Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Anak Menjadi Pelaku Kriminal, Output Generasi Hasil Pendidikan Kapitalis

Topswara.com -- Banyaknya kasus tindak kriminal dengan pelaku anak di bawah usia semakin membuat hati miris. Bagaimana tidak? Anak yang digadang akan jadi generasi penerus bangsa, ternyata di usia yang masih dini malah jadi pelaku tindak kriminal. 

Belum lagi ketika dijumpai data dari tahun ke tahun menunjukkan semakin bertambah anak yang menjadi pelaku tindak kriminal. 

Sebagaimana dilansir sukabumi.id, 2 Mei 2024, kasus yang terjadi di Sukabumi, seorang bocah MA (6 tahun) yang baru mau masuk di bangku Sekolah Dasar telah menjadi korban pembunuhan dan sodomi. Pelaku tindak kriminal itu adalah seorang anak berusia 14 tahun dan masih bersekolah di Sekolah Menengah Pertama.

Tidak kalah mirisnya saat tindak kriminal juga terjadi di kalangan pondok pesantren. Metrojambi.com, 4 Mei 2024, menyebutkan kejadian di pondok pesantren Raudhatul Mujawwidin, Kabupaten Tebo Provinsi Jambi, santri berinisial AH (13) menjadi korban penganiayaan seniornya yakni AR (15) dan RD (14). 

Penganiayaan itu mengakibatkan kematian pada si korban. Berdasar keterangan pihak berwajib, motif penganiayaan tersebut tak lain karena pelaku tidak terima korban menagih hutang senilai Rp.10.000.

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mencatat terjadinya trend peningkatan pada jumlah anak yang berkonflik dengan hukum. 

Pada periode 2020 hingga 2023 per 26 Agustus 2023, tercatat hampir 200 anak berkonflik dengan hukum. Sekitar 1467 anak diantaranya berstatus tahanan dan masih menjalani proses peradilan, sementara 526 anak sedang menjalani hukum sebagai narapidana. Kenyataan ini tentu membuat keadaan semakin prihatin dan miris. 

Seperti inilah output generasi hasil dari pendidikan sistem kapitalis, yang hanya berorientasi pada materi. Dalam sistem ini, orang tua hanya menganggap dirinya sebagai pihak pemberi materi. Mereka merasa cukup ketika anak-anak sudah diberi pakaian, makanan, mainan, disekolahkan di tempat favorit dan sebagainya. 

Sementara itu, orang tua juga hanya mengejar materi sebagai mana yang diharapkan oleh sistem kapitalisme. Karena tekanan ekonomi, orang tua sibuk bekerja akhirnya anak-anak tidak mendapatkan pendidikan yang benar di dalam rumah. Padahal tanggungjawab orang tua pada anak di dalam Islam, selain me"ri'ayah" (memberi materi) juga me"tarbiyah" (mendidik). 

Parahnya lagi, ketika di sekolah, anak-anak diarahkan oleh guru dengan kurikulum sistem pendidikan kapitalisme yang berorientasi pada materi dan minim nilai agama. Sudah pasti, anak-anak semakin diarahkan mengejar prestasi akademik tanpa ada bimbingan akhlak dan ketaatan. Sehingga banyak dijumpai, anak-anak yang prestasi akademik tinggi, namun rendah akhlaknya.

Perbedaan Sanksi Sistem Kapitalisme dan Islam

Dalam sistem kapitalisme, untuk menentukan hukuman tindak kriminal, harus melihat pada usia pelaku. Jika pelaku anak-anak kurang dari usia 18 tahun, mereka diadili dalam peradilan anak. Jenis hukuman yang diberikan juga menyesuaikan usia, sehingga tidak menimbulkan efek jera tapi malah semakin memicu banyaknya anak yang berbuat kejahatan. 

