Topswara.com -- Sobat. Dalam pandangan Islam, musibah (cobaan atau kesulitan) dan ujian hidup dianggap sebagai bagian tak terhindarkan dari kehidupan manusia.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:
وَلَنَبۡلُوَنَّكُم بِشَيۡءٖ مِّنَ ٱلۡخَوۡفِ وَٱلۡجُوعِ وَنَقۡصٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ
"Dan pasti Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar." (Q.S. Al-Baqarah: 155)
Dari ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa ujian-ujian tersebut adalah sarana untuk menguji kesabaran dan keimanan seseorang kepada Allah SWT. Dalam Islam, sikap yang dianjurkan ketika menghadapi musibah adalah sabar, tawakal (berserah diri kepada Allah), dan bersyukur.
Selain itu, musibah dan ujian hidup dianggap sebagai kesempatan untuk membersihkan dosa-dosa, meningkatkan keimanan, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan menghadapi ujian-ujian tersebut dengan sikap yang baik dan berserah diri kepada Allah SWT, seseorang diyakini akan mendapatkan pahala dan kemuliaan di sisi-Nya.
Namun, dalam pandangan Islam, penting juga untuk berupaya melakukan tindakan yang tepat dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasi musibah tersebut, sejauh itu memungkinkan, tanpa melupakan ketergantungan pada Allah SWT. Ini termasuk upaya untuk mencari solusi, memperbaiki situasi, dan membantu sesama manusia yang membutuhkan bantuan.
Bagaimana sikap yang tepat dalam menghadapi musibah dan ujian hidup?
Dalam Islam, ada beberapa sikap yang dianjurkan untuk menghadapi musibah dan ujian hidup dengan tepat:
1. Sabar: Sabar adalah sikap yang sangat dianjurkan dalam Islam ketika menghadapi musibah. Ini berarti menahan diri dari keluhan dan amarah, serta tetap tenang dan tabah dalam menghadapi cobaan.
2. Tawakal: Tawakal berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Ini artinya melepaskan kekhawatiran dan mempercayakan segala hal kepada kehendak-Nya, karena keyakinan bahwa Allah SWT adalah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.
3. Bersyukur: Meskipun dalam kondisi sulit, bersyukur kepada Allah SWT adalah sikap yang dianjurkan dalam Islam. Bersyukur atas segala nikmat yang masih diberikan Allah meskipun dalam ujian, serta bersyukur karena ujian tersebut bisa menjadi sarana untuk membersihkan dosa dan mendekatkan diri kepada-Nya.
4. Berdoa: Berdoa merupakan cara untuk meminta pertolongan dan perlindungan Allah SWT dalam menghadapi musibah. Berdoa juga merupakan cara untuk memohon kesabaran, kekuatan, dan ketenangan hati dalam menghadapi cobaan.
5. Membantu Sesama: Menghadapi musibah dengan sikap empati dan membantu sesama yang juga mengalami kesulitan adalah tindakan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Memberikan dukungan moral, materi, atau bantuan praktis kepada mereka yang membutuhkan dapat membawa keberkahan dan mendapatkan rahmat dari Allah SWT.
6. Merefleksikan dan Mengambil Pelajaran: Musibah dan ujian hidup dapat menjadi peluang untuk merefleksikan diri, memperbaiki kekurangan, dan mengambil pelajaran untuk meningkatkan keimanan dan kualitas hidup di masa depan.
Dengan menjalankan sikap-sikap tersebut dengan ikhlas dan penuh keimanan, seseorang diharapkan dapat menghadapi musibah dan ujian hidup dengan tegar dan mendapatkan keberkahan serta pahala dari Allah SWT.
Musibah untuk Menguji Kualitias Keimanan
Ya, dalam pandangan Islam, musibah sering dianggap sebagai ujian dari Allah SWT untuk menguji kualitas keimanan seseorang. Musibah bisa datang dalam berbagai bentuk, termasuk penyakit, kehilangan, kesulitan finansial, atau musibah lainnya.
Tujuan dari ujian tersebut adalah untuk melihat sejauh mana seseorang mempertahankan keimanan, kesabaran, dan ketaatan kepada Allah SWT dalam menghadapi cobaan tersebut.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:
"Dan pasti Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Q.S. Al-Baqarah: 155)
Dalam hadis, Rasulullah SAW juga menyampaikan bahwa ujian-ujian tersebut adalah cara Allah SWT untuk membersihkan dosa-dosa hamba-Nya dan meningkatkan derajat mereka di sisi-Nya.
