Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

The Power of Ramadan (Bagian 29)

Topswara.com -- Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS Al Baqarah : 183). 

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali Imran : 110).

Alhamdulillah, kembali kita berjumpa melalui tulisan seri The Power of Ramadhan hari ke duapuluh sembilan bulan suci Ramadhan 1445 H. Ramadhan adalah bulan dimana seorang muslim mengalami peningkatan keimanan dan ketaqwaan yang ditandai oleh peningkatan kualitas dan kuantitas ibadah dan amal shalih.

Adalah sebuah keniscayaan jika Ramadhan menumbuhkan kekuatan istiqomah dan peningkatan ibadah selepas Ramadhan. Pembiasaan kualitas dan kuantitas ibadah di bulan Ramadhan idealnya terulang pada 11 bulan pasca Ramadhan.

Raihan ketakwaan bulan Ramadhan mestinya terjadi pada semua level umat, yakni dari kataqwaan individu, ketaqwaan keluarga, ketaqwaan masyarakat dan ketaqwaan negara. Ketakwaan individu juga meliputi berbagai peran seperti sebagai suami, istri, orang tua, anak hingga sebagai pemimpin bagi masyarakat luas. 

Jika ketakwaan adalah penerapan syariah Islam kaffah, maka idealnya selepas Ramadhan ini para pemimpin menyadari akan hukum dan syariat Allah untuk diterapkan di negeri ini.

Sebab jika tak di terapkan secara kaffah, yang terjadi justru negara semakin bubrah. Allah berfirman : Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?" (TQS Tha ha : 124-125).

Ramadhan memang sangat istimewa, maka jika boleh berharap, kita akan memohon kepada Allah agar sepanjang bulan bernama bulan Ramadhan, namun hal ini mustahil. Selepas Ramadhan, kita akan merasa sangat kehilangan berpisah dengan bulan istimewa ini. 

Apakah kita akan kembali kepada kebiasaan lama yang tidak berkualitas. Sebagaimana dahulu disaat para sahabat kehilangan Rasulullah karena wafat, maka Allah bertanya akankan kembali menjadi murtad?.

Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur (TQS Ali Imran : 144-145).

Secara individual, pelaksanaan puasa Ramadhan memiliki dampak meningkatnya kualitas ketaqwaan. Sebagaimana disepakati oleh jumhur ulama bahwa hakekat ketaqwaan adalah derajat mulia bagi seorang muslim karena mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan mampu menjauhi seluruh larangan Allah.

Ketakwaan adalah bekal terbaik bagi seorang muslim karena bisa mendatatangkan ridha dan surganya Allah. Dalam Qur’an, surga disebut dengan istilah Darul Muttaqien yakni tempat atau kampung bagi orang-orang bertakwa. Dan Sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa (TQS An Nahl : 30).

Inti Ramadhan adalah ketakwaan. Sebab ujung dari pelaksanaan puasa pada bulan suci Ramadhan adalah diraihnya status sebagai manusia yang bertaqwa (TQS Al Baqarah : 183). Siapapun kaum muslimin yang mampu menyelesaikan ibadah bulan suci ini akan berpeluang mendapatkan derajat paling mulia di sisi Allah ini. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (TQS Al Hujuraat : 13).

Karena itu menjadi penting memahami arti takwa yang sesungguhnya serta menerapkan nilai-nilai ketakwaan dalam kehidupan sehari-hari. Sebab derajat taqwa akan bisa terlihat dari perubahan sikap yang lebih baik seusai melaksanakan ibadah puasa selama sebulan penuh. 

Meski ada perbedaan perilaku orang-orang bertakwa sesuai dengan status di dunia, namun muaranya adalah sama yakni melaksanakan seluruh hukum-hukum Allah dan menjauhi seluruh larangan Allah.

Ketakwaan seorang individu adalah ketika mampu menjadikan hukum-hukum Allah sebagai timbangan sikap dan perilakunya. Timbangan perbuatan dalam hukum Islam ada lima yakni wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Kehati-hatian dalam berperilaku agar selalu dalam ketundukan kepada hukum Allah dan terhindar dari jerat kemaksiatan dan pelanggaran hukum syariah itulah yang disebut sebagai takwa.

Hal ini sejalan dengan pengertian takwa menurut Abu Hurairah yang dijelaskan oleh Ibn Abi Dunya dalam kitab at taqwa dengan memberikan ilustrasi seseorang yang berhati-hati saat mendapati jalan yang dilewatinya banyak duri agar terhindar dari tajamnya tusukan duri di kaki. 

Kehati-hatian dalam menjalani kehidupan agar tetap dalam koridor hukum Allah dan tidak terjerembab dalam kubangan dosa inilah yang dimaksud takwa menurut Abu Hurairah.

Perkataan Abu Hurairah sejalan dengan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Al Bukhari, at Tirmidzi, Ibn Majah, al Hakim dan al Baihaqi, bahwa tidaklah dikatakan sebagai orang mukmin yang mencapai derajat takwa hingga ia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna karena khawatir terjerumus kepada hal-hal yang haram.

Dalam Al-Qur’an istilah takwa juga terdapat pada QS Al Baqarah ayat 2, “ Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa”. Imam as Syuyuti dalam kitab tafsirnya, Ad Duur al Mantsur fi at Tafsir bi al Ma’tsur, mengumpulkan pendapat salafush shalih diantaranya adalah Ibn Mas’ud yang mengartikan muttaqien sebagai orang-orang mukmin.

Ibn Abbas mendefinisikan muttaqien sebagai orang-orang yang khawatir terhadap hukuman Allah karena meninggalkan petunjuk (Al-Qur’an) yang diketahuinya seraya berharap rahmatNya dengan membenarkan apa saja yang datang dari Allah. Mu’adz bin Jabal mengatakan bahwa muttaqien adalah orang-orang yang takut akan syirik dan penyembahan kepada berhala serta mengikhlaskan diri beribadah hanya kepada Allah.

Ibn Mubarak, sebagaimana dinukil oleh Ibn bin Abi Dunya, menyatakan bahwa Nabi Dawud as pernah mengatakan kepada Nabi Sulaiman as, putranya, “ Anakku, engkau akan menemukan ketakwaan pada seseorang dengan tiga hal : baiknya ketawakalannya kepada Allah atas apa saja yang menimpa dirinya, bagusnya keridhoannya atas apa saja yang Allah berikan kepadanya dan indahnya kezuhudan atas apa saja yang hilang dari dirinya.

Umar bin Abdul Aziz pernah mengatakan bahwa taqwa kepada Allah bukanlah ditandai oleh seringnya puasa di siang hari dan seringnya melakukan shalat malam atau kedua-duanya. Akan tetapi, taqwa kepada Allah itu adalah meninggalkan apa saja yang Allah haramkan dan melaksanakan apa saja yang Allah wajibkan.

Wajar jika Rasulullah bersabda yang diriwayatkan oleh Ahmad dan ad Darimi bahwa banyak orang berpuasa hanya mendapatkan rasa haus dan lapar dikarenakan perbuatannya saat puasa justru banyak yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah.

Maka hakekat takwa adalah ketundukan kepada Allah secara totalitas. Allah berfirman, “ Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”. (TQS Al baqarah : 208)

Karena itu menjadikan Al-Qur'an sebagai petunjuk atas seluruh perilaku dalam kehidupan di dunia adalah refleksi ketakwaan hakiki bagi seorang muslim. Banyak aspek perilaku dalam kehidupan di dunia, misalnya perilaku ekonomi, politik, budaya, pendidikan, keluarga, kepemimpinan, baik individu maupun dalam konteks politik dan ketatanegaraan.

Ramadhan disebut juga sebagai syahrul Al-Qur’an yang artinya adalah bulan dimana Al Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi manusia yang ingin selamat dunia akherat. Maka, Ramadhan mesti diisi dengan memperbanyak membaca, memahami, mengajarkan dan mendakwahkan Al-Qur’an.

Al-Qur’an adalah kitab suci yang berisi hukum-hukum kehidupan yang jika dijalankan akan mampu mengantarkan manusia kepada kebahagiaan di dunia dan akherat. Hukum-hukum muamalah seperti ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya tercantum dengan jelas dan sempurna, sebab Al-Qur’an adalah penyempurna bagi kitab-kitab sebelumnya. 

Begitulah semestinya para pemimpin memberikan makna kehadiran Ramadhan, sebab pemimpin memiliki amanah yang lebih berat dibandingkan rakyat secara individu.

Karena itu bulan suci Ramadhan ini hendaknya menjadikan ketakwaan bukan hanya melekat kepada ketakwaan individu, melainkan juga ketakwaan sosial atau ketaqwaan suatu negeri. 

Ramadhan menjadi semacam momentum transformasi menuju ketakwaan negeri. Artinya Ramadhan idealnya mampu mengantarkan setiap individu rakyat menjadi orang-orang yang tunduk patuh kepada syariah Allah.

Namun tidak hanya sampai disitu, Ramadhan ini idealnya juga bisa mengantarkan kepada ketaqwaan negara, dimana negeri ini tunduk dan patuh kepada syariah Allah dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Menjadikan Ramadhan sebagai bulan penumbuh kekuatan dan atau energi ideologis bagi bangsa ini adalah sebuah langkah mulia.
 
Ramadhan hendaknya dijadikan sebagai muhasabah bangsa sudah sejauh mana negara ini tunduk terhadap hukum dan aturan Allah, atau justru malah semakin jauh dari syariat Allah dalam menata sistem ekonomi, politik, budaya, pendidikan, sosial, serta hubungan luar negeri. 

Sebab totalitas (kaffah) ketundukan adalah tanda ketakwaan, sementara keimanan dan ketakwaan akan mendatangkan keberkahan dari Allah bagi seluruh rakyat Indonesia. 
 
Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam firmanNya : Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya (TQS Al A’raf : 96)
 
(Kota Hujan, 08/4/24 M : 29 Ramadhan 1445 H : 05.36 WIB)


Oleh : Ahmad Sastra 
Dosen Filsafat 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar