Topswara.com -- Biaya pendidikan sekolah tinggi terus merangkak naik. Biaya UKT disebut-sebut naik, kenaikannya pun tidak tanggung-tanggung, ada yang lebih dari lima kali lipat.
Sebut saja, beberapa kampus ternama di negeri ini, diantaranya Universitas Indonesia yang "membanderol" uang pangkal hingga Rp 40 juta hingga Rp 161 juta (detiknews.com, 5/5/2024). Dengan kisaran UKT (Uang Kuliah Tunggal) mencapai Rp 8 juta hingga Rp 10 jutaan per semester. Angka yang fantastis.
Gelombang protes terjadi dimana-mana. Mahasiswa berteriak. Di tengah kondisi ekonomi yang terpuruk, akankah nasib pendidikan kian memburuk?
Menanggapi ribut-ribut mahalnya UKT, Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi), M. Budi Djatmiko mengungkapkan, kenaikan UKT itu tidak secara langsung berdampak ke kampus swasta.
Namun sayangnya, masih banyak pemahaman masyarakat bahwa kampus favorit adalah kampus negeri (jawapos.com, 11/5/2024). Mau tidak mau, masyarakat tetap mengincar kampus berstatus negeri demi label "favorit". Budi pun menyatakan bahwa kenaikan biaya kuliah mestinya dicover dari APBN. Bukan dibebankan pada biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat melalui skema UKT.
Semestinya universitas negeri merekrut mahasiswa dengan mengedepankan kualitas, bukan dengan metode pukat harimau yang menjaring dan menjebak mahasiswa sebanyak-banyaknya. Demikian lanjut Budi.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian mengaku prihatin dengan keadaan saat ini. Perguruan tinggi seharusnya tidak berbisnis mencari untung dengan mahasiswa untuk pembangunan kampus (mediaindonesia.com, 9/5/2024).
Hetifah menegaskan kenaikan UKT yang berlipat-lipat karena adanya status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). Status tersebut menjadikan perguruan tinggi memiliki kemandirian secara otonomi baik di bidang akademik maupun non akademik. Status kampus yang berubah menciptakan terbentuknya kewenangan mutlak bagi PTN untuk menentukan kebijakan tanpa campur tangan dari pihak lain.
Komersialisasi Pendidikan
Pengelolaan pendidikan dalam garis batas bisnis komersialisasi, jelas merugikan masyarakat secara sistematis. Penerapan status PTNBH, PerguruanTinggi Negeri Berbadan Hukum, menguatkan fakta tentang angkat tangannya negara dalam pengurusan pendidikan.
Negara yang seharusnya mengelola, justru pergi begitu saja. Kini, negara hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator belaka. Negara hanya memposisikan dirinya sebagai pembuat aturan yang "membuka angin segar" bagi kepentingan oligarki kapitalis.
Pendidikan dianggap sebagai komoditas yang bakal "laris-manis" dijadikan obyek bisnis karena sektor pendidikan adalah sektor strategis yang dibutuhkan setiap rakyat.
Masalah biaya pendidikan yang kini terus mengemuka, hanyalah salah satu masalah ruwet diantara banyaknya masalah pendidikan yang kini ada. Semua masalah lahir dari buruknya pengelolaan sistem ekonomi, politik, dan pendidikan di tangan sistem kapitalisme sekularistik.
Sistem yang hanya mengutamakan keuntungan materi dari setiap kebijakan yang ditetapkan. Sistem rusak ini terus menghimpit kehidupan masyarakat secara sistematis dan terstruktur.
Sehingga semua masalah yang saat ini hadir hanya mampu dieliminasi dengan solusi sistematis. Yakni mengembalikan sistem pada pengaturan Sang Pencipta dengan memposisikan negara sebagai khadimatul ummah, pelayan umat.
Layanan Pendidikan dalam Islam
Pendidikan merupakan satu sektor penting dalam kehidupan masyarakat. Dan negara mempunyai peran yang dominan dalam pelayanan terhadap setiap kebutuhan umat.
Rasulullah SAW. bersabda,
"Imam adalah ra'in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya" (HR. Al Bukhari).
Penerapan sistem Islam akan dilakukan secara komprehensif di setiap bidang. Baik di bidang politik kebijakan maupun ekonomi sehingga mampu mengendalikan dan mengurusi sektor pendidikan secara menyeluruh dan mandiri, yakni masalah kebijakan dan anggarannya.
Konsep ini hanya mampu diterapkan dalam sistem Islam dalam institusi khilafah. Satu-satunya institusi yang amanah menerapkan syariah. Dengan paradigma tersebut, khilafah akan menyiapkan anggaran pendidikan yang mampu mengcover seluruh kebutuhan rakyat, mulai pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.
Dana yang digunakan berasal dari pos-pos Baitul Maal. Salah satu pemasukan Baitul Maal berasal dari hasil pengaturan sumberdaya alam yang dikelola negara secara mandiri, terencana dan terarah untuk setiap kebutuhan individu rakyat.
Tidak hanya itu, pos Baitul Maal juga diperoleh dari pembayaran jizyah, kharaj, fa'i dan ghanimah. Sehingga negara tidak perlu mengambil biaya pendidikan dari rakyat. Inilah mekanisme yang menjadi ciri khas khilafah.
Pendidikan generasi terjamin sempurna, dengan basis akidah Islam. Potensi generasi optimal terwujud dalam tuntunan syariah yang amanah. Hidup penuh berkah dengan rahmat melimpah.
Wallahu'alam Bisshawab.
Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor
0 Komentar