Topswara.com -- Gaji pendidik bercanda, padahal pekerjaannya serius. Giliran yang pekerjaannya cuma bercanda tetapi mendapatkan gaji serius. Inilah fakta yang terjadi di negeri ini. Pendidik baik guru maupun dosen gajinya rendah, giliran artis yang pekerjaannya cuma bercanda mendapat gaji ratusan juta bahkan miliaran. Ironi hidup di sistem kapitalisme sekuler, penghibur mendapatkan gaji yang fantastis daripada mereka yang berjuang mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sebenarnya biaya pendidikan tinggi di negeri ini juga sangat mahal, tetapi ketika mereka lulus, masih banyak yang tidak mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak untuk hidup. Begitu pun dosen yang telah berjuang belajar menempuh S2 juga mendapatkan gaji yang tidak besar. Dikutip dari bbc.com (25-2-2024), sejumlah dosen mengungkapkan gaji mereka yang masih di bawah Upah Minimum Regional (UMR) di media sosial, disertai dengan tagar #JanganJadiDosen. Pengamat pendidikan menyebut gaji dosen rendah dapat berdampak buruk pada kualitas pendidikan di perguruan tinggi.
Menurut hasil survei dari tim riset kesejahteraan dosen dari Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) yang melibatkan 1.200 dosen dari berbagai institusi yang dikutip dari bbc.com, sebanyak 42,9% menerima gaji yang masih di bawah Rp3 juta per bulan. Padahal, sebagian besar menyatakan harus mengeluarkan biaya hidup per bulan sebesar Rp 3-10 juta. Bahkan, sekitar 12,2% memiliki pengeluaran bulanannya lebih dari Rp10 juta.
Apabila mengamati lebih jauh kondisi pendidikan di negeri ini, wajar jika pemerintah kurang bisa menghargai para akademisi. Pertama, pemerintah hari memiliki sudut pandang sekuler kapitalisme dalam mengelola pendidikan. Dampak dari sudut pandang ini, pemerintah membiarkan pendidikan tinggi diprivatisasi, diliberalisasi, dan dikapitalisasi. Beban biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi dibebankan ke kampus, kampus harus meminimalisir pengeluaranpengeluaran, seperti gaji dosen dan sebagai.
Pendidikan adalah hak segala bangsa, bagaimana yang terjadi jika urusan pendidikan diserahkan ke pasar? Dijadikan ladang bisnis dan meraup cuan? Walhasil peserta didik dicekik dengan biaya yang sangat mahal dan gaji dosen rendah. Karena mekanisme perguruan tinggi diserahkan ke pasar dan negara lepas tangan. Para dosen akhirnya tidak lebih seperti buruh yang digaji rendah tetapi memiliki tanggung jawab yang besar dalam memberikan pendidikan kepada mahasiswanya.
Kedua, sistem kapitalisme menjadikan dosen buruh riset dan abai terhadap tanggung jawab mendidik mahasiswa. Dikutip dari bbc.com, Berdasarkan PP Nomor 15 Tahun 2019, seorang dosen PNS lulusan S2 yang baru memulai kariernya sebagai dosen (golongan IIIb) mendapatkan gaji pokok sebesar Rp2,6 juta. Mereka yang masih berstatus CPNS bahkan hanya bisa membawa pulang 80% gaji pokok tersebut. Baru setelah dua hingga tiga tahun, dosen biasanya mulai mendapatkan tunjangan. Berdasarkan Perpres Nomor 65 Tahun 2007, jumlahnya sebesar Rp 375.000 setelah mereka diangkat jadi Asisten Ahli.
Melihat besaran gaji di atas, banyak dosen beramai-ramai melakukan penelitian dan riset, alasannya demi mendapatkan penghasilan tambahan, sehingga waktunya habis untuk itu. Belum lagi, jika mereka masih mencari pekerjaan sampingan yang mengalihkan tugas utama mereka sebagai akademisi. Inilah akibat jika kondisi dosen tidak sejahtera karena tekanan ekonomi kapitalisme dan rendahnya gaji mereka.
Ketiga, perjanjian internasional GATS dan WTO menjadikan pendidikan tinggi sebagai komoditas jasa yang dikapitalisasi. Dampak dari kesepakatan internasional perdagangan jasa atau General Agreement On Trade And Service (GATS), pendidikan menjadi salah satu dari 12 komoditas jasa yang dapat diliberalisasi dan diperdagangkan. Indonesia adalah salah satu anggota World Trade Organization (WTO), tentunya Indonesia turut membuat kebijakan-kebijakan yang merujuk pada ketentuan WTO. Sebenarnya akibat dari kesepakatan ini, pemerintah lepas tangan dalam pembiayaan perguruan tinggi dan itu berdampak pada rendahnya gaji dosen.
Sebenarnya biaya pendidikan tinggi di negeri ini juga sangat mahal, tetapi ketika mereka lulus, masih banyak yang tidak mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak untuk hidup. Begitu pun dosen yang telah berjuang belajar menempuh S2 juga mendapatkan gaji yang tidak besar. Dikutip dari bbc.com (25-2-2024), sejumlah dosen mengungkapkan gaji mereka yang masih di bawah Upah Minimum Regional (UMR) di media sosial, disertai dengan tagar #JanganJadiDosen. Pengamat pendidikan menyebut gaji dosen rendah dapat berdampak buruk pada kualitas pendidikan di perguruan tinggi.
Menurut hasil survei dari tim riset kesejahteraan dosen dari Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) yang melibatkan 1.200 dosen dari berbagai institusi yang dikutip dari bbc.com, sebanyak 42,9% menerima gaji yang masih di bawah Rp3 juta per bulan. Padahal, sebagian besar menyatakan harus mengeluarkan biaya hidup per bulan sebesar Rp 3-10 juta. Bahkan, sekitar 12,2% memiliki pengeluaran bulanannya lebih dari Rp10 juta.
Apabila mengamati lebih jauh kondisi pendidikan di negeri ini, wajar jika pemerintah kurang bisa menghargai para akademisi. Pertama, pemerintah hari memiliki sudut pandang sekuler kapitalisme dalam mengelola pendidikan. Dampak dari sudut pandang ini, pemerintah membiarkan pendidikan tinggi diprivatisasi, diliberalisasi, dan dikapitalisasi. Beban biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi dibebankan ke kampus, kampus harus meminimalisir pengeluaranpengeluaran, seperti gaji dosen dan sebagai.
Pendidikan adalah hak segala bangsa, bagaimana yang terjadi jika urusan pendidikan diserahkan ke pasar? Dijadikan ladang bisnis dan meraup cuan? Walhasil peserta didik dicekik dengan biaya yang sangat mahal dan gaji dosen rendah. Karena mekanisme perguruan tinggi diserahkan ke pasar dan negara lepas tangan. Para dosen akhirnya tidak lebih seperti buruh yang digaji rendah tetapi memiliki tanggung jawab yang besar dalam memberikan pendidikan kepada mahasiswanya.
Kedua, sistem kapitalisme menjadikan dosen buruh riset dan abai terhadap tanggung jawab mendidik mahasiswa. Dikutip dari bbc.com, Berdasarkan PP Nomor 15 Tahun 2019, seorang dosen PNS lulusan S2 yang baru memulai kariernya sebagai dosen (golongan IIIb) mendapatkan gaji pokok sebesar Rp2,6 juta. Mereka yang masih berstatus CPNS bahkan hanya bisa membawa pulang 80% gaji pokok tersebut. Baru setelah dua hingga tiga tahun, dosen biasanya mulai mendapatkan tunjangan. Berdasarkan Perpres Nomor 65 Tahun 2007, jumlahnya sebesar Rp 375.000 setelah mereka diangkat jadi Asisten Ahli.
Melihat besaran gaji di atas, banyak dosen beramai-ramai melakukan penelitian dan riset, alasannya demi mendapatkan penghasilan tambahan, sehingga waktunya habis untuk itu. Belum lagi, jika mereka masih mencari pekerjaan sampingan yang mengalihkan tugas utama mereka sebagai akademisi. Inilah akibat jika kondisi dosen tidak sejahtera karena tekanan ekonomi kapitalisme dan rendahnya gaji mereka.
Ketiga, perjanjian internasional GATS dan WTO menjadikan pendidikan tinggi sebagai komoditas jasa yang dikapitalisasi. Dampak dari kesepakatan internasional perdagangan jasa atau General Agreement On Trade And Service (GATS), pendidikan menjadi salah satu dari 12 komoditas jasa yang dapat diliberalisasi dan diperdagangkan. Indonesia adalah salah satu anggota World Trade Organization (WTO), tentunya Indonesia turut membuat kebijakan-kebijakan yang merujuk pada ketentuan WTO. Sebenarnya akibat dari kesepakatan ini, pemerintah lepas tangan dalam pembiayaan perguruan tinggi dan itu berdampak pada rendahnya gaji dosen.
Cengkeraman kapitalisme membuat negara abai terhadap nasib pendidik, dosen tak ubah seperti buruh yang diperas tenaga dan pikiran untuk menjalankan roda kapitalisme. Apa pun perjuangan yang dilakukan para akademisi yang memperjuangkan haknya akan sia-sia, jika pangkal masalah sistem kapitalisme tetap diterapkan di negeri ini. Karena sumber malapetaka yang menimpa pendidikan adalah asas sekuler dan kapitalisme yang melatarbelakangi berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Hanya dengan kembali pada sistem Islam, nasib akademisi bisa disejahterakan. Karena Islam memandang pendidikan adalah tanggung jawab negara bukan pasar. Negara wajib menyelenggarakan pendidikan yang dapat diakses publik dengan biaya cuma-cuma.[]
Oleh. Ika Mawarningtyas
Direktur Mutiara Umat Institute
0 Komentar