Topswara.com -- Perceraian sesuatu yang tidak pernah diinginkan siapa saja yang berumah tangga. Cita-cita setiap pasangan adalah membangun mahligai pernikahan yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Hidup bersama, selaras, sehati, membesarkan anak-anak hingga ajal tiba, lalu bersama lagi di jannah.
Namun tidak ada yang pernah tahu berapa lama pernikahan itu akan berlangsung. Semua adalah takdir; jodoh, rezeki, ajal, adalah sesuatu yang manusia bisa berikhtiar tetapi ketetapannya adalah kuasa Allah.
Tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya sekalipun seberat atom, baik yang di langit maupun yang di bumi, yang lebih kecil daripada itu atau yang lebih besar, kecuali semuanya ada dalam kitab yang jelas (Lauh Mahfuz). (TQS. Saba [34]: 3).
Islam Cintai Kebersamaan
Perceraian itu juga ketetapan Allah d. Bisa jadi seorang suami berkehendak mempertahankan pernikahan, tetapi istri sudah merasa tidak bisa lagi bertahan. Juga sebaliknya, ada suami yang tidak mau lagi hidup bersama karena sudah tidak bisa lagi sehati.
Pada dasarnya perceraian bukanlah sesuatu yang dimudahkan agama. Allah meminta suami bersahabat dengan baik pada istri, juga untuk selalu melihat kebaikan-kebaikan pada istrinya sekalipun pasti ada kekurangannya. FirmanNya:
Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya. (TQS. An-Nisa [4]: 19).
Allah Ta’ala juga memerintahkan para suami agar tidak mencari-cari kesalahan istri sebagai jalan untuk berbuat aniaya, apalagi menceraikannya. FirmanNya:
Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar. (TQS. An-Nisa [4]: 34).
Kepada para muslimah ada pesan yang disampaikan Baginda Nabi agar tidak meminta talak tanpa alasan yang syar’iy.
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاَقًا فِى غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّة
Wanita mana saja yang meminta talak (cerai) tanpa ada alasan yang jelas, maka haram baginya mencium bau surga. (HR. Abu Daud).
Lima Hal Penting
Namun bila ternyata perceraian itu terjadi, maka kedua belah pihak wajib memperhatikan syariat Islam yang berkaitan dengan persoalan ini. Agar perceraian tidak menambah luka, apalagi menjadi dosa karena mengabaikan hukum syara’. Sebab, penting dipahami, ada hak mantan pasangan yang wajib ditunaikan. Jangan lupa juga ada hak anak yang wajib dipelihara bersama. Ini sejumlah hal yang mesti diperhatikan:
Pertama, soal iddah. Istri yang ditalak suami masih punya hak mendapatkan nafkah dan tinggal di rumah suaminya sepanjang masa iddahnya. Dimana masa iddah seorang istri yang ditalak dalam keadaan tidak hamil adalah 3 kali haid (lihat QS. Al-Baqarah: 228), adapun wanita yang ditalak dalam kondisi hamil adalah sampai melahirkan (lihat QS. Ath-Thalaq: 4), adapun wanita yang sudah menopause juga wanita yang belum haid masa iddahnya adalah tiga bulan (lihat QS. Ath-Thalaq: 4).
Adalah kekeliruan ketika seorang wanita yang ditalak raj’i (talak yang dapat dirujuk kembali) langsung pergi meninggalkan rumah suaminya, atau suaminya mengusirnya dan tidak memberikan nafkah.
Sesungguhnya wanita yang sedang dalam masa iddah masih berhak tinggal bersama dengan suaminya dan masih berhak mendapatkan nafkah, kecuali wanita yang nusyuz (membangkang pada suaminya). Firman Allah:
Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu idah itu, serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah (diizinkan) keluar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas. Itulah hukum-hukum Allah, dan barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, maka sungguh, dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali setelah itu Allah mengadakan suatu ketentuan yang baru. (TQS. Ath-Thalaq [65]: 1).
Kedua, menunaikan hak harta masing-masing. Banyak suami-istri saat menikah menggunakan uang bersama untuk beragam keperluan seperti membeli atau membangun rumah, membeli mobil, emas batangan.
Nah, saat bercerai maka harta itu kembali pada pemiliknya masing-masing, kecuali jika salah satu menghibahkan untuk pasangannya. Karenanya, menjadi penting pasangan suami istri memiliki catatan kepemilikan harta bersama.
Adanya catatan itu bermanfaat untuk menghindari konflik suami istri dalam soal gono-gini. Tidak jarang lho, perceraian berbuntut permusuhan panjang karena persoalan harta gono-gini.
Ketiga, memperhatikan hak pengasuhan anak. Ini juga sering menjadi konflik besar pasangan yang perceraian. Solusinya kembalikan pada Islam tentang hukum pengasuhan anak ini.
Syariat Islam menetapkan bahwa anak yang masih usia hadhanah/pengasuhan yang membutuhkan bantuan dan perawatan dari orang dewasa, bila tidak maka akan terlantar bahkan menderita, maka hak asalnya adalah pada ibu.
Hal ini juga ditegaskan oleh sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dengan menukil dari ayahnya, dari kakeknya bahwa ada seorang wanita yang mengadu kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً، وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً، وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً، وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي، وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي
“Wahai Rasûlullâh! Anak ini dulu pernah menjadikan perutku sebagai wadahnya, payudaraku sebagai sumber minumnya dan kamarku sebagai rumahnya. Kini ayahnya telah menceraikanku dan ingin merampasnya dariku.” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada wanita ini, “Kamu lebih berhak terhadapnya selama kamu belum menikah lagi“.(HR Abu Daud, Ahmad dan al-Hâkim).
Namun ketika anak sudah bisa terlepas dari bantuan orang dewasa, maka ia diperbolehkan memilih antara mengikuti ayah atau ibunya. Sebagaimana dalam hadis Imam Nasa’i diriwayaatkan bahwa sahabat Nabi yang bernama Rafi bin Sinan ra bercerai dari istrinya yang tidak mau memeluk Islam lalu mereka memperebutkan hak asuh anak mereka.
Rasulullah SAW kemudian mendudukkan sang anak di antara mereka berdua untuk memilih siapa yang akan diikutinya. Nabi lalu berdoa agar sang anak diberikan hidayah, dan akhirnya ia memilih sang ayah.
Keempat, menjaga batas pergaulan manakala telah selesai masa iddah. Dalam talak yang masih dapat dirujuk kembali (talak raj’iy) selama masa iddah mereka yang bercerai masih tinggal satu rumah, dan istri masih berhak mendapatkan nafkah. Bahkan mereka juga boleh langsung rujuk.
Namun bila selesai masa iddah, keduanya harus berpisah dengan kehidupan masing-masing sebagaimana sebelum pernikahan. Berlakulah larangan khalwat, menutup aurat.
Kelima, menghindari pertengkaran apalagi mengumbar aib mantan pasangan. Menyedihkan memang tidak sedikit mereka yang bercerai meneruskan dendam dan permusuhan. Padahal perceraian itu harusnya menjadi titik nol dalam hubungan, tanpa perlu membawa permusuhan yang terjadi seperti masa pernikahan.
Tidak jarang pertengkaran dan saling membuka aib itu terbawa di media sosial. Padahal sudah ada perintah untuk menutupi aib sesama muslim, termasuk aib mantan pasangan. Nabi e bersabda:
وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا, سَتَرَهُ اَللَّهُ فِي اَلدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
Barang siapa menutupi aib seorang, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. (HR Muslim).
Ketika Anda bercerai, maka jalani hidup masing-masing dengan damai. Tidak perlu kepo ingin tahu apa yang dilakukan mantan pasangan, memantau terus menerus akun medsosnya. Itu hanya membuat Anda terluka.
Jalani hidup baru sebaik-baiknya. Dekatkan diri pada Allah dan memohon padaNya agar diberikan petunjuk terbaik bila kelak diberi kesempatan berumah tangga lagi.
Oleh: Ustaz Iwan Januar
Direktur Siyasah Institute
Sumber: iwanjanuar.com
0 Komentar