Topswara.com -- Soal:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Saya memohon kepada Allah agar Anda berada dalam kebaikan dan kesehatan.
Apa hukum mengeluarkan zakat fitrah dan kaffarah seperti kaffarah sumpah menggunakan nilai uangnya, dan apakah nilai itu diberikan kepada satu orang miskin atau didistribusikan sesuai penentuan Allah untuknya terhadap sepuluh orang miskin dalam kaffarah sumpah dan kepada enam puluh orang dalam kaffarah zhihar?!
Semoga Allah melimpahkan keberkahan kepada Anda. [Bakar Sa’id]
Jawab:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Anda bertanya tentang dua hal:
Pertama, apakah boleh mengeluarkan nilai dalam zakat fitrah dan kaffarah menggantikan apa yang disebutkan di dalam nas-nas syarak seperti memberi makan dan pakaian dan semacamnya?
Kedua, apakah nilai itu semuanya diberikan kepada satu orang miskin jika nas-nas menyatakan pemberian sejumlah tertentu orang miskin atau harus berpegang dengan jumlah orang miskin yang disebutkan di dalam nas-nas sehingga tidak diberikan semuanya kepada satu orang miskin tetapi diberikan kepada sejumlah orang miskin yang dinyatakan oleh nas?
A. Berkaitan dengan pertanyaan pertama, maka para ulama berbeda pendapat tentang bolehnya mengeluarkan nilai, yakni:
Mengeluarkan seperti yang ada di dalam hadis-hadis yang mulia:
Imam al-Bukhari telah mengeluarkan dari Nafi’ dari Ibnu Umar ra, ia berkata:
«فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ صَدَقَةَ الْفِطْرِ صَاعاً مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعاً مِنْ تَمْرٍ عَلَى الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ وَالْحُرِّ وَالْمَمْلُوكِ»
“Rasulullah SAW mewajibkan shadaqah al-fithri satu sha’ jewawut atau satu sha’ kurma terhadap anak kecil, orang dewasa, merdeka dan hamba sahaya”.
Imam at-Tirmidzi mengeluarkannya dan ada tambahan:
«عَلَى الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى… قَالَ فَعَدَلَ النَّاسُ إِلَى نِصْفِ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ»
“terhadap laki-laki dan perempuan … ia berkata: lalu orang-orang menggantinya dengan setengah sha’ gandum”.
Jadi dia dikeluarkan dengan bendanya.
Adapun nilai uang yakni dengan estimasi penggantinya berupa uang untuk benda shadaqah al-fithri yang disebutkan di hadis-hadis.
Pendapat yang rajih menutur kami adalah apa yang disebutkan di buku al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah berupa bolehnya memberikan nilai dan hal itu boleh (diberi pahala) dalam zakat karena dalil-dalil berikut:
Pertama, dinyatakan di al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah halaman 150-151 file word:
[Dan boleh dalam zakat hasil pertanian dan buah-buahan diambil nilai uang atau yang lainnya menggantikan diambil benda dari hasil pertanian dan buah-buahan itu. Hal itu karena Amru bin Dinar meriwayatkan dari Thawus:
«أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ بَعَثَ مُعَاذاً إِلَى الْيَمَنِ فَكَانَ يَأْخُذُ الثِّيَابَ بِصَدَقَةِ الْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ» رواه أبو عبيد
“Nabi SAW mengutus Mu’adz ke Yaman, dan Mu’adz mengambil pakaian untuk shadaqah gandum dan jewawut” (HR Abu Ubaid).
Diriwayatkan dari Mu’adz tentang shadaqah yang sama, bahwa ia mengambil barang dagangan menggantikannya. Hal itu dalam ucapannya: “Berikanlah kepadaku gamis atau pakaian yang aku ambil dari kalian pada posisi zakat, sebab itu lebih ringan bagi kalian dan lebih bermanfaat untuk orang-orang Muhajirin di Madinah”.
Di dalam as-Sunnah ada dari Rasulullah saw dan para sahabat beliau bahwa telah wajib hak pada harta, kemudian diubah kepada yang lainnya, yang pemberiannya lebih mudah bagi orang yang memberikan dari pada yang asli. Di antara hal itu adalah surat Nabi SAW kepada Mu’adz di Yaman tentang jizyah:
«أَنَّ عَلَى كُلِّ حَالِمٍ دِينَاراً أَوْ عِدْلَهُ مِنَ الْمَعَافِرِ» رواه أبو داود
“Bahwa bagi tidap laki-laki yang sudah baligh satu dinar atau pakaian Yaman” (HR Abu Dawud).
Jadi Nabi SAW mengambil barang menggantikan uang, yakni mengambil pakaian menggantikan emas. Dan di antara hal itu adalah apa yang Beliau tulis kepada penduduk Najran:
«أَنَّ عَلَيْهِمْ أَلْفَيْ حُلَّةٍ فِي كُلِّ عَامٍ، أَوْ عِدْلَهَا مِنَ الأَوَاقِيِّ» رواه أبو عبيد
“Bahwa wajib bagi mereka dua ribu hullah setiap tahun atau yang setara berupa uqiyah” (HR Abu Ubaid).
Ibnu Qudamah menyebutkan di al-Mughnî bahwa Umar ra. mengambil unta dalam jizyah menggantikan emas dan perak. Sebagaimana bahwa Ali ra mengambil jarum, tali dan cairan dalam jizyah menggantikan emas dan perak] selesai.
Kedua, dinyatakan di al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah halaman 159 file word:
[Emas dizakati dengan emas, uang kertas substitusi dan uang kertas substitusi parsial. Perak dizakati dengan perak, uang kertas substitusi dan uang kertas substitusi parsial. Sebagaimana juga diberi pahala, emas dizakati dengan perak dan uang kertas fiat money; dan perak dizakati dengan emas dan uang kertas fiat money. Sebab semuanya adalah uang dan harga. Maka sebagian boleh dibayar dengan sebagian yang lain, dan boleh juga sebagian dikeluarkan dengan sebagian lainnya karena terpenuhinya tujuan dalam hal itu. Di bab Zakât alz-Zurû’ wa ats-Tsimâr Zakat Hasil Pertanian dan Buah-buahan telah dijelaskan dalil-dalil diambilnya nilai menggantikan zat harta yang di dalamnya wajib zakat] selesai.
Berdasarkan hal itu maka saya merajihkan bolehnya membayar zakat al-fithri menggunakan nilai uang atau mengeluarkannya dengan zatnya sebagaimana yang ada di dalam hadis-hadis yang mulia.
Ketiga, perlu diketahui, ada pendapat para fukaha dalam hal itu, di antaranya;
Fukaha hanafiyah berpandangan bahwa yang wajib dalam shadaqah (zakat) al-fithri adalah setengah sha’ berupa gandum atau tepung gandum atau kismis atau satu sha’ kurma atau jewawut.
Adapun sifatnya maka bahwa kewajiban yang dinyatakan oleh nas dari sisi bahwa itu merupakan harta yang dapat diestimasi nilainya secara mutlak bukan dari sisi itu merupakan zat (benda), sehingga boleh diberikan dari semua itu berupa nilai dirham, dinar, fils (fulûs), barang dagangan atau apa yang dikehendaki.
Imam as-Sarakhsiy mengatakan di al-Mabsûth (3/107-108); [jika diberikan nilai gandum maka boleh menurut kami. Sebab yang menjadi patokan adalah tercapainya kecukupan. Hal itu terwujud dengan nilai sebagaimana juga tercapai dengan gandum. Dan ini adalah mazhab hanafiyah dan yang diamalkan di dalam fatwa-fatwa mereka pada semua zakat, kaffarah, nadzar, kharaj dan lainnya.
Umar bin Abdul Aziz berpandangan boleh mengeluarkan nilai. Dari Waki’ dari Qurrah, ia berkata; datang kitab Umar bin Abdul Aziz tentang shadaqah al-fithri; “setengah sha’ dari setiap manusia atau nilainya setengah dirham”. Dan atsar-atsar ini telah diriwayatkan oleh imam Abu Bakar bin Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf ibni Abiy Syaibah (2/398).
Atas dasar itu, maka tidak wajib berpegang dengan zat harta-harta yang dinyatakan oleh nas-nas, tetapi boleh mengeluarkan nilainya, karena dalil-dalil syara’ yang disebutkan di atas.
B. Adapun berkaitan dnegan pertanyaan kedua, para ulama juga telah berbeda pendapat dalam masalah ini. dan pandangan yang saya rajihkan bahwa jika nas menyatakan jumlah tertentu orang miskin semisal:
﴿فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ﴾
“Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka …” (TQS al-Maidah [5]: 89).
﴾، ﴿فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِيناً﴾
“Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin” (TQS al-Mujadilah [58]: 4).
Dalam kondisi ini wajib berpegang dengan jumlah yang disebutkan (sepuluh orang, enam puluh orang) baik pemberian itu dengan bendanya atau nilainya. Hal itu karena jumlah adalah yang dimaksudkan, dan itu merupakan batasan yang mengikat.
Adapun jika nas menuntut pemberian orang-orang miskin tanpa menyebutkan jumlah maka boleh diberikan kepada satu orang miskin saja karena tidak adanya pembatasan dengan jumlah. Dan juga boleh diberikan kepada lebih dari satu orang miskin. Hal itu seperti firman Allah SWT tentang zakat:
﴿إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ﴾
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (TQS at-Tawbah [9]: 60).
Jadi orang yang berzakat boleh memberikan zakatnya kepada satu orang miskin, dan dia juga boleh membaginya kepada lebih dari satu orang miskin. Sebab tidak dinyatakan jumlah tertentu di dalam ayat tersebut, tetapi dinyatakan lafal “al-masâkîn (orang-orang miskin)”, begitu tanpa jumlah. Tetapi dalam hal itu harus diperhatikan bahwa mereka berhak mendapatkan zakat karena sifat kemiskinan.
Jadi batasan maksimal dari zakat yang diberikan, baik mereka itu satu orang atau lebih dari satu orang, adalah apa yang menjadikan mereka dalam kecukupan dari (tidak membutuhkan) zakat. Yakni apa yang membuat mereka kecukupan, yang mana mereka menjadi bukan orang yang berhak untuk mendapat zakat.
Artinya dengan zakat yang diberikan kepada mereka, mereka keluar dari sifat kemiskinan. Dan tidak boleh memberi mereka lebih dari yang demikian. Kadar ini tentu saja berbeda dari satu person ke person yang lain dan dari satu kondisi ke kondisi yang lain.
Ini yang saya rajihkan, wallâh a’lam wa ahkam.
Syekh 'Atha' Abu ar-Rasytah
Ulama Asal Timur Tengah
0 Komentar