Topswara.com -- Nasihat memang seperti pencerminan bagi kita, membantu kita melihat sisi-sisi yang mungkin terlewatkan. Ketika kita membuka diri untuk mendengarkan, hati dan pikiran kita menjadi lebih terbuka terhadap sudut pandang yang berbeda. Dengan begitu, kita bisa memperkaya pengalaman dan pengetahuan kita. Sesuatu yang memang perlu diterapkan dalam hidup kita sehari-hari.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani pernah mengatakan, "Semua ilmu hakikat yang tidak dibuktikan dengan syariat adalah zindik."
Pernyataan itu menekankan pentingnya keselarasan antara pengetahuan spiritual atau hakikat dengan prinsip-prinsip agama atau syariat. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, seorang tokoh spiritual dan ulama besar dalam tradisi Islam, menekankan bahwa pengetahuan tentang realitas spiritual haruslah selaras dengan ajaran agama Islam.
Dalam konteks ini, "zindik" merupakan istilah yang merujuk kepada seseorang yang menolak atau mengabaikan ajaran-ajaran agama.
Dengan demikian, pengetahuan tentang hakikat atau realitas spiritual yang tidak berlandaskan pada ajaran-ajaran agama dapat dipandang sebagai sesuatu yang bertentangan dengan kepercayaan dan prinsip-prinsip Islam.
Pernyataan tersebut menegaskan pentingnya menghormati dan mematuhi ajaran agama dalam mencari dan memahami realitas spiritual, sehingga pengetahuan tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan yang dianut.
Rezeki itu ada di tangan Allah SWT. Rezeki badan, rezeki hati, dan rezeki siri, carilah semua itu dari-Nya bukan dari orang lain kata Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.
Pernyataan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tersebut menggarisbawahi konsep bahwa segala jenis rezeki, baik materi, spiritual, maupun internal, berasal dari Allah SWT. Dalam ajaran Islam, keyakinan ini ditekankan sebagai asas fundamental dalam pandangan tentang rezeki.
Rezeki badan mengacu pada kesehatan dan kekuatan fisik yang dianugerahkan oleh Allah kepada manusia. Rezeki hati merujuk pada ketenangan batin, kebahagiaan, dan ketenangan jiwa yang juga merupakan karunia dari-Nya. Sedangkan rezeki siri mencakup berbagai aspek keberhasilan, kebijaksanaan, dan kebahagiaan dalam kehidupan pribadi.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menekankan bahwa manusia seharusnya mencari segala bentuk rezeki ini dari Allah SWT, bukan dari manusia atau sumber-sumber lain. Ini menunjukkan pentingnya ketergantungan dan ketaatan kepada Allah dalam segala aspek kehidupan, termasuk mencari rezeki.
Dengan memahami bahwa segala bentuk rezeki berasal dari Allah, manusia diharapkan untuk menjalani hidup dengan penuh ketakwaan, bersyukur, dan bergantung sepenuhnya kepada-Nya dalam segala hal.
Rezeki badan adalah makanan dan minuman. Rezeki hati adalah tauhid, dan rezeki siri adalah zikir khafi.
Pernyataan tersebut menunjukkan konsep bahwa rezeki dapat dibagi menjadi beberapa jenis yang meliputi rezeki badan, hati, dan siri, dan masing-masing memiliki makna yang mendalam dalam konteks spiritual Islam.
1. Rezeki badan, seperti yang disebutkan, merujuk pada makanan dan minuman yang menjadi sumber energi dan kekuatan bagi tubuh manusia. Ini mencakup segala bentuk rezeki yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan fisik, termasuk juga kesehatan tubuh.
2. Rezeki hati mengacu pada tauhid, yaitu keyakinan akan keesaan Allah SWT. Tauhid adalah pijakan utama dalam ajaran Islam dan menjadi inti dari keimanan seorang Muslim. Memiliki keimanan yang kuat kepada Allah adalah bentuk rezeki yang paling berharga, karena itu membawa kedamaian, ketenangan, dan kebahagiaan yang abadi.
