Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Anak Jadi Pelaku Kriminal, Pendidikan Keluarga Mandul

Topswara.com -- Lagi-lagi publik kembali dibuat tercengang oleh perilaku generasi saat ini. Berita anak-anak menjadi pelaku kriminal bukan lagi menjadi hal asing. Seperti beberapa waktu lalu, dikabarkan pelajar SMP berusia 14 tahun menjadi pelaku utama pembunuhan dan sodomi terhadap bocah laki-laki berinisial MA (6), asal Sukabumi. Menurut keterangan pihak berwajib, pelaku mengaku pernah menjadi korban pencabulan atau sodomi. (sukabumiku.id 2/5/2024)

Kasus serupa juga terjadi di Pondok Pesantren Raudhatul Mujawwidin, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi. Santri berinisial AH (13) menjadi korban penganiayaan seniornya yakni AR (15) dan RD (14). Penganiayaan itu berujung pada kematian si korban. Menurut keterangan pihak berwajib, motif penganiayaan tersebut karena pelaku tidak menerima korban menagih hutang senilai Rp10 ribu. (detik.com) 

Dua kasus tersebut hanyalah sebagian dari ribuan kasus. Menurut Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, kasus anak yang berkonflik dengan hukum menunjukkan tren peningkatan pada periode 2020 hingga 2023. 

Per 26 Agustus 2023, tercatat hampir 2.000 anak berkonflik dengan hukum. Sebanyak 1.467 anak, diantaranya berstatus tahanan dan masih menjalani proses peradilan, sementara 526 anak sedang menjalani hukuman sebagai narapidana. (kompas.id) 

Fakta ini tentu membuat kita miris, namun inilah output generasi hasil didikan sistem batil bernama Kapitalisme, yakni sistem yang hanya berorientasi pada materi. Akibatnya, orang tua hanya menganggap dirinya sebagai pihak pemberi materi. 

Mereka merasa cukup, ketika anak-anak sudah diberi pakaian makanan, mainan, disekolahkan di tempat favorit dan sejenisnya. Sementara itu, orang tua juga hanya mengejar materi sebagaimana yang ditanamkan oleh kapitalisme. Karena tekanan ekonomi, ayah dan ibu sibuk bekerja, akhirnya anak-anak tidak mendapat pendidikan yang benar di dalam rumah. 

Sementara di sekolah, anak-anak juga diarahkan oleh kurikulum sistem pendidikan kapitalisme
yang berorientasi materi dan minim nilai agama. Alhasil, anak-anak terus diarahkan mengejar prestasi tanpa ada bimbingan akhlak dan ketaatan.

Apalagi sistem sanksi kapitalisme tidak membuat pelaku kejahatan jera dan jika pelaku anak-anak (usia kurang dari 18 tahun), mereka diadili dalam peradilan anak yang juga tidak membuat si anak jera. Akibatnya, anak-anak pelaku kejahatan semakin marak.

Sangat berbeda dengan sistem Islam, tatkala menjaga generasi dari kehancuran dan kerusakan. Islam memiliki mekanisme konkret untuk mencetak generasi yang berkualitas, baik dari segi keimanan, moral, akhlak dan pengembangan potensi diri. 

Islam memiliki sistem pendidikan Islam yang mampu dan sudah terbukti menghasilkan generasi berkepribadian Islam, bukan kriminal. Keberhasilan ini tidak lepas dari landasan sistem pendidikan Islam yakni akidah Islam.

Dalam kitab Usus at-Ta'lim fi Daulah Al-Khilafah, Syaikh Atha' bin Kholil menjelaskan, bahwa salah satu kurikulum pendidikan dasar harus mampu mencetak generasi yang memiliki kepribadian Islam. Tolak ukur kepribadian Islam ini, dilihat dari pola pikir (aqliyah) Islam dan pola sikap (nafsyiah) Islam peserta didik. 

Kepribadian Islam ini, akan mendorong seseorang untuk senantiasa dalam ketaatan dan menjauhi kemaksiatan secara sadar. Mentalitas demikian mampu mencegah perilaku keji, seperti yang dilakukan oleh santri senior di Jambi. 

Bahkan dari sistem pendidikan Islam juga terlahir generasi yang siap dan mampu mengemban amanah besar, seperti menjadi orang tua. Mereka akan paham bagaimana hak dan kewajiban yang harus dijalankan ketika mendidik anak-anaknya kelak, sehingga dari generasi yang berkepribadian Islam akan melahirkan keluarga yang Islami pula. 

Selain dari sistem pendidikan, Islam juga memberi perhatian khusus kepada keluarga. Islam memandang keluarga sebagai pondasi awal sebuah peradaban, karena kualitas generasi pertama kali ditentukan oleh keluarga. 

Islam mewajibkan Ibu menjadi sekolah pertama dan pendidik pertama bagi anak-anaknya. Didikan seorang ibu yang berlandaskan syariat Islam, akan membentuk anak-anak yang shalih dan shalihah. 

Pembentukan karakter ini semakin kuat, karena Islam mewajibkan seorang ayah menjadi qawwam (pemimpin) keluarga. Sinergitas antara peran ayah dan ibu, akan memberi dampak memberi dampak yang sangat besar bagi pendidikan anak-anak. Keamanan bagi anak-anak juga akan terjamin, karena Islam memiliki sistem sanksi (uqubat) yang tegas. 

Dalam Islam, pelaku kejahatan akan diberi sanksi selama mereka sudah baligh dan dilakukan dalam keadaan sadar. Islam tidak mengenal pembatasan usia berdasarkan umur, seperti usia di bawah 18 tahun dikategorikan anak-anak dan usia di atas 18 tahun dikategorikan dewasa. 

Islam hanya mengenal pembatasan usia berdasarkan baligh, selama anak-anak belum baligh, maka mereka dihukumi anak-anak sedangkan jika anak-anak sudah baligh, maka dia dihukumi mukallaf. Karena itu, sekalipun usia mereka masih 15 tahun, ketika mereka sudah baligh, maka uqubat Islam berlaku bagi mereka.

Penganiayaan berujung pembunuhan, jelas akan mendapat sanksi qishash. Pelaku sodomi, jelas akan mendapatkan had liwath, yakni dijatuhkan dari tebing atau tempat tinggi di daerah tersebut. 

Uqubat Islam yang terapkan oleh negara, akan menimbulkan efeknya zawajir (sebagai pencegah) dan efek jawabir (sebagai penebus dosa pelaku). Penerapan uqubat akan menumpas bersih pelaku kejahatan, termasuk pelaku sodomi. 

Alhasil, pelaku sodomi tidak akan melahirkan pelaku baru, sebagaimana yang terjadi di Sukabumi, hanya saja konsep-konsep demikian akan terwujud jika keluarga, masyarakat dan negara menerapkan sistem Islam secara kaffah dalam kehidupan, yakni dalam naungan Daulah Khilafah. 

Wallahu a'lam bishshawab.


Sumariya
Aktivis Lisma Bali
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar