Topswara.com -- Betapa majunya Kesultanan Aceh Darussalam ketika menjadi salah satu provinsi Khilafah Utsmani termasuk dalam memperlakukan perempuan. Bila sekarang orang yang hidup dalam naungan demokrasi meributkan emansipasi wanita, Aceh kala itu telah menunjukkan bagaimana Islam memperlakukan perempuan dengan baik.
Nenek moyangku/ orang pelaut...// gemar mengarung/ luas samudra...// menerjang ombak/ tiada takut // menempuh badai/ sudah biasa...//
Apa yang ada di benak Anda begitu mendengar lagu anak-anak di atas? Ya, nenek moyang kita memang pelaut ulung. Tetapi apakah pernah terbayang ternyata kita memiliki sosok nenek moyang perempuan Muslimah yang bukan hanya tiada takut menerjang ombak, tetapi dengan gagah perkasa berperang di lautan melawan pasukan Kerajaan Protestan Belanda dengan berujung kemenangan setelah duel satu lawan satu di dek kapal?
Dialah Keumala Hayati, Laksamana Laut Kesultanan Aceh Darussalam, dan dalam situs kebudayaanindonesia.net Dirjen Kebudayaan RI, disebut sebagai Laksamana Laut Wanita Pertama di Dunia.
Sayangnya, tidak banyak catatan sejarah berbahasa Aceh atau Indonesia tentang perempuan yang disebut sebagai satu dari 10 Best Woman Warrior atau satu dari 7 Warlord Woman in History tersebut, sehingga tanggal lahir dan kematiannya pun tidak ada.
Namun, dalam wikipedia berbahasa Inggris, tanggal, bulan dan tahun pertempuran dan diplomasi Keumala Hayati dengan Kerajaan Protestan Belanda, Kerajaan Katolik Inggris dan Kerajaan Katolik Portugis tercatat.
Ini menunjukkan betapa seriusnya kafir penjajah melihat potensi ancaman di negeri jajahannya. Karena, tidak ada yang bisa berdagang dengan berbagai wilayah di Nusantara tanpa melewati 100 kapal perang yang berisi sekitar 2000 pasukan angkatan laut perempuan di bawah pimpinan Keumala Hayati. Sehingga, laksamana yang kuat ini adalah faktor penting yang harus diperhatikan. Segala sesuatu tentang dirinya dipelajari, dan masuk dalam analisa upaya mereka untuk menjarah rempah-rempah di Nusantara.
Berdasarkan catatan itu pula, pembaca bisa tahu betapa majunya Kesultanan Aceh Darussalam ketika menjadi salah satu provinsi Khilafah Utsmani termasuk dalam memperlakukan perempuan. Bila sekarang, orang yang hidup dalam naungan demokrasi meributkan emansipasi wanita. Aceh kala itu telah menunjukkan bagaimana Islam memperlakukan perempuan dengan baik.
Didukung Ibu Kota
Berdasarkan sebuah manuskrip yang tersimpan di University Kebangsaan Malaysia dan berangka tahun 1254 H atau sekitar tahun 1875 M, Keumala Hayati berasal dari kalangan bangsawan Aceh, dari kalangan sultan-sultan Aceh terdahulu.
Keumala Hayati, atau lebih populer disebut Malahayati, adalah putri Laksamana Machmud Syah. Cucu dari Laksamana Muhammad Said Syah, putra Sultan Salahuddin Syah yang menjadi Wali (gubernur) Kesultanan Aceh Darussalam tahun 1530-1539 M.
Setelah lulus dayah (pesantren), Malahayati melanjutkan sekolah akademi militer Ma’had Baitul Maqdis (Aceh Royal Military Academy). Akademi militer kenamaan Kesultanan Aceh yang dibangun atas dukungan Khalifah Sultan Selim II. Bahkan tidak sedikit para instrukturnya yang didatangkan langsung dari Turki, Ibu Kota Khilafah Ustmani.
Di akademi militer itu, Malahayati tumbuh sebagai sosok brilian. Di situ pula, ia bertemu dengan kakak angkatan yang kemudian menjadi suaminya. Lulus dari akademi, Malahayati diangkat menjadi Komandan Protokol Istana Darud-Dunia Kesultanan Aceh Darussalam. Sang suami menjadi laksamana.
Setelah suaminya syahid di palagan Selat Malaka ketika melawan Portugis, Malahayati memohon kepada Sultan Saidil al-Mukammil Alauddin Riayat Syah, Wali Aceh yang berkuasa dari 1588-1604 M, untuk membentuk armada perang. Prajuritnya adalah para janda pejuang Aceh yang gugur dalam pertempuran di Selat Malaka itu.
Gayung bersambut. Saat itu, Kesultanan Aceh memang tengah meningkatkan keamanan karena gangguan Portugis. Usul membentuk armada dikabulkan, Malahayati diangkat jadi Panglima Armada Inong Balee atau Armada Janda.
Pasukan itu bermarkas di Teluk Lamreh Kraung Raya. Benteng Kuto Inong Balee dengan tinggi sekitar tiga meter dibangun. Lengkap dengan meriam. Sisa-sisa benteng itu kini masih bisa dilihat di Aceh. Tidak hanya menyusun pertahanan di darat. Pasukan Inong Balee dilengkapi seratus lebih kapal perang. Armada asing yang melintas di Selat Malaka pun menjadi gentar.
Pada 21 Juni 1599, komandan ekspedisi Belanda, Cornelis de Houtman tiba di pelabuhan Aceh. Pada awalnya, Sultan menerima de Houtman hingga kemudian de Houtman menghina Sultan. Belanda, yang sebelumnya sudah bertikai dengan Kesultanan Banten di ujung barat Pulau Jawa, memutuskan untuk menyerang Aceh.
Malahayati memimpin pasukan Inong Balee untuk menyambut tantangan Belanda, yang berujung dengan tewasnya Cornelis de Houtman pada tanggal 11 September 1599 dalam pertarungan satu lawan satu di atas dek kapal.
Tidak kapok, pada 21 Nopember 1600, angkatan laut Belanda dipimpin oleh Paulus van Caerden, merampok dan menenggelamkan kapal dagang Aceh yang penuh dengan rempah-rempah di perairan Aceh. Pasca insiden ini, pada bulan Juni 1601, Laksamana Keumalahayati menangkap Laksamana Jacob van Neck saat dia berlayar di perairan Aceh.
Setelah berbagai insiden penghadangan ekspedisi angkatan laut Belanda, Maurits van Oranje mengirimkan Laksamana Laurens Bicker dan Gerard de Roy dengan membawa surat permohonan maaf kepada Kesultanan Aceh.
Agustus 1601, Laksamana Keumalahayati menemui utusan Maurits van Oranje dan membuat perjanjian gencatan senjata, serta ganti rugi 50 ribu gulden sebagai kompensasi atas tindakan Paulus van Caerden, sementara itu dari pihak Laksamana Keumalahayati harus membebaskan tentara Belanda yang ditahan.
Pasca perjanjian ini disepakati, Sultan mengirim tiga orang utusan ke Belanda. Reputasi Laksamana Keumalahayati sebagai Penjaga Kesultanan Aceh (Guardian of The Aceh Kingdom) membuat Inggris memilih menggunakan langkah diplomatik untuk memasuki Selat Malaka.
Ratu Kerajaan Katolik Inggris Elizabeth I mengirim James Lancaster kepada Sultan Aceh, yang kemudian bernegosiasi dengan Keumalahayati. Hasil dari negosiasi adalah perjanjian pembukaan rute kapal dagang Inggris ke Jawa yang disusul dengan pembukaan kantor cabang Inggris di Banten. Ratu Elizabeth I menganugerahi Lancaster gelar Knighthood atas suksesnya melakukan pembicaraan diplomatik dengan Aceh dan Banten.
Beberapa sumber sejarah menyebut, kemudian Malahayati menemukan kesyahidannya (aamiin) dalam peperangan melawan Portugis di Teuluk Krueng Raya, dan dimakamkan di lereng Bukit Kota Dalam, 34 km dari Banda Aceh.
Di bawah Sultan Iskandar Muda (1607 M-1636 M), Aceh mencapai puncak kejayaannya bersama Laksamana Keumalahayati, sang pahlawan wanita tiga zaman. Ya, seperti doa dari orang tuanya ketika memberikan nama, Malahayati menjadi sosok kehidupan yang bercahaya laksana keumala (dalam bahasa Aceh, keumala artinya batu indah yang bercahaya).
Nah, sekarang bila mendengar lagi lagu Nenek Moyangku Orang Pelaut, apa yang terbayang di benak Anda? []
Oleh: Joko Prasetyo
Jurnalis
0 Komentar