Topswara.com -- AlLâhu akbar, Allâhu akbar, Allâhu akbar, wa lillâhil hamdu. Gema takbir membahana seantero dunia menandakan berakhirnya bulan suci Ramadhan dan memasuki bulan syawal dengan ditandai perayaan hari raya Idul Fitri 1445 H. Ada raya bahagia yang tidak terkira saat kaum muslimin bersama-sama merayakan hari raya, namun ada rasa sedih saat harus berpisah dengan bulan istimewa ini.
Idul Fitri memang identik dengan hari kebahagiaan, terutama bagi orang-orang yang menunaikan puasa sepanjang bulan Ramadhan atas dasar iman dan dorongan mendapatkan ridha-Nya, imân[an] wa ihtisâb[an]. Mereka inilah yang pantas merayakan kebahagiaan, sebagaimana sabda Baginda Nabi Muhammad SAW : "Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan: kebahagian saat berbuka puasa dan kebahagiaan saat berjumpa dengan Rabb-nya." (HR. al-Bukhari dan Muslim, dengan lafadz Muslim).
Meskipun demikian, saat ini kita tidak bisa merasakan kegembiraan secara utuh. Bagaimana kita bisa bergembira, sementara umat ini terus diselimuti oleh aneka ragam duka yang menyayat hati. Inilah yang terjadi sejak runtuhnya khilafah dan kapitalisme global mendominasi dunia.
Tengoklah kondisi Palestina, khususnya Gaza, hari ini. Lebih dari 32 ribu nyawa kaum Muslim di sana melayang akibat serangan militer entitas Yahudi. Sekitar 7.000 lainnya masih tertimbun di bawah reruntuhan bangunan. Sebagian besar dari para korban tersebut adalah anak-anak dan kaum perempuan.
Akibat dari serangan kaum Yahudi itu, hampir dua juta warga Gaza telah kehilangan rumah-rumah mereka. Menurut WHO, hampir 80 persen atau 160.000 infrastruktur hancur lebur. Ribuan rumah, ratusan rumah sakit dan sekolah, masjid, kampus, sumber air dan fasilitas sanitasi rusak parah.
Diperkirakan butuh puluhan miliaran dolar AS, juga butuh lebih 70 tahun, untuk memulihkan Gaza menjadi seperti sediakala. Kini, sebagian besar mereka harus menjadi pengungsi dan tinggal di perbatasan Gaza dan Mesir yang luasnya hanya sekitar 3,5 km atau seluas 500 lapangan sepak bola.
Di samping terus terancam oleh serangan bom dan keganasan tentara Yahudi, mereka juga terancam kelaparan yang mengakibatkan kematian. Karena tiadanya makanan, sebagian mereka sering terpaksa makan rerumputan dan memakan pakan hewan. Karena kehausan, mereka harus minum dari air kotor yang tergenang di jalanan.
Penting dicatat dari tragedi di Palestina ini, baik di Gaza maupun Tepi Barat, adalah bahwa genosida ini tidak terjadi hanya saat 7 Oktober saja. Genosida telah berlangsung sejak tahun 1948. Sejak entitas Yahudi merampas dan menduduki tanah Palestina secara ilegal hingga saat ini.
Sejak saat itu, selama 76 tahun, hingga hari ini, sekitar 5,9 juta warga Palestina secara keseluruhan berstatus pengungsi, dan setiap saat berada dalam ancaman kaum Yahudi. Melihat mereka yang terus menderita, bagaimana kita bisa bergembira dan berbahagia?
Yang lebih menyakitkan, para penguasa di negeri-negeri Islam, khususnya para pemimpin Arab, sampai saat ini tetap bergeming. Mereka seolah tuli dan buta. Derita kaum Muslim Palestina yang begitu luar-biasa, tak sedikit pun menyentuh hati dan mengusik rasa kemanusiaan mereka.
Sebagian besar mereka hanya melayangkan kutukan dan kecaman. Itu pun penuh kepura-puraan dan sekadar pencitraan agar dianggap punya kepedulian. Sebagian pemimpin Muslim lainnya bahkan tetap bergandeng tangan dengan entitas Yahudi itu. Padahal tangan Yahudi durjana itu masih berlumuran darah ribuan para syuhada, juga puluhan ribu Muslim yang terluka.
Menyaksikan semua derita kaum Muslim Palestina yang amat menyakitkan ini, sepantasnya kita bertanya: Di mana ukhuwah Islamiyah yang sering disuarakan? Bukankah semua kaum Muslim bersaudara, sebagaimana firman-Nya: "Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara." (TQS. al-Hujurât [49]: 10).
Kita pun layak bertanya: Manakah hasil dari ibadah puasa kaum Muslim selama Ramadhan? Bukankah puasa Ramadhan seharusnya membuat para pelakunya menjadi orang-orang yang bertakwa? Bukankah salah satu ciri takwa tercermin dalam kecintaan dan kepedulian kepada sesama saudara?
Banyak nash yang menuntut setiap Muslim untuk mempedulikan dan menolong saudara-saudaranya sesama Muslim di mana pun dan kapan pun. Rasulullah SAW., misalnya, bersabda: "Perumpamaan kaum Mukmin dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan bahu-membahu seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya sakit, seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga, dengan tidak bisa tidur dan demam." (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Rasulullah SAW. pun bersabda: "Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Dia tak boleh menzalimi saudaranya dan membiarkan saudaranya itu (dizalimi). Siapa saja yang memenuhi kebutuhan saudaranya. Allah akan memenuhi kebutuhannya. Siapa saja yang menghilangkan satu kesulitan saudaranya (di dunia), Allah akan menghilangkan kesulitan dari dirinya pada Hari Kiamat. Dan barang siapa menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat." (HR. al-Bukhari).
Berdasarkan nash-nash tersebut, jelas tidak sepantasnya kaum Muslim berdiam diri dan berpangku tangan, serta tidak mempedulikan saudaranya. Termasuk saudara-saudara Muslim di Palestina yang telah lama menderita.
Umat Muslim jelas bukan minoritas di dunia ini. Mereka telah menjadi mayoritas penduduk bumi ini. Jumlah kