Topswara.com -- Dunia tidak baik-baik saja. Sebagaimana yang beredar di media massa kelaparan terus melanda dunia dari tahun ke tahun. Tidak lain disebabkan oleh kekurangan pangan, dan anaklah serta perempuanlah yang menjadi korbannya. Tidak jarang dijumpai anak-anak dan perempuan tinggal tulang dibungkus oleh kulit. Sangat miris dan memprihatinkan bukan.
Sebagaimana yang dilansir oleh CNBC Indonesia, Organisasi Pangan Dunia atau FAO yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengungkapkan masih banyaknya kelaparan akut di 59 negara atau wilayah, dengan jumlah 1 dari 5 orang di negara itu mengalami kelaparan akibat permasalahan pangan akut.
Berdasarkan laporan mereka bertajuk Global Report on Food Crises 2024, tercatat sebanyak 282 juta orang di 59 negara mengalami tingkat kelaparan akut yang tinggi pada 2023. Jumlah orang kelaparan pada 2023 itu meningkat sebanyak 24 juta orang dari tahun sebelumnya. (4/5/2024).
Juga dilansir oleh Antara, jumlah penduduk dunia yang menghadapi kerawanan pangan akut melonjak menjadi sekitar 282 juta orang pada 2023, kata Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) pada Rabu (24/4). Angka ini menunjukkan peningkatan 24 juta orang sejak 2022, sebut FAO dalam Laporan Krisis Pangan Global terbarunya.
Jumlah penduduk dunia yang berada di ambang kelaparan juga meningkat menjadi lebih dari 700.000 orang pada tahun lalu, hampir dua kali lipat dari angka yang tercatat pada 2022 (25/4/2024).
Kelaparan akut dan ancaman kelaparan di dunia meningkat karena berbagai faktor. Diantaranya sering terjadinya konflik dan bencana alam. Tetapi sayangnya di satu sisi segelintir orang memiliki kekayaan di atas rata-rata, sementara di sisi yang lain tidak berkecukupan bahkan rumput pun mereka memakannya untuk melanjutkan kehidupan mereka.
Lalu siapa yang bertanggung jawab atas semua ini? Ataukah memang di dalam sistem hari ini harus individu rakyat yang menanggung dirinya sendiri dan bertanggung jawab atas dirinya? Baik itu urusan pendidikan, ekonomi, kesehatan, hukum, dan lain sebagainya harus rakyat berjuang sendiri.
Lalu, apa arti dari penguasa jika tidak bertanggung jawab atas rakyatnya? Bukankah dikatakan bahwa bea cukai atau pajak yang sering didengungkan oleh penguasa sistem ini dimanfaatkan untuk kebutuhan rakyat dan demi kesejahteraan rakyat pula?
Jika memang penguasa tidak mampu mengurusi rakyat, maka sudah nyata bahwa sistem hari ini gagal menyejahterakan rakyat sampai-sampai kelaparan akut menyerang 59 negara.
Padahal jika ditelisik di berbagai wilayah yang berdampak kelaparan akut, wilayah mereka awalnya kaya akan sumber daya alam. Namun sistem hari ini pada dasarnya, tidak perduli terhadap urusan rakyat.
Ditambah lagi sistem ekonominya di berbagai negeri hari ini juga mengadopsi sistem ekonomi kapitalisme. Di mana sistem ini tidak memiliki mekanisme menjamin kesejahteraan rakyat. Para penguasa dan pengusahalah yang saling menyejahterakan.
Penguasa memberikan wewenang penuh kepada para pengusaha untuk menguasai ekonomi, bahkan para pengusaha juga memiliki andil untuk membuat hukum. Itu sebuah keniscayaan ketika diatur dengan sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme juga meniscayakan penguasaan SDA di berbagai negara miskin dan berkembang melalui penjajahan gaya baru.
Para pengusaha (kapital) melalu penjajahan gaya baru, menjarah dan menguasai seluruh SDA yang ada di wilayah jajahannya untuk kepentingan diri mereka sendiri. Maka, mustahil rakyat akan diperlihatkan, rakyat mau hidup atau mati kelaparan itu bukan urusan mereka.
Juga sedikitnya lapangan kerja dan rendahnya upah menjadi wajah sistem ini. Rakyat diminta berjuang sendiri untuk bisa sekedar makan. Akibatnya terjadi kesenjangan kesejahteraan. Yang kaya makin kaya, sedangkan yang miskin makin melarat. Miris sungguh miris.
Dengan keadaan dunia seperti ini yang semakin nyata menjarah rakyat dari segala sisi, tidakkah kita berpikir untuk mengembalikan dunia yang penuh dengan keberkahan dan kesejahteraan dan satu-satunya yang diperhatikan adalah rakyat?
Hanya saja, kita harus keluar dari lingkaran sistem kapitalisme terlebih dahulu agar mendapatkan kesejahteraan dan mencari sistem apa yang bisa menggantikan posisi sistem rusak ini.
Ternyata sebelum sistem rusak ini berkuasa, ada satu sistem yang mampu menyejahterakan rakyat tanpa membedakan warna kulit, ras, dan agama ketika hidup di dalamnya. Sistem kehidupan itu adalah sistem Islam.
Secara historis maupun empiris telah terbukti selama kurang lebih 14 abad lamanya Islam mampu berdiri kokoh dan mengayomi setiap rakyatnya tanpa terkecuali. Sistem Islam memiliki sistem ekonomi yang menjamin kesejahteraan rakyat individu per individu.
Konsep kepemilikan dalam Islam menjadikan pengelolaan SDA oleh negara yang akan menjadi sumber pemasukan untuk memberikan layanan publik berkualitas dan gratis. Misalnya dalam hal pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan infrastruktur.
Negara menjamin itu semua. Terlebih jika dalam negara terjadi paceklik, penguasanya malah tidak bisa tidur memikirkan rakyatnya. Sebagaimana dikisahkan di zamannya Umar bin Khattab.
Bahkan beliau mengharamkan perutnya untuk makan mentega lantaran lebih mementingkan rakyatnya dibanding dirinya. Padahal beliau adalah penguasa. Sangat jauh berbeda dengan penguasa hari ini.
Penguasaan SDA juga dijamin akan membuka lapangan kerja yang sangat luas dan beragam dengan gaji yang besar sehingga terpenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Tentu dengan mekanisme seperti tidak akan ditemukan perempuan pontang-panting mencari kerja demi kebutuhan hidup mereka. Anak-anak juga akan terjaga dan terpelihara dalam rumah mereka.
Oleh karena itu, mari kita perjuangkan sistem Islam ini, agar kembali tegak agar tidak terjadi lagi kesenjangan sosial di antara rakyat.
Wallahu a'lam bishawab.
Siti Aminah, S.Pd.
Pegiat Literasi
0 Komentar