3. Rezeki siri adalah dzikir khafi, yang merujuk pada pengingatan atau perenungan yang dilakukan secara batiniah atau dalam-dalam. Dzikir khafi adalah aktifitas spiritual yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan memperkuat ikatan batin antara hamba dan Sang Pencipta.
Dengan demikian, pernyataan ini menegaskan bahwa selain rezeki materi yang berkaitan dengan kebutuhan fisik, rezeki spiritual seperti keimanan yang kokoh dan praktik ibadah yang benar juga sangat penting dalam kehidupan seorang Muslim. Lanjut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, "Sayangilah nafsumu dengan berjuang melawannya, memerintahnya, melarangnya, dan melatihnya."
Pernyataan tersebut mengandung ajaran penting dalam Islam tentang pentingnya mengendalikan dan melatih nafsu. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menekankan bahwa manusia seharusnya tidak hanya membiarkan nafsu mereka mengendalikan mereka, tetapi juga harus aktif dalam memerintahinya, melarangnya dari yang negatif, dan melatihnya untuk hal-hal yang baik.
1. Berjuang melawan nafsu: Ini menunjukkan perlunya usaha keras dan tekad yang kuat untuk menahan dorongan-dorongan nafsu yang mungkin bertentangan dengan ajaran agama atau nilai-nilai moral.
2. Memerintah nafsu: Manusia diberikan tanggung jawab untuk mengendalikan nafsunya sendiri, bukan sebaliknya. Dalam Islam, konsep ini juga mencakup aspek kemandirian dan tanggung jawab individu terhadap tindakan mereka.
3. Melarang nafsu: Ini menekankan pentingnya untuk mengenali dan menolak dorongan-dorongan nafsu yang negatif atau berpotensi merugikan diri sendiri atau orang lain.
4. Melatih nafsu: Ini mengacu pada proses pembentukan karakter dan pembangunan diri yang bertujuan untuk memperkuat nafsu dalam hal-hal yang baik dan produktif, seperti ketaatan kepada Allah dan perilaku yang baik terhadap sesama.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, seseorang dapat mencapai keseimbangan dalam hidup mereka dan menjadi individu yang lebih baik secara spiritual, moral, dan sosial.
Orang yang berakal adalah orang yang ingat mati dan menerima apa yang dibawa takdir.
Pernyataan ini mencerminkan konsep penting dalam ajaran Islam tentang pentingnya kesadaran akan kematian (mawt) dan penerimaan terhadap takdir (qadha dan qadar).
1. Ingat mati: Ingat akan kematian adalah suatu bentuk pengingat bagi manusia tentang sementara waktu hidupnya di dunia ini. Dalam Islam, kesadaran akan kematian membantu manusia untuk menghargai waktu yang dimilikinya dan untuk mempersiapkan diri secara spiritual untuk akhirat.
2. Menerima takdir: Takdir merujuk pada ketetapan Allah SWT atas segala hal yang terjadi di alam semesta ini. Mengakui dan menerima takdir adalah tanda keimanan seseorang kepada Allah dan keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi memiliki hikmah dan tujuan yang mungkin tidak selalu dipahami oleh manusia.
Dengan memiliki kesadaran akan kematian dan penerimaan terhadap takdir, seseorang menjadi lebih bijaksana dalam menghadapi tantangan dan ujian hidup. Mereka belajar untuk berserah diri kepada kehendak Allah dan mempersiapkan diri untuk menghadapi akhirat dengan bekal amal baik dan iman yang kokoh.
Jangan menyibukkan diri mencari sesuatu yang telah ditentukan jatahnya, karena sibuk dengannya hanya akan masuk dalam permainan dan kebodohan.
Pernyataan ini menekankan pentingnya untuk tidak terlalu terpaku pada hal-hal yang di luar kendali kita, dan untuk menerima apa yang telah ditentukan sebagai bagian dari takdir atau jatah hidup kita. Berlebihan dalam mencari sesuatu yang telah ditentukan jatahnya bisa mengakibatkan kita terjebak dalam siklus yang sia-sia dan membuat kita merasa frustrasi atau putus asa.
Dalam konteks ini, "permainan" dan "kebodohan" mungkin merujuk pada upaya yang sia-sia atau tidak produktif untuk mendapatkan sesuatu yang sebenarnya tidak ditakdirkan untuk kita miliki. Terlalu fokus pada hal-hal yang di luar kendali kita bisa membuat kita terlepas dari realitas dan menghabiskan energi dan waktu yang berharga.
Sebaliknya, lebih baik fokus pada hal-hal yang dapat kita kontrol dan upayakan yang terbaik dalam situasi yang telah Allah tetapkan untuk kita. Ini mencakup menjalani hidup dengan penuh kesabaran, syukur, dan keikhlasan, serta memanfaatkan peluang yang ada di depan mata kita.
Dengan memiliki sikap yang bijaksana terhadap takdir dan mengarahkan perhatian kita pada hal-hal yang memang kita bisa kontrol, kita bisa menghindari jebakan keputusasaan dan menjadi lebih efektif dalam meraih kesuksesan dan kebahagiaan dalam hidup.
Celaka engkau! Engkau mengaku mencintai Allah SWT, namun engkau tidak menaati-Nya.
Pernyataan ini menunjukkan ketidakselarasan antara pengakuan cinta kepada Allah SWT dengan ketidakpatuhan terhadap-Nya. Dalam ajaran Islam, cinta kepada Allah tidak hanya cukup dengan kata-kata, tetapi juga harus tercermin dalam tindakan dan ketaatan terhadap perintah-Nya.
1. Cinta kepada Allah: Cinta kepada Allah adalah fondasi dari hubungan yang mendalam antara hamba dan Sang Pencipta. Ini mencakup pengabdian, penghormatan, dan rasa syukur yang mendalam atas segala karunia dan petunjuk-Nya.
2. Taat kepada Allah: Ketaatan kepada Allah adalah ekspresi nyata dari cinta kepada-Nya. Ini mencakup mematuhi segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya, dan berusaha untuk hidup sesuai dengan ajaran-Nya. Ketika seseorang mengaku mencintai Allah tetapi tidak taat kepada-Nya, itu menunjukkan adanya ketidakselarasan antara kata-kata dan tindakan. Ini dapat menyebabkan kelemahan dalam iman dan menjauhkan seseorang dari kebenaran yang sejati.
Oleh karena itu, penting bagi setiap Muslim untuk tidak hanya mengucapkan cinta kepada Allah, tetapi juga menunjukkan ketaatan yang tulus dan ikhlas dalam setiap aspek kehidupannya. Hanya dengan demikian cinta kepada Allah akan menjadi lebih mendalam dan berdampak pada perubahan positif dalam diri dan kehidupan sehari-hari.
Tahanlah Lisanmu dari berbicara yang tidak penting bagimu. Perbanyaklah dzikir mengingat Allah SWT.
Pernyataan ini mengandung dua ajaran penting dalam Islam yang berkaitan dengan pengendalian diri dan ibadah:
1. Menahan lisan dari berbicara yang tidak penting: Dalam Islam, menjaga lisan dari berbicara yang tidak penting atau yang tidak bermanfaat adalah tindakan yang sangat dianjurkan. Hal ini mencakup menghindari ghibah (menggosip), memfitnah, berkata kasar, atau berbicara tentang hal-hal yang tidak bermanfaat atau menyimpang dari kebenaran.
2. Perbanyak zikir mengingat Allah SWT: Dzikir, atau mengingat Allah, adalah salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan dalam Islam. Dzikir bisa berupa membaca tasbih, tahmid, takbir, tahlil, atau dzikir-dzikir lain yang menyegarkan jiwa dan menyatukan hati dengan Allah SWT.
Dengan menahan lisan dari berbicara yang tidak penting dan menggantinya dengan dzikir mengingat Allah, seseorang dapat mencapai kedamaian batin, meningkatkan kesadaran spiritual, dan memperkuat hubungan dengan Sang Pencipta. Ini juga membantu seseorang untuk lebih berhati-hati dengan kata-kata dan tindakan mereka, serta meningkatkan kualitas komunikasi dengan sesama.
Perbanyaklah Istighfar dan taubat, karena keduanya adalah dua pokok yang agung untuk mengukuhkan perkara-perkara dunia dan akherat.
Pernyataan tersebut menggarisbawahi pentingnya istighfar (meminta ampun) dan taubat (bertobat) dalam agama Islam sebagai landasan yang penting untuk memperbaiki hubungan dengan Allah SWT dan memperkuat kedudukan dalam kehidupan dunia dan akhirat.
1. Istighfar: Istighfar adalah bentuk doa di mana seseorang memohon ampunan Allah atas dosa-dosanya. Ini adalah tanda pengakuan akan kesalahan dan kelemahan manusia, serta kesadaran akan kebesaran dan kemurahan Allah dalam memberikan pengampunan kepada hamba-Nya yang bertaubat dengan ikhlas.
2. Taubat: Taubat adalah proses mengubah diri dan kembali kepada Allah SWT dengan sungguh-sungguh setelah melakukan kesalahan atau dosa. Ini melibatkan penyesalan yang tulus, niat untuk meninggalkan dosa, dan komitmen untuk tidak mengulangi kesalahan di masa depan.
Kedua praktik ini memiliki peran penting dalam kehidupan seorang Muslim:
• Istighfar membantu membersihkan dosa-dosa masa lalu dan meningkatkan kesadaran akan kebutuhan akan Allah SWT dalam setiap aspek kehidupan.
• Taubat adalah langkah aktif untuk memperbaiki diri dan mengarahkan kembali hidup ke jalan yang benar menurut ajaran Islam.
Dengan memperbanyak istighfar dan taubat, seseorang dapat memperkuat hubungan spiritualnya dengan Allah SWT, meraih ketenangan batin, dan mempersiapkan diri untuk kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat.
Hakikat Islam adalah kepasrahan dan Ketundukkan. Wujudkan Islam, kemudian capailah hakikat kepasrahan. Bersihkan lahiriahmu dengan Islam, dan bersihkan batinmu dengan kepasrahan. "Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam." (QS. Ali Imran (3): 19) Demikian penjelasan Syeih Abdul Qadir Al-Jailani.
Pernyataan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tersebut menggambarkan hakikat Islam sebagai agama yang mengajarkan kepasrahan dan ketundukan kepada Allah SWT. Dalam konsep ini, kepasrahan dan ketundukan bukanlah sekadar sikap atau perilaku semata, tetapi juga mencakup keadaan hati dan jiwa yang sepenuhnya tunduk kepada kehendak Allah.
1. Kepasrahan dan Ketundukkan: Islam mengajarkan kepada umatnya untuk berserah diri sepenuhnya kepada Allah dan tunduk kepada-Nya dalam segala aspek kehidupan. Ini termasuk menerima segala ketetapan-Nya, menjalankan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya. Kepasrahan dan ketundukkan ini adalah bukti dari cinta dan ketaatan yang mendalam kepada Allah.
2. Bersihkan Lahirmu dengan Islam: Ini mengacu pada menjalankan ajaran Islam dalam tindakan dan perilaku lahiriah, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Bersuci dari segala bentuk perbuatan dosa dan kemaksiatan adalah langkah penting dalam membangun hubungan yang baik dengan Allah.
3. Bersihkan Batinmu dengan Kepasrahan: Selain menjaga lahiriah, Islam juga mengajarkan pentingnya membersihkan batin atau hati dari segala bentuk penyakit spiritual, seperti keangkuhan, kedengkian, dan kebencian. Kepasrahan kepada Allah membawa kedamaian dan ketenangan dalam jiwa, memungkinkan seseorang untuk hidup dalam harmoni dengan diri sendiri dan dengan sesama.
Pernyataan tersebut juga menegaskan bahwa agama yang diterima di sisi Allah SWT adalah Islam, yang mengajarkan kepasrahan dan ketundukan kepada-Nya. Dengan memahami dan mengamalkan hakikat kepasrahan ini, seseorang dapat mencapai kedekatan spiritual dengan Allah dan meraih kebahagiaan sejati dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo
0 Komentar