Dengan menghadapi musibah dengan sabar, tawakal, dan tetap berpegang pada keimanan kepada Allah SWT, seseorang diharapkan dapat melewati ujian tersebut dengan baik dan mendapatkan pahala serta keberkahan dari-Nya. Musibah juga bisa menjadi kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan meningkatkan keimanan serta kekuatan spiritual.
Musibah untuk Menghapus Dosa-Dosa Sekaligus Meningkatkan Kualitas Hidup
Dalam pandangan Islam, musibah memang dapat berfungsi sebagai sarana untuk menghapus dosa-dosa dan meningkatkan kualitas hidup seseorang. Ketika seseorang menghadapi musibah dengan kesabaran, tawakal, dan tetap berserah kepada kehendak Allah SWT, musibah tersebut dapat menjadi penyucian bagi jiwa serta penghapus dosa-dosa yang telah dilakukan.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:
وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٖ فَبِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِيكُمۡ وَيَعۡفُواْ عَن كَثِيرٖ
"Dan apa saja musibah yang menimpakanmu, maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Dan Allah memaafkan sebagian besar (dosa-dosa)mu." (Q.S. Asy-Syura: 30)
Sobat. Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa apa yang menimpa manusia di dunia berupa bencana penyakit dan lain-lainnya adalah akibat perbuatan mereka sendiri, perbuatan maksiat yang telah dilakukannya dan dosa yang telah dikerjakannya sebagaimana sabda Nabi saw:
'Ali berkata, "Maukah kalian aku beritahukan mengenai ayat yang sangat utama dalam Al-Qur'an sebagaimana Nabi saw sampaikan kepada kami.(Nabi saw membacakan firman Allah)"Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak(dari kesalahan-kesalahannya). "Wahai 'Ali, aku akan menjelaskan ayat ini kepadamu, "Musibah apa pun yang menimpa kamu" yaitu dari penyakit dan siksaan atau bencana di dunia, "disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri" (Riwayat Ahmad)
Tidaklah suatu keletihan, penyakit, kesusahan, kesedihan, kezaliman, kesempitan, bahkan sepotong duri pun yang menusuk seorang muslim, melainkan dengan hal itu Allah menghapus dosa-dosanya. (Riwayat al-Bukhari)
Datangnya penyakit atau musibah adalah disebabkan ulah manusia itu sendiri. Tetapi di sisi lain penyakit atau musibah itu dapat menghapus dosa seperti hadis di atas. Hal itu tergantung kepada cara manusia menyikapi, apakah dengan bersabar atau berputus asa.
Ayat ini ditutup dengan satu ketegasan bahwa Allah mengampuni sebagian besar dari kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat hamba-Nya sebagai satu rahmat besar yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya, karena kalau tidak, niscaya manusia akan dihancurkan sesuai dengan timbunan dosa yang telah diperbuat mereka, sebagaimana firman Allah:
Dan kalau Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ada yang ditinggalkan-Nya (di bumi) dari makhluk yang melata sekalipun, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai waktu yang sudah ditentukan. (an-Nahl/16: 61)
Dan firman-Nya: Dan sekiranya Allah menghukum manusia disebabkan apa yang telah mereka perbuat, niscaya Dia tidak akan menyisakan satu pun makhluk bergerak yang bernyawa di bumi ini, tetapi Dia menangguhkan (hukuman)nya, sampai waktu yang sudah ditentukan. (Fathir/35: 45)
Dari ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa musibah bisa menjadi konsekuensi dari perbuatan manusia, namun Allah SWT juga menunjukkan kemurahan-Nya dengan memberikan ampunan kepada hamba-Nya yang bertobat dan bersabar menghadapi musibah.
Selain itu, musibah juga dapat menjadi pengalaman pembelajaran yang berharga bagi seseorang. Ketika menghadapi cobaan dan kesulitan, seseorang dapat belajar tentang kekuatan diri, ketahanan, dan ketabahan. Ini dapat membentuk karakter seseorang menjadi lebih kuat dan tangguh, sehingga meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.
Namun demikian, penting untuk diingat bahwa seseorang tidak boleh mencari-cari musibah atau menganggap musibah sebagai hal yang diinginkan semata untuk menghapus dosa-dosa. Sebaliknya, musibah harus dihadapi dengan kesabaran, tawakal, dan ketundukan kepada Allah SWT, serta diiringi dengan usaha untuk memperbaiki diri dan mengambil pelajaran dari setiap ujian yang diberikan-Nya.
Musibah Diberikan oleh Allah Ingin Menaikkan Derajat Hamba-Hamba-Nya
Benar, dalam pandangan Islam, musibah sering kali dianggap sebagai ujian atau cobaan yang diberikan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya dengan tujuan untuk meningkatkan derajat mereka di sisi-Nya.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:
"Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar." (Q.S. Al-Baqarah: 155)
Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa musibah bukanlah sesuatu yang terjadi secara kebetulan, tetapi merupakan bagian dari rencana Allah SWT untuk menguji hamba-Nya. Musibah dapat menjadi sarana untuk membersihkan dosa-dosa, meningkatkan keimanan, serta mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dalam beberapa hadis, Rasulullah SAW juga mengajarkan bahwa musibah yang dialami oleh seorang mukmin adalah salah satu bentuk ujian yang akan menghapus dosa-dosa serta meningkatkan derajatnya di sisi Allah SWT jika dia bersabar dan tetap beriman.
Namun, penting untuk diingat bahwa setiap musibah memiliki hikmah dan tujuan yang tersembunyi di baliknya, dan sebagai manusia kita mungkin tidak selalu dapat memahami sepenuhnya rencana Allah SWT. Oleh karena itu, penting untuk tetap berserah diri kepada-Nya, menjalani musibah dengan kesabaran dan keimanan, serta berusaha untuk mengambil hikmah dan pelajaran dari setiap ujian yang diberikan-Nya.
Musibah diberikan oleh Allah untuk membuat hamba-hamba-Nya tidak sombong, mau berserah diri, dan minta tolong kepada-Nya.
Benar, dalam Islam, musibah sering kali dianggap sebagai salah satu cara Allah SWT untuk mengingatkan hamba-Nya akan ketergantungan dan keterbatasan mereka serta untuk mengajarkan sikap rendah hati, kerendahan diri, dan kepatuhan kepada-Nya. Musibah dapat menjadi sarana untuk merendahkan hati seseorang, menghindarkan mereka dari kesombongan dan keangkuhan, serta mengingatkan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah SWT.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:
فَمَن يُرِدِ ٱللَّهُ أَن يَهۡدِيَهُۥ يَشۡرَحۡ صَدۡرَهُۥ لِلۡإِسۡلَٰمِۖ وَمَن يُرِدۡ أَن يُضِلَّهُۥ يَجۡعَلۡ صَدۡرَهُۥ ضَيِّقًا حَرَجٗا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي ٱلسَّمَآءِۚ كَذَٰلِكَ يَجۡعَلُ ٱللَّهُ ٱلرِّجۡسَ عَلَى ٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ
"Dan barang siapa yang Allah kehendaki akan menunjuki dia, niscaya Allah akan melapangkan dadanya untuk (menerima) Islam; dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seakan-akan ia mendaki ke langit. Demikianlah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman." (Q.S. Al-An'am: 125)
Sobat. Jika ada orang yang berjiwa besar dan terbuka hatinya untuk menerima kebenaran agama Islam, maka yang demikian itu disebabkan karena Allah hendak memberikan petunjuk kepadanya. Oleh karena itu, dadanya menjadi lapang untuk menerima semua ajaran Islam, baik berupa perintah maupun larangan.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah pernah ditanya tentang "kelapangan dada" yang dimaksud dalam ayat ini, lalu beliau menjawab, "Itulah gambaran cahaya Ilahi yang menyinari hati orang mukmin, sehingga menjadi lapanglah dadanya." Para sahabat bertanya lagi, "Apakah yang demikian itu ada tanda-tandanya?" Nabi saw menjawab, "Ada tanda-tandanya, yaitu selalu condong kepada akhirat, selalu menjauhkan diri dari tipu daya dunia dan selalu bersiap-siap untuk menghadapi kematian." (Riwayat Ibnu Abi Hatim dari Abdullah bin Mas'ud)
Jika demikian sifat-sifat orang mukmin yang berlapang dada disebabkan oleh cahaya iman yang masuk ke dalam hatinya, maka sebaliknya orang yang dikehendaki Allah untuk hidup dalam kesesatan, dadanya dijadikan sesak dan sempit seolah-olah ia sedang naik ke langit yang hampa udara.
Apabila ia diajak untuk berfikir tentang kebenaran dan tafakur tentang tanda-tanda keesaan Allah, maka disebabkan oleh kesombongan dalam hatinya, ia menolak karena perbuatan itu tidak sesuai dengan hawa nafsunya. Hasrat untuk mengikuti kebenaran melemah, dan setiap anjuran agama dirasakannya sebagai suatu beban yang berat yang tidak dapat dipikulnya.
Gambaran orang serupa itu adalah seperti orang yang sedang naik ke langit. Semakin tinggi ia naik, semakin sesak nafasnya karena kehabisan oksigen, sehingga ia terpaksa turun kembali untuk menghindarkan diri dari kebinasaan.
Dalam ayat ini, Allah memberikan sebuah perumpamaan, agar benar-benar diresapi dengan perasaan yang jernih. Demikianlah Allah menjadikan kesempitan dalam hati orang-orang yang tidak beriman, karena kekafiran itu seperti kotoran yang menutup hati mereka, sehingga ia tidak menerima kebenaran. Keadaan ini dapat disaksikan pada tingkah laku mereka dalam kehidupan sehari-hari yang selalu menjurus kepada kejahatan.
Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa Allah SWT memiliki kekuasaan untuk membuka hati seseorang yang mau menerima petunjuk-Nya, serta menyempitkan hati orang yang dikehendaki-Nya untuk kesesatan. Musibah adalah salah satu cara Allah untuk membuka hati dan mengarahkan hamba-Nya kepada-Nya.
Oleh karena itu, ketika menghadapi musibah, sangat penting bagi seorang hamba untuk merendahkan hati, berserah diri kepada kehendak Allah, dan memohon pertolongan serta rahmat-Nya. Ini dapat membantu seseorang untuk tetap kuat dan tabah dalam menghadapi cobaan serta untuk terus berpegang pada keimanan dan taqwa kepada Allah SWT.
Musibah dan cobaan hidup diberikan Allah untuk membuat hamba-Nya lebih mengetahui kebesaran dan keagungan nikmat-Nya.
Betul sekali. Dalam pandangan Islam, musibah dan cobaan hidup sering dianggap sebagai cara Allah SWT untuk mengingatkan manusia akan kebesaran dan keagungan-Nya, serta untuk membuat hamba-Nya lebih menghargai nikmat-nikmat yang diberikan-Nya.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:
وَإِذَا أَنْعَمْنَا عَلَى الْإِنسَانِ أَعْرَضَ وَنَأَىٰ بِجَانِبِهِۖ وَإِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ فَذُو دُعَاءٍ
"Dan apabila Kami berkenan memberikan kesenangan kepada manusia, dia berpaling dan menjauhkan diri. Dan apabila dia ditimpa kesusahan, dia banyak memohon kepada Kami." (Q.S. Fussilat: 51)
Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa manusia cenderung melupakan Allah SWT saat merasakan kenikmatan dan kebahagiaan, namun mereka cenderung mengingat-Nya saat menghadapi kesulitan dan musibah. Oleh karena itu, musibah dan cobaan hidup adalah cara Allah untuk mengingatkan manusia akan ketergantungan mereka kepada-Nya serta untuk menguatkan ikatan spiritual antara hamba dan penciptanya.
Musibah juga dapat menjadi peluang bagi manusia untuk merenungkan nikmat-nikmat Allah yang telah diberikan kepada mereka, sehingga membuat mereka lebih bersyukur dan lebih menghargai segala yang telah diberikan-Nya. Dengan mengalami musibah, seseorang juga dapat memahami bahwa hidup ini penuh dengan ujian dan cobaan, dan hanya dengan berserah diri kepada Allah SWT lah kita dapat melewati semua itu dengan baik.
Oleh karena itu, penting bagi setiap hamba untuk memperhatikan dan merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah SWT yang termanifestasi dalam segala cobaan dan musibah hidup, serta untuk terus bersyukur dan berserah diri kepada-Nya dalam segala keadaan.
Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo
0 Komentar