Hal ini sangat berbeda dengan sanksi dalam sistem Islam. Islam memberikan sanksi yang jelas dan tegas karena memang bertujuan menjaga generasi dari kehancuran dan kerusakan. Islam memiliki mekanisme konkret untuk mencetak generasi yang berkualitas baik dari segi keimanan, moral, akhlak dan pengembangan potensi diri. 

Islam memiliki sistem pendidikan Islam yang mampu dan sudah terbukti menghasilkan generasi berkepribadian Islam, bukan kriminal. Keberhasilan ini tidak lepas dari aqidah Islam. 

Syaikh Atha' bin Kholil menjelaskan bahwa salah satu kurikulum pendidikan dasar harus mampu mencetak generasi yang memiliki kepribadian Islam. Tolak ukur kepribadian Islam ini dilihat dari pola pikir (aqliyah) Islam dan pola sikap (nafsiyah) Islam peserta didik. 

Kepribadian Islam ini akan mendorong seseorang untuk senantiasa dalam ketaatan dan menjauhi kemaksiatan. Secara sadar, mentalitas demikian mampu mencegah perilaku keji berbuat tindak kriminal. 

Sistem pendidikan Islam, juga melahirkan generasi yang siap dan mampu mengemban amanah besar, seperti menjadi orang tua. Saat menjadi orang tua, mereka paham akan hak dan kewajiban yang harus dijalankan ketika mendidik anak-anaknya. Dipastikan, dari generasi yang berkepribadian Islam, akan lahir keluarga yang Islam pula. 

Selain itu, sistem pendidikan Islam juga memberi perhatian khusus kepada keluarga. Islam memandang keluarga sebagai pondasi awal sebuah peradaban, karena kualitas generasi pertama kali ditentukan oleh keluarga. Islam mewajibkan ibu menjadi sekolah pertama (madrasah ula). 

Pendidikan pertama yang diberikan ibu dengan berlandaskan syariat Islam, akan menentukan kesalehan anak-anak. Pembentukan karakter ini, akan semakin kuat ketika ayah juga memfungsikan dirinya sebagai pemimpin keluarga, yang juga bertanggungjawab dalam pendidikan anak-anak. 

Keamanan bagi anak-anak akan terjamin, karena Islam memiliki sistem sanksi yang tegas. Dalam Islam, pelaku kejahatan akan dikenakan sanksi selama mereka sudah baligh dan dilakukan dalam keadaan sadar. Islam tidak mengenal pembatasan usia berdasarkan umur seperti usia di bawah 18 tahun dikategorikan anak-anak dan usia di atas 18 tahun dikategorikan dewasa. 

Islam hanya mengenal pembatasan usia berdasarkan baligh. Selama belum baligh, maka mereka dihukumi anak-anak, jika sudah baligh maka dihukumi mukallaf. 

Karena itu, sekalipun pelaku berusia masih 15 tahun, tapi ketika mereka sudah baligh maka tetap kena sanksi Islam. Penganiayaan berakibat pembunuhan akan mendapat sanksi qishas. 

Pelaku sodomi mendapatkan sanksi berupa had liwath, yaitu dijatuhkan dari tebing atau tempat tinggi di daerah tersebut. Sanksi Islam yang diterapkan negara akan menimbulkan efek jawazir (pencegah) dan efek jawabir (penebus dosa) pelaku.

Penerapan sanksi yang tegas akan menumpas bersih pelaku kejahatan, termasuk pelaku sodomi tidak akan melahirkan pelaku baru sebagaimana yang terjadi di Sukabumi. Para pelaku kriminal lainnya juga tidak akan bermunculan, ketika melihat ada sanksi yang tegas. 

Konsep ideal itu hanya terwujud jika keluarga, masyarakat dan negara menerapkan sistem Islam secara kaffah dalam kehidupan. Penerapan Islam secara kaffah hanya ada dalam naungan daulah khilafah. 

Wallahu a'lam bisshawab.


Oleh: Ummu Hanik Ridwan
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar