Topswara.com -- Sebanyak 282 juta orang mengalami kelaparan akut yang tinggi pada tahun 2023. Data tersebut meningkat 24 juta dari tahun 2022. Tersebar di 59 negara dan wilayah dengan rasio 1 dari 5 orang mengalami kelaparan akut yang tinggi. Demikian laporan Organisasi Pangan Dunia atau FAO yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dalam judul Global Report on Food Crises 2024 (cnbcindonesia.com, 04/05/2024).
Peningkatan terjadi karena meluasnya cakupan laporan tentang konteks krisis pangan dan menurunnya ketahanan pangan secara drastis di daerah konflik terutama di Gaza dan Sudan. Faktanya, selama empat tahun berturut-turut proporsi orang yang mengalami kerawanan pangan sudah tinggi. Tragisnya, perempuan dan anak-anak berada di garda terdepan krisis kelaparan ini.
Kapitalisme si Biang Kerok
Krisis pangan dan kelaparan akut adalah keniscayaan dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Tidak ada pengaturan dalam hal kepemilikan membuat kesenjangan sosial semakin dalam. Yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin.
Kebebasan kepemilikan membuat komoditas yang memiliki deposit besar hanya dinikmati oleh segelintir orang. Contohnya SDA, sejatinya bisa dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat, namun saat ini hanya dimiliki oleh para kapital. Sedangkan rakyat biasa hanya dapat debu dan kerusakan lingkungan lainnya.
Sistem kapitalisme juga membuat negara kehilangan fungsinya sebagai pelayan rakyat. Negara justru sibuk melayani kepentingan para pengusaha. Politik balas budi. Para pengusaha telah menggelontorkan dana demi memenangkan calon penguasa saat mengikuti kontestasi pemilu.
Tidak sedikit sektor publik diserahkan kepada swasta kapital. Alhasil, rakyat harus merogoh kocek lebih dalam untuk mendapatkan layanan publik tersebut. Di sisi lain, negara bersistem ekonomi kapitalisme pun berhitung untung rugi saat mengurusi rakyatnya. Jadi, tidak ada yang murah atau gratis.
Tidak ada jaminan mendapatkan pekerjaan yang layak di sistem ekonomi kapitalisme. Rakyat dibiarkan berjuang sendirian. Kalaupun sudah bekerja, gaji yang diterima pun tak bisa memenuhi kebutuhan pokok keluarga dengan layak. Habis membayar listrik, air, BBM, kesehatan, pendidikan juga berbagai macam pajak.
Ditambah lagi dengan naiknya harga komoditas pangan seperti beras, gula, minyak goreng, bawang, telur, dll. Ini terjadi akibat ketidakberdayaan negara melawan para kartel yang menguasai pasar. Lemah terhadap para penimbun barang yang juga bagian dari para kartel.
Dari hulu, produksi pangan pun jauh berkurang karena alih fungsi lahan yang massif. Lagi-lagi negara lebih mengutamakan keinginan para pengusaha kelapa sawit, properti dan tambang.
Beban petani bertambah berat dengan mahalnya bibit dan pupuk serta biaya operasional penggarapan sawah. Hasil panen seringkali tak menutupi modal juga tak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan. Ketidakberpihakan negara pada petani membuat para petani beralih profesi.
Impor jadi solusi yang diambil negara. Mafia impor tepuk tangan. Rakyat harus pasrah dengan harga komoditas pangan yang semakin tinggi. Kelaparan akut pun semakin nyata selama sistem kapitalisme mengatur kehidupan manusia.
Islam Solusi Tuntas
Islam memiliki seperangkat sistem yang komprehensif dan mampu menjadi solusi atas semua problem kehidupan manusia. Sebab aturan-aturan dalam sistem Islam bersumber dari Zat yang Maha Pencipta, Allah SWT.
Islam mewajibkan negara bertanggung jawab atas segala urusan rakyatnya. Rasulullah Saw. bersabda: "Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Politik pangan Islam di dalam negeri adalah mekanisme pengurusan kebutuhan pangan seluruh individu rakyat. Yaitu menjamin pemenuhan kebutuhan pangan rakyat individu per individu. Islam meletakkan kewajiban tata kelola pangan kepada negara, bukan korporasi. Karena fungsi negara sebagai ra'in (pengurus) dan junnah (pelindung) rakyat.
Di sektor produksi pangan, negara harus memberikan dukungan kepada petani dengan membuka lahan pertanian seluas-luasnya. Tanah milik negara dan tanah rakyat yang belum dikelola bisa digarap menjadi lahan-lahan pertanian yang produktif bagi siapapun yang mau mengolah lahan.
Negara akan memberikan berbagai kemudahan untuk petani. Mulai dari kemudahan perizinan penggunaan lahan, infrastruktur, bibit, pupuk, subsidi hingga permodalan gratis. Khilafah juga akan menggandeng lembaga-lembaga riset untuk pengembangan produktivitas pertanian.
Pada sektor distribusi, negara akan mengawasi dan menindak tegas para spekulan yang menimbun dan memainkan harga. Sistem sanksi Islam akan memberikan efek jera bagi pelaku dan mencegah terjadinya kecurangan yang sama dilakukan oleh pedagang lain.
Khilafah tidak boleh bergantung kepada impor dan melepaskan diri dari kebijakan-kebijakan internasional. Sebab hal tersebut bisa membahayakan kedaulatan negara.
Dengan sistem ekonomi Islam, negara akan mengelola kepemilikan umum seperti SDA untuk kemakmuran rakyat. Sangat wajar jika pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz tak lagi ditemukan rakyat yang fakir dan miskin. Apalagi kelaparan akut, nihil. []
Oleh: Mahrita Julia Hapsari
(Aktivis Muslimah Banua)
0 Komentar