Topswara.com -- Tunjangan Hari Raya merupakan salah satu bentuk apresiasi untuk karyawan yang telah bekerja dengan baik selama setahun, serta membantu mereka untuk mempersiapkan diri menyambut hari raya dengan baik.
Tentu saja momen ini sangat dinantikan, karena selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, THR ini biasanya digunakan untuk berbagi dengan sanak keluarga.
Namun, ada yang berbeda dengan pembagian THR kali ini. Karena ada wacana pajak THR, dilansir dari BBC.com (29/3/2024). Banyak orang terkejut dan protes melihat besarnya potongan pajak atas penghasilan dan tunjangan hari raya (THR) mereka di bulan Maret.
Biang keroknya adalah skema baru penghitungan dan pemungutan pajak penghasilan (PPh) yang diterapkan sejak Januari, yang disebut hanya menambah pekerjaan praktisi pajak dan memaksa banyak orang mengatur ulang rencana keuangannya.
Tentu saja wacana ini membuat orang kontra, bagaimana tidak, ditengah kehidupan yang pelik ini, semua kebutuhan pokok mahal, berbagai macam pajak dibebankan kepada rakyat. Masih saja pemerintah mencari celah untuk mematikan rakyatnya melalui pajak THR.
Dilansir dari Infobanknews.com (2/4/2024) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengakui bahwa potongan pajak penghasila (PPh) 21 karyawan untuk Tunjangan Hari Raya (THR) lebih besar dibanding bulan lainnya. Hal ini seiring digunakannya metode penghitungan PPh 21 dengan Tarif Efektif Rata-Rata (TER).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti menjelaskan implementasi tersebut telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2023 beserta ketentuan turunannya yakni Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2023.
Dari sini dapat kita lihat pemerintah tidak benar-benar mengurus kesejahteraan rakyat. Rakyat banting tulang mencari penghidupan yang layak, namun malah dipalak secara sistemis.
Penerapan pajak atas THR merupakan praktek perekonomian sistem kapitalisme, segalanya dibebani pajak, dari mulai pajak kendaraan bermotor, pajak gaji, pajak air bersih, dan lainnya, karena pajak ini merupakan sumber utama pemasukan negara.
Kesejahteraan dalam Islam
Islam sebagai agama sekaligus aturan kehidupan tentu saja mengatur seluruh aktivitas manusia. Mulai dari bangun tidur sampai bangun negara. Tentu saja dalam pemerintahan Islam, kesejahteraan rakyat diperhatikan.
Dalam Islam ekonomi yang diterapkan adalah ekonomi Islam, yang mana bukan berbasis riba dan non rill. Dalam ekonomi Islam setiap kepala rumah tangga diwajibkan untuk mendapatkan pekerjaan, dalam hal ini negara membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi rakyat, sehingga tidak ada yang namanya laki-laki menganggur.
Kemudian negara menjadi kebutuhan pokok seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Sehingga rakyat tidak perlu dipusingkan lagi akan memenuhi berbagai macam kebutuhan pokok yang harganya selangit.
Dalam Islam, pajak hanya sebagai instrumen saja, ketika kas negara kosong akibat adanya gejala alam seperti paceklik atau bencana alam yang menyebabkan sumber daya alam rusak. Dan pungutan pajak ini hanya dipungut pada rakyat yang memiliki kekayaan saja dan itupun sifatnya tidak memaksa.
Tetapi karena rakyat dalam negara Islam telah dibina dengan akidah Islam sehingga menimbulkan kecintaan rakyat kepada negara, maka otomatis ketika negara dalam kesusahan rakyat yang memiliki kelebihan harta akan membackup negara.
Seperti pada masa kepemimpinan Harun Ar-Rasyid sangat susah ditemukan masyarakat yang miskin, mereka menolak menerima zakat, karena mereka sudah berkecukupan dalam memenuhi kebutuhan pokok.
Tidaklah kita merindukan Islam diterapkan dalam kehidupan bernegara?
Oleh: Alfia Purwanti
Analis Mutiara Umat Institute
0 Komentar