Topswara.com -- Dalam acara High Level Dialogue and Cooperation Mechanism (HDCM) RI-RRC di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, pada Jumat 19 April 2024, Pemerintah Indonesia melalui Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan Cina melalui Menteri Luar Negeri Cina, Wang Yi, bersedia memajukan sektor pertanian di Kalimantan Tengah (Kalteng) dengan menyediakan teknologi terkini.
Menurut Luhut, proyek pengembangan pertanian ini sangat signifikan karena merupakan isu yang mendesak bagi Indonesia dalam upaya mencapai ketahanan pangan. Apalagi masalahnya di Indonesia beras selalu impor 2 juta atau 1,5 juta. Jika program ini jalan hanya minta 4-5 ton saja (antaranews.com 21/04/2024).
Sebagai hasilnya, Luhut aktif mendorong kerja sama dalam mengadopsi model Cina dalam penelitian dan teknologi pertanian, serta meningkatkan kualitas produk pertanian, terutama dalam budidaya padi.
Namun, tinjauan terhadap kebijakan ini menimbulkan kritik yang beragam dari berbagai pihak. Menurut Khudori, seorang ahli pertanian yang berasal dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), ia pernah terlibat dalam kolaborasi transfer teknologi pertanian dengan Cina bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 2007, mereka mendistribusikan benih padi hibrida dari Cina kepada para petani.
Setelah benih padi hibrida yang diimpor dan dibagikan sebagai bagian dari bantuan benih kepada petani, hasilnya tidak menggembirakan. Di beberapa tempat padi hibrida yang ditanam petani terserang penyakit. Ini menandakan, tidak mudah mengintroduksi sistem usaha tani, benih salah satunya. Pasti butuh inovasi tambahan. Inovasi ketahanan penyakit misalnya, ungkapnya kepada VOA secara tertulis.
Profesor IPB, Dwi Andreas Santosa, mengkritik rencana penggunaan lahan seluas 1 juta hektar di Kalimantan Tengah untuk menerapkan sistem pertanian sawah padi dari Cina sebagai sesuatu yang terlalu besar untuk tahap awal. Ia menyarankan agar mencoba menggunakan sebagian kecil lahan terlebih dahulu, dan jika berhasil, baru kemudian menambahnya. Menurut Andrea dihubungi Tempo pada Selasa, 23 April 2024 melalui saluran telepon.
Menurutnya, pemerintah perlu memperhatikan proses kelola air serta pengendalian hama dan penyakit, karena kelemahan dari lahan di Kalimantan Tengah merupakan gambut yang berpengaruh pada pengairannya. Ia memaparkan bahwa tata kelola air sampai sekarang tidak beres, kalau bisa diselesaikan dengan baik, tidak ada hal yang cukup berarti di sana. Cukup memungkinkan kalau tata airnya bisa dibenahi sehingga air bisa dikendalikan dengan baik.
Dari beberapa pendapat di atas, sebaiknya pemerintah mengambil pelajaran dari kegagalan food estate sebelumnya yang tidak menghasilkan apa pun, malah hanya menjadi kebijakan yang merugikan rakyat tanpa memberikan manfaat yang berarti. Jika pemerintah terus bekerja sama dengan Cina tanpa memperhatikan pendapat di atas, Keputusan pemerintah itu demi ketahanan pangan atau akan rampas ruang hidup rakyat?
Jika dilihat, keputusan yang diambil pemerintah hanya untuk kepentingan segelintir orang tanpa memperhatikan dampak yang ditimbulkannya, bahkan merampas ruang hidup masyarakat tanpa memberikan manfaat yang nyata.
Negara sebaiknya merumuskan kebijakan terkait produksi pangan berdasarkan pada ajaran Al-Qur’an dan Sunah, serta memperhatikan peningkatan produksi pangan, bukan atas kepentingan individu atau korporasi.
Namun, sejak awal pemerintah dalam sistem kapitalisme mengikutsertakan sektor swasta dalam program ini, sejatinya menunjukkan penguasa tidak serius dan berkomitmen dalam menyelesaikan permasalahan pangan ini.
Pemerintah telah melibatkan korporasi dalam proses penyediaan, sementara petani dijadikan sebagai subjek yang terlibat dalam pembangunan dan pengembangan.
Korporasi memiliki peran yang lebih besar, sementara petani hanya dijadikan sebagai alat kerja. Negara seharusnya tidak hanya menjadi pelayan para korporasi, melainkan harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.
Berbeda dengan kepemimpinan dalam Islam, yakni khilafah. Khilafah adalah institusi negara yang menerapkan syariat Islam secara menyeluruh, sehingga semua kebijakan yang diterapkan tidak akan lepas dari panduan syariah.
Hal ini bertujuan untuk mencapai kemaslahatan yang berkaitan dengan ketahanan pangan. Dalam konteks ini, terdapat dua aspek penting yang perlu diperhatikan, yaitu lingkungan sebagai penyedia bahan pangan dan manusia sebagai konsumen.
Dalam Al-Qur’an, Allah ta'ala telah menjelaskan bahwa Dia menyediakan tanaman untuk kebutuhan manusia, sebagaimana terdapat dalam Surah Al-A'aam ayat 99, yang artinya, “Dan Dialah yang menurunkan air dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma, mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya pada waktu berbuah, dan menjadi masak. Sungguh, pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman."
Manusia diperbolehkan untuk memanfaatkannya dengan batas-batas syariat yang telah ditentukan, seperti yang dijelaskan dalam Surah Al-Baqarah ayat 11 yang artinya, “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah berbuat kerusakan di bumi!’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan’.”
Dan untuk mengonsumsi makanan yang halal dan baik, sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Baqarah ayat 168, yang artinya, “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu."
Secara teknis, khilafah akan menetapkan beberapa kebijakan terkait ketahanan pangan agar tercapai secara real. Pertama, ketahanan pangan tidak terlepas dari sektor pertanian. Oleh karena itu, khilafah akan menghitung luas lahan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan warga negara.
Khilafah memiliki data yang akurat terkait jumlah dan perkembangan penduduk serta luas lahan yang dapat digunakan, dengan begitu perhitungannya akan akurat dan presisi, dan kebutuhan pangan warga khilafah akan tercukupi, bahkan tanpa perlu mengimpor dari negara lain.
Kedua, khilafah akan menjamin perlindungan terhadap seluruh lahan pertanian secara maksimal dan berkelanjutan. Dengan memberikan bantuan kepada petani dalam segala hal yang diperlukan, mulai dari modal hingga infrastruktur pendukung, yang disediakan dengan harga yang terjangkau bahkan gratis.
Sebab, ketika negara menjadi penopang bagi para petani, mereka juga akan berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan kontribusi terbaik mereka dalam menjaga kesejahteraan negara.
Ketiga, khilafah akan memastikan kepemilikan tanah sesuai dengan prinsip Islam. Status tanah dibagi menjadi tiga kategori, yaitu tanah yang dapat dimiliki secara individu seperti lahan pertanian, tanah milik umum yang mencakup harta benda umum seperti tanah hutan, dan tanah yang mengandung tambang dengan jumlah yang besar.
Tanah yang berada di atas fasilitas umum seperti jalan rel kereta dan barang milik negara termasuk dalam kategori tanah yang tidak berpenghuni atau terlantar. Berdasarkan konsep kepemilikan ini, khilafah tidak akan memberikan hak kepemilikan tanah milik umum atau negara kepada pihak swasta atau individu, sehingga dapat mencegah terjadinya kasus-kasus yang merugikan masyarakat.
Keempat, khilafah akan memaksimalkan dan memfasilitasi para ahli pertanian dan ahli antropologi untuk merancang kebijakan ketahanan pangan negara. Langkah ini merupakan upaya negara Khilafah dalam meminimalisir risiko kegagalan dalam pembuatan kebijakan, sehingga rakyat tidak akan dirugikan oleh kegagalan pemerintah.
Dengan demikian, khilafah akan memberikan perhatian yang lebih besar dalam pengelolaan lahan pertanian, karena hal ini memiliki dampak besar dalam memenuhi kebutuhan pangan seluruh rakyat, terutama ketika terancam oleh berbagai ancaman. Demikianlah akan terwujud ketahanan pangan tanpa perampasan ruang hidup rakyat akan terealisasi.[]
Oleh: Siti Sri Fitriani
Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok
0 Komentar