Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Menyoal Pemecatan Nakes

Topswara.com -- Sebanyak 249 tenaga kesehatan (nakes) non-ASN dipecat oleh Bupati Manggarai NTT Herybertus GL Nabit setelah mereka melakukan demonstrasi untuk menyuarakan aspirasi mereka. Pada tanggal 14 Februari 2024, sekitar 300 nakes non-ASN mengunjungi Kantor Bupati Manggarai untuk menuntut perpanjangan SPK dan kenaikan gaji yang setara dengan upah minimum kabupaten (UMK). 

Mereka juga meminta kenaikan tambahan penghasilan dan peningkatan kuota seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) 2024. Tuntutan para nakes tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa selama ini mereka hanya menerima upah sebesar Rp400 ribu sampai Rp600 ribu per bulan, yang dianggap tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. (CNN, 11/4/24)

Bagaimana bisa seorang tenaga kesehatan digaji sangat kecil, apalagi merekalah yang berada di garis terdepan menangani pasien yang sakit, wajar saja mereka menuntut kenaikan gaji. 

Tentu saja, dengan biaya hidup yang terus meningkat, ditambah gaji mereka yang serba terbatas tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Inilah alasan mengapa mereka menuntut kenaikan gaji.

Di sinilah dibutuhkan peran pemerintah dalam mengatur gaji tenaga kesehatan, bukan malah memecatnya, itu tindakan yang tidak masuk akal. Tanpa tenaga medis yang memadai, bagaimana masyarakat bisa mendapatkan perawatan yang layak?

Peristiwa tersebut merupakan titik puncak dari fenomena yang menggambarkan kegagalan konsep kapitalisme terkait dengan rapuhnya sistem kesehatan, di mana kesehatan dianggap sebagai komoditas ekonomi dan menjadi objek industrialisasi. 

Kapitalisme memandang dokter, bidan, perawat, dan nakes yang lain sebagai bagian dari mesin yang mendorong proses industrialisasi dalam sektor kesehatan.

Dalam sistem kapitalisme, kesehatan sering kali dipandang sebagai bisnis atau komoditas ekonomi. Hal ini menyebabkan kesehatan menjadi tergantung pada kemampuan finansial individu atau institusi untuk memperoleh akses ke layanan kesehatan yang baik. 

Dalam konteks ini, keputusan terkait dengan kesehatan seringkali didasarkan pada pertimbangan ekonomi, seperti biaya dan profitabilitas. Selain itu, dengan memperlakukan kesehatan sebagai objek industrialisasi, layanan kesehatan sering dijalankan dengan orientasi pada efisiensi dan profitabilitas, mirip dengan cara industri memproduksi barang. 

Hal ini dapat menyebabkan pengorbanan terhadap aspek-aspek kualitatif dari perawatan kesehatan, seperti perhatian individual terhadap pasien atau kondisi kerja yang aman bagi tenaga kesehatan. 

Penekanan pada aspek ekonomi dan industrialisasi dalam sistem kesehatan dapat menyebabkan sistem tersebut menjadi rapuh. 

Fokus pada profitabilitas dan efisiensi mungkin mengabaikan kebutuhan riil masyarakat dan tenaga kesehatan. 

Dalam kasus ini, upah yang rendah dan kondisi kerja yang buruk bagi tenaga kesehatan dapat mengakibatkan penurunan kualitas layanan kesehatan dan ketidakpuasan di kalangan pekerja kesehatan.

Tenaga kesehatan sedang menghadapi situasi yang sulit, dengan biaya layanan kesehatan yang terus meningkat ditambah hak masyarakat atas kesehatan semakin terancam. Industrialisasi kesehatan telah menjadi fokus utama pemerintah, dengan upaya transformasi kesehatan yang pada intinya adalah percepatan pencapaian target-target dalam industrialisasi sektor kesehatan. 

Sayangnya, negara justru merasa bangga, hal ini adalah hasil yang dapat diprediksi ketika negara berkomitmen pada kapitalisme. Ini merupakan bukti bahwa dalam kapitalisme tidak memberikan kesejahteraan bagi nakes. Jelas bahwa hal ini merupakan kesalahan yang harus dihentikan.

Dalam pandangan Islam, kesehatan sebagai urusan yang berkaitan dengan manusia dan memerlukan penyelesaian dari Pencipta manusia itu sendiri, yaitu Allah 'Azza wa Jalla. 

Kesehatan dianggap sebagai kebutuhan mendasar masyarakat yang harus dipastikan oleh negara langsung melalui perannya sebagai ra’in (pengelola urusan umat) dan sebagai junnah (pelindung) dari segala potensi ancaman terhadap hak-hak mereka dalam mendapatkan layanan kesehatan.  

Sistem kesehatan Islam, termasuk politik kesehatannya yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari sistem kehidupan Islam, memastikan bahwa sistem kesehatan terbebas dari pengaruh bisnis dan upaya industrialisasi. 

Kinerja dokter, perawat, dan bidan dianggap sebagai pilar utama dalam pelaksanaan fungsi penting negara, yang dinilai dari seberapa baik mereka memberikan pelayanan kesehatan gratis dan berkualitas tanpa membeda-bedakan siapa pun.

Dalam Islam, fasilitas kesehatan akan dikelola dengan prinsip pelayanan yang komprehensif, dengan anggaran yang bersifat mutlak dan berbasis pada baitul mal. 

Penerapan sentralisasi kekuasaan bertujuan untuk memberikan negara otoritas yang cukup untuk menangani berbagai masalah politik dalam bidang kesehatan. 

Sementara itu, desentralisasi administrasi, yang didasarkan pada prinsip kesederhanaan administratif dan kecepatan dalam pelaksanaan, akan dilakukan oleh personel yang berkualitas dan mampu, termasuk tenaga kesehatan dengan kualitas terbaik. 

Hal ini memastikan penyelesaian cepat terhadap masalah-masalah teknis yang timbul. Masalah seperti kebutuhan akan jumlah dan kualitas tenaga kesehatan serta jaminan kesejahteraan mereka juga akan diperhatikan. 

Ini bertujuan untuk memastikan bahwa idealisme dan dedikasi mereka tetap terjaga, sesuai dengan tanggung jawab negara yang bertujuan untuk mewujudkan visi dan misi yang mulia. 

Penerapan sistem kehidupan Islam, terutama dalam ekonomi dan politik, tidak hanya menjamin kesejahteraan bagi tenaga kesehatan, tetapi juga untuk seluruh masyarakat. Kehadiran negara dengan fungsi yang benar akan mewujudkan masyarakat Islam. 

Sehingga kesejahteraan akan dirasakan oleh setiap individu karena semua kebutuhan hidup mereka terpenuhi. Ini tidak hanya mencakup kebutuhan fisik seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, dan layanan kesehatan, tetapi juga kebutuhan nonfisik. 

Dengan begitu, tenaga kesehatan akan menemukan kembali kesejahteraan mereka sebagai hasil penerapan Islam yang kaffah.


Oleh: Anggi Fatikha 
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar