Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Bedanya Orang Dungu dan Orang yang Berakal



Topswara.com -- Nasihat Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani, orang dungu akan bermaksiat kepada Allah SWT, sedangkan orang yang berakal akan taat kepada-Nya. Nasihat Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tersebut menekankan pentingnya akal dalam menjalani kehidupan beragama. Beliau mengingatkan bahwa orang yang memiliki kekurangan dalam pemahaman dan akal cenderung melakukan kesalahan atau dosa kepada Allah SWT. Di sisi lain, orang yang menggunakan akalnya dengan baik akan lebih mampu memahami ajaran agama dan menjalani kehidupan yang taat kepada-Nya. Oleh karena itu, dalam Islam, pengembangan akal dan pengetahuan juga sangat ditekankan sebagai bagian dari ibadah dan ketaatan kepada Allah SWT.

Orang yang membenci akan bermaksiat kepada-Nya, sedangkan orang yang mencintai akan taat kepada-Nya.

Pernyataan itu menyoroti pentingnya sikap hati dalam menjalani hubungan dengan Allah SWT. Orang yang penuh dengan kebencian cenderung terjerumus dalam perbuatan dosa atau maksiat karena sikap hatinya yang negatif. Sebaliknya, orang yang penuh dengan cinta kepada Allah cenderung taat karena cinta tersebut memotivasi mereka untuk berbuat baik dan mematuhi perintah-Nya. Dalam ajaran Islam, cinta kepada Allah adalah salah satu aspek yang sangat penting dalam memperkuat ikatan antara hamba dan penciptanya. Cinta kepada Allah juga mendorong seseorang untuk menghindari dosa dan berusaha menjalani hidup yang sesuai dengan ajaran-Nya.

Orang yang rakus terhadap dunia, akan riya dan bersikap munafik, sementara orang yang pendek angannya terhadap dunia tidak akan berbuat demikian. Kata Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani.

Pernyataan tersebut menyoroti bahaya dari sifat rakus terhadap dunia. Orang yang terlalu terikat pada dunia cenderung lebih mementingkan kesan di hadapan manusia daripada kesucian niat dan amalannya di hadapan Allah SWT. Hal ini dapat memunculkan perilaku riya' (berusaha menampilkan kebaikan di depan orang lain) dan bahkan perilaku munafik (berpura-pura baik di hadapan orang lain namun sebenarnya hatinya tidak ikhlas).

Sebaliknya, orang yang tidak terlalu terpaku pada keinginan dunia cenderung lebih fokus pada kebaikan yang sesungguhnya, tanpa mempedulikan apakah itu akan dilihat atau diakui oleh orang lain. Mereka memiliki pengendalian diri yang lebih kuat terhadap godaan dunia dan cenderung menjalani hidup dengan niat yang murni dan tulus di hadapan Allah SWT.

Pesan dari Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani ini mengingatkan kita untuk selalu memperhatikan keikhlasan dalam setiap amal perbuatan kita, serta untuk tidak terlalu terikat pada harta dan kenikmatan duniawi yang sementara. 

Lanjut beliau, Orang yang lupa mati akan riya dalam beramal, sedangkan orang yang ingat mati tidak akan riya.

Pernyataan tersebut menekankan pentingnya kesadaran akan kematian dalam menjalani kehidupan. Orang yang lupa akan kematian cenderung terjebak dalam perbuatan riya' karena mereka lebih fokus pada kesan yang mereka buat di hadapan manusia daripada memperhatikan hubungan mereka dengan Allah SWT. Mereka mungkin berusaha untuk memperoleh pujian dan penghargaan dari orang lain tanpa memperhatikan niat dan kesucian amalannya.

Di sisi lain, orang yang selalu ingat akan kematian cenderung lebih rendah hati dan tidak peduli akan pandangan orang terhadap mereka. Mereka menyadari bahwa akhirat lebih penting daripada dunia dan amalan-amalan mereka didasarkan pada keinginan untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT, bukan sekadar pujian manusia.

Kesadaran akan kematian merupakan salah satu kunci untuk menjaga keikhlasan dalam beribadah dan beramal. Dengan selalu mengingat bahwa hidup di dunia ini hanya sementara dan bahwa akhirat adalah tujuan akhir, seseorang akan cenderung lebih memperhatikan niat dan kualitas amalannya serta terhindar dari perbuatan riyak.

