitalis yang diwarnai dengan harga kebutuhan melangit seolah menjadi pil pahit bagi para akademisi.

Jika kita telaah lebih dalam sejatinya masalah yang menjerat para dosen saat ini adalah masalah yang bersifat sistemik. Setidaknya kita dapat menilai hal itu dari dua sisi. Pertama, akibat peran negara yang terabaikan. Kedua, akibat dari diterapkannya kebijakan sekuler kapitalistik yang membuat rakyat hidup dalam keadaan serba sulit. 

Kedua hal ini yang perlu kita komparasi dengan sistem Islam dan kita telaah secara mendalam dengan pemikiran Islam untuk mendapat pemecahan permasalahan.

Dalam Islam, siapapun yang mendapat amanah sebagai penguasa maka ia harus menjalankan fungsinya sebagai pengurus dan pelindung rakyat yang ada dalam penguasaanya. Maka dari itu, negara tidak boleh abai dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya secara sempurna. 

Dalam hal pendidikan, negara wajib menyelenggarakan pendidikan secara gratis dan berkualitas termasuk menyediakan sarana dan prasarana serta menjamin ketersediaan SDM berkualitas untuk melahirkan generasi cerdas dan berkepribadian Islam. 

Peran strategis para akademisi ini membuat negara berkewajiban untuk mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan mereka. 

Melalui pembiayaan berbasis baitulmal, negara memenuhi kebutuhan rakyat tanpa terkecuali. Negara memaksimalkan pemasukan dari pos-pos pendapatan negara berupa pemasukan tetap seperti fai, ghanimah, anfal, kharaj dan jizyah. Juga pemasukan yang didapat dari harta kepemilikan umum dan harta kepemilikan negara.

Melalui mekanisme tersebut, kita dapat menapaktilasi jejak sejarah kekhilafahan Islam yang mampu memberi penghargaan kepada para pengajar dengan upah yang menghantarkan mereka pada kesejahteraan. 

Sudah mahsyur apa yang diriwayatkan Imam ad-Dimasyqi bahwa khalifah Ummar bin Khaththab menggaji guru di Madinah senilai 15 dinar. Raghib as-Sirjani dalam kitab Madza Qaddama al-Muslimuna li al’Alam menerangkan bahwa pada masa Daulah Abbasiyah, gajinya bahkan mencapai 200 dinar.

Negara yang memahami peran strategis pendidikan dalam mencetak generasi penerus peradaban, jelas akan mempersiapkan seluruh perangkat yang menunjang terlaksananya pendidikan. Hal ini tentu erat kaitannya dengan kemampuan negara dalam mewujudkan kesejahteraan tenaga pengajar sebagai bentuk tanggung jawab negara terhadap rakyatnya.

Wallahu’alam bishawab.


Oleh: Eva Lingga Jalal 
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar