Topswara.com -- Panas. Begitulah hawa yang menyelimuti dunia politik demokrasi negeri ini. Pasca Pilpres usai, kini mereka menyibukkan diri kembali dalam agenda kontestasi Pilkada di wilayahnya masing-masing yang akan digelar serentak pada akhir 2024 nanti.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang berkoalisi dengan Partai Golkar sepakat untuk mengusung Imam Budi Hartono dan Ririn Farabi A. Rafiq sebagai bakal calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Depok di Pilkada Depok 2024 (tempo, 12/5/2024).
Demikian halnya dari Bandung, memunculkan sejumlah nama artis sebagai strategi yang dinilai cukup berhasil untuk mendongkrak suara Pilkada dalam pemilihan calon Bupati dan Wakil Bupati Kota Bandung (RRI, 10/5/2024).
Termasuk di Jawa Barat yang sedang ramai dibicarakan seperti Ridwan Kamil, Dedi Mulyadi dan Bima Arya Sugianto diusung sebagai bakal calon Gubernur (pikiranrakyat.com, 12/05/2024).
Sebagaimana Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asyari menuturkan, calon anggota legislatif (Caleg) terpilih dalam Pemilu 2024 tidak perlu mengundurkan diri bila mengikuti Pilkada serentak 2024 (tirto.id 10/05/2024).
Tentunya dalam setiap pesta demokrasi akan banyak yang berburu kursi panas termasuk Pilkada. Tak heran berbagai macam cara mereka lakukan untuk berburu simpati, diantaranya menggunakan popularitas artis untuk memperoleh suara rakyat walaupun mereka minim dalam kemampuan politik. Walaupun akhirnya tidak sesuai dengan harapan rakyat, mereka hanya memberikan janji-janji manis tanpa ada pembuktian nyata.
Itulah realitas politik dalam sistem demokrasi kapitalisme yang diterapkan saat ini. Suara rakyat hanya dijadikan formalitas saat Pemilu untuk mengantarkan mereka meraih kekuasaan.
Selalu diwarnai banyak kecurangan dan manipulasi, termasuk berkoalisi dengan lawan politik demi meraih kekuasaan. Bukan untuk kepentingan rakyat melainkan kepentingan elit politik oligarki.
Kekuasaan dijadikan sarana untuk meraih kedudukan dan materi. Bukan lagi sebuah amanah seorang pemimpin untuk mengurusi kebutuhan rakyatnya.
Kedudukan kekuasaan ini berbeda jauh dalam pandangan Islam. Dalam Islam, kekuasaan adalah amanah dalam pengaturan hidup rakyat yang diemban negara dan kelak akan dimintai pertanggungjawabannya.
Sesuai sabda Rasulullah SAW, “Kalian semuanya pemimpin (pemelihara) dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Seorang raja adalah pemimpin bagi rakyatnya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang suami memimpin keluarganya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang ibu memimpin rumah suaminya dan anak-anaknya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang hamba (buruh) pemimpin harta milik majikannya akan ditanya tentang pemeliharaannya. Camkan bahwa kalian semua adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya” (HR. Bukhari).
Islam juga memiliki konsep dalam hal pemilihan pemimpin yang sederhana, cepat dan murah, efektif dan efisien. Seperti pemilihan kepala daerah (gubernur/wali, amil) dalam negara Islam diangkat oleh khalifah (kepala negara) dengan akad tertentu yang harus ia tepati.
Dalam hal ini wali/amil adalah penguasa, maka mereka harus memenuhi syarat-syarat sebagai penguasa menurut Islam, yakni Muslim, laki-laki, merdeka, balig, berakal, adil, dan termasuk orang yang memiliki kemampuan (kafa'ah).
Mereka harus dari golongan orang-orang memiliki kelayakan (kemampuan dan kecakapan) untuk memegang urusan pemerintahan, berilmu, dan dikenal ketakwaannya. Sebab mereka adalah perpanjangan tangan khalifah dalam mengatur urusan rakyat bukan penguasa tunggal daerah.
Tegaknya kekuasaan hakiki dalam meriayah rakyat tanpa dasar kepentingan apa pun, hanya dengan kembali menerapkan hukum syariat Islam secara menyeluruh dalam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.
Sudah saatnya kita mencampakkan sistem demokrasi yang melahirkan banyak kerusakan dan kezaliman, untuk kembali menerapkan hukum syariat Islam kaffah yang memberikan banyak kemaslahatan bagi seluruh alam semesta. []
Oleh: Desi Rahmawati
(Aktivis Muslimah)
0 Komentar