Orang yang beriman tidak akan membuat lelah para malaikat dengan kalimat-kalimat gila dan tidak berguna. Orang beriman hatinya takut kepada Allah SWT, sehingga anggota tubuhnya juga ikut takut kepada-Nya.

Pernyataan ini menyoroti hubungan antara keimanan seseorang dengan perilaku dan tutur katanya. Orang yang memiliki iman yang kuat cenderung memiliki kesadaran yang lebih besar akan pentingnya menjaga lisan mereka dari perkataan yang sia-sia atau tidak bermanfaat. Mereka menyadari bahwa setiap kata yang diucapkan memiliki dampak, baik itu dalam membangun atau merusak hubungan dengan Allah SWT dan dengan sesama manusia.

Ketakutan yang dimaksud di sini adalah ketakutan yang sehat, yaitu rasa takut yang timbul karena kesadaran akan kebesaran Allah SWT dan penghormatan terhadap-Nya. Orang yang memiliki iman yang kokoh merasakan ketakutan tersebut dalam hati mereka, sehingga hal itu mempengaruhi perilaku dan tindakan mereka. Mereka berusaha untuk menjalani kehidupan yang sesuai dengan ajaran agama dan menjauhi segala hal yang dapat mendatangkan murka Allah SWT.
Dengan demikian, pernyataan tersebut mengingatkan kita akan pentingnya menjaga lisan dan perilaku kita sebagai bagian dari keimanan kita kepada Allah SWT.

Orang beriman hatinya bisu dari menyebut yang sia-sia sehingga mulutnya banyak diam. Hatinya bening karena takut kepada-Nya sehingga anggota tubuhnya sepi dari berbuat maksiat dengan demikian para malaikat pun senang. Kata Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani.

Pernyataan ini menggambarkan karakteristik orang yang beriman menurut pandangan Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani. Orang yang memiliki keimanan yang kuat cenderung menjaga lisan mereka dari perkataan yang sia-sia atau tidak berguna. Mereka menyadari bahwa setiap kata yang diucapkan memiliki dampak, baik itu secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, mereka lebih memilih untuk berbicara dengan bijaksana dan hanya ketika diperlukan.

Selain itu, orang yang memiliki keimanan yang kokoh juga merasakan ketakutan yang sehat terhadap Allah SWT. Mereka sadar akan kebesaran dan keagungan-Nya, sehingga hal ini mempengaruhi perilaku dan tindakan mereka. Mereka berusaha untuk menjalani kehidupan yang sesuai dengan ajaran agama dan menjauhi segala bentuk maksiat.

Dengan menjaga hati dan lisan dari perkataan yang sia-sia serta menjalani kehidupan yang taat kepada Allah SWT, orang yang beriman dapat menciptakan suasana yang baik di sekitarnya. Para malaikat pun senang dengan keadaan tersebut, karena mencerminkan ketundukan dan ketaatan kepada Allah SWT.

Siapa pun yang menginginkan keuntungan, hendaknya ia menasihati dirinya, berusaha zuhud dan berjuang melawan hawa nafsunya.

Pernyataan ini menyoroti pentingnya sikap zuhud (tidak terlalu terikat pada dunia) dan pengendalian diri dalam mencapai keuntungan yang hakiki, baik di dunia maupun di akhirat. Orang yang menginginkan keuntungan sejati harus mampu memberikan nasihat kepada dirinya sendiri, berupaya menjauhi keserakahan dan keinginan yang berlebihan terhadap hal-hal duniawi, serta berusaha untuk mengendalikan hawa nafsunya.

Zuhud merupakan sikap di mana seseorang tidak terlalu terikat atau tergoda oleh kekayaan dan kenikmatan duniawi. Mereka menyadari bahwa kekayaan dan kenikmatan dunia hanyalah sementara, sedangkan keuntungan yang lebih besar terletak pada akhirat. Dengan demikian, mereka berjuang untuk membebaskan diri dari ketergantungan pada harta dan kenikmatan duniawi, serta berfokus pada pencapaian yang lebih tinggi, yakni kebahagiaan dan keridhaan Allah SWT.

Melawan hawa nafsu juga merupakan bagian penting dalam perjalanan spiritual seseorang. Hawa nafsu merupakan dorongan atau keinginan yang berasal dari naluri manusia, yang jika tidak dikendalikan dapat membawa pada perbuatan dosa atau tindakan yang tidak baik. Dengan berjuang melawan hawa nafsu, seseorang dapat mencapai kesempurnaan dalam beribadah dan menjalani kehidupan yang lebih bermakna.

Pesan dari pernyataan ini adalah bahwa untuk mencapai keuntungan yang hakiki, seseorang perlu memiliki kesadaran diri, sikap zuhud terhadap dunia, dan kemampuan untuk mengendalikan hawa nafsunya. Dengan demikian, seseorang akan mampu mendapatkan keuntungan yang sejati, baik di dunia maupun di akhirat.

Kebiasaan orang beriman adalah berpikir lalu berbicara, sedangkan kebiasaan orang munafik adalah berbicara lalu berpikir. Lisan orang beriman ada di belakang akal dan hatinya, sedangkan lisan orang munafik ada di depan akal dan hatinya.
Pernyataan tersebut menggambarkan perbedaan dalam kebiasaan berbicara antara orang yang beriman dan orang munafik.

Orang yang beriman cenderung berhati-hati dalam perkataannya. Mereka memikirkan dan mempertimbangkan dengan baik sebelum membuka mulut untuk berbicara.

Pendekatan ini menunjukkan bahwa perkataan mereka tercermin dari pemikiran yang matang dan hati yang tulus. Mereka mengutamakan kejujuran, kebaikan, dan kebijaksanaan dalam setiap ucapan mereka.

Di sisi lain, orang munafik cenderung tergesa-gesa dalam berbicara. Mereka mungkin tidak mempertimbangkan konsekuensi dari kata-kata mereka atau bahkan berbicara tanpa memikirkan keseluruhan konteks atau kebenaran. Perilaku ini menunjukkan ketidakjujuran dan ketidakstabilan dalam karakter mereka. Mereka mungkin menggunakan kata-kata untuk menyembunyikan niat buruk atau untuk mencapai tujuan yang tidak jujur.

Perbedaan tersebut juga mencerminkan kedalaman keimanan dan kejujuran hati seseorang. Orang beriman memiliki kecenderungan untuk membiarkan akal dan hati mereka memandu perkataan mereka, sementara orang munafik cenderung memprioritaskan penampilan dan tujuan pribadi mereka di depan akal dan hati mereka.

Pesan yang bisa diambil dari pernyataan ini adalah pentingnya mengontrol perkataan kita dan memastikan bahwa mereka sesuai dengan nilai-nilai kejujuran, kebijaksanaan, dan kebaikan. Sebelum berbicara, kita harus memikirkan dampaknya dan memastikan bahwa kata-kata kita berasal dari hati yang tulus dan pikiran yang bijaksana.

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitabnya Jala'ul Khathir beliau menjelaskan, "Apabila hati telah mengamalkan Al-Kitab dan Sunnah, ia pasti dekat dengan Allah SWT. Jika sudah dekat, ia akan mengetahui dan melihat apa yang bermanfaat baginya dan apa yang membahayakan dirinya, apa yang menjadi hak Allah SWT dan apa yang menjadi hak selain-Nya, dan mana yang benar dan mana yang batil."

Pernyataan dari Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitabnya Jala'ul Khathir menggambarkan pentingnya mengamalkan Al-Kitab (Al-Qur'an) dan Sunnah (ajaran dan tindakan Nabi Muhammad SAW) dalam menjalani kehidupan beragama. Mengamalkan Al-Kitab dan Sunnah adalah cara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, karena keduanya merupakan sumber ajaran dan pedoman utama dalam Islam.

Ketika seseorang mengamalkan Al-Kitab dan Sunnah dengan sungguh-sungguh, hatinya menjadi lebih dekat dengan Allah SWT. Dalam kedekatan tersebut, seseorang akan diberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang kebenaran dan kebaikan. Mereka akan dapat membedakan antara yang bermanfaat dan yang membahayakan dirinya, antara yang merupakan hak Allah SWT dan yang merupakan hak sesama manusia, serta antara yang benar dan yang salah.

Pesan yang dapat diambil dari pernyataan ini adalah bahwa dalam mencari kebenaran dan menjalani kehidupan yang benar, seseorang harus merujuk kepada Al-Kitab dan Sunnah sebagai sumber utama pedoman. Dengan mengamalkan ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya, seseorang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT dan memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang kebenaran dan kebaikan.

Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen pascasarjana UIT Lirboyo
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar