Topswara.com -- Bulan lalu tepatnya tanggal 27 April 2024 beredar video viral remaja di Bandung sedang melakukan perundungan dengan cara memukul kepala korban menggunakan botol, parahnya hal tersebut disiarkan secara langsung di akun TikTok pelaku.
Setelah itu, pelaku kembali membuat siaran langsung baru di akun TikTok -nya sambil mengatakan bahwa pamannya adalah seorang jenderal. Meski demikian ia tidak takut dibui atau dipenjara. Pernyataan itu disampaikannya sembari makan mie instan ditemani beberapa orang temannya (jabar.idntimes.com 27/04/2024).
Di awal bulan Mei ini juga terdapat video viral tiga remaja perempuan sedang mabuk di area persawahan di Kabupaten Blitar. Dua pelaku masih bersekolah SMP, satu orang lagi bahkan masih MI. Salah satu di antara ketiganya bahkan ada yang tiduran di tengah jalan persawahan, ada pula yang terlihat sedang merokok.
Pihak kepolisian mengatakan bahwa kasus ini telah diselesaikan dengan mengembalikan tiga remaja itu kepada orang tua/wali karena masih di bawah umur. Sebelumnya mereka diminta untuk menulis surat agar tidak mengulangi perbuatan serupa (detik.com 03/05/2024).
Standar Buram Kehidupan
Berbagai peristiwa ini telah menunjukkan bahwa saat ini berbuat maksiat bukan lagi hal yang memalukan, bahkan telah dengan berani dipertontonkan hingga menjadi bahan guyonan. Atmosfer seperti ini tentu tidak menunjukkan keadaan yang sedang baik-baik saja, namun sedang dalam posisi kehidupan yang rusak dan hina.
Kerusakan ini diawali dengan standarisasi amal yang telah kacau di tengah kehidupan. Manusia dianggap sebagai makhluk yang berhak menentukan segalanya. Salah benar, baik buruk semua berdasarkan hawa nafsu. Standar ini telah merasuk ke segala lini, hingga berbagai regulasi ditetapkan sesuai maunya makhluk berakal ini.
Padahal sejatinya manusia tidak pantas diberi kedaulatan, sebab sebagai makhluk tentu dia diliputi keterbatasan. Belum lagi tabiat manusia yang penuh dengan kepentingan dan mudah terpengaruh pada lingkungan tempat dia tinggal, bagaimana makhluk seperti ini pantas diberi kedaulatan?
Dalam aspek individu, kerusakan telah membuat makin melemahnya ketakwaan diri. Dia bisa saja menjadikan apa yang dilakukan oleh orang kebanyakan sebagai standar pembenar perbuatan. Di masyarakat, kerusakan yang terjadi berakibat makin menjauhnya mereka dari amal saling memberi nasihat.
Mereka merasa tidak memiliki tanggung jawab untuk mengajak orang lain pada kebaikan dan mencegahnya dari kemaksiatan. Hilanglah rasa empati bahkan simpati di tengah masyarakat.
Di bidang pendidikan misalnya, kesusksesan hanya diletakkan pada capaian-capaian angka dan materi, tanpa peduli kepribadian generasi. Pelajaran agama justru makin diminimalisi.
Hasilnya, mereka bersekolah tetapi dalam kehidupan seperti hama, mereka berilmu tapi malah jadi benalu. Di bidang peradilan, kerusakanpun tak kalah parah. Berbagai sanksi yang telah ditetapkan dan disahkan oleh manusia telah menghasilkan hukuman yang minus efek jera.
Hasilnya kriminalitas bukan berkurang justru makin bertambah. Bahkan tanpa ragu dibuat konten dan guyonan di media.
Pangkal semua kerusakan ini adalah standar yang salah, manusia harusnya hanya sebagai pelaksana aturan. Kedaulatan atau suara tertinggi hanya ada pada Allah Ta'ala Sang Pencipta. Sudah seharusnya setiap hal ditetapkan dan dijalankan sesuai aturan-Nya.
Benarlah firman Allah Ta'ala, "Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?" (QS. Al-Maidah [5]: 50).
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit.. (QS Thaha [20]: 124).
Oleh: Noor Dewi Mudzalifah
Aktivis Dakwah
0 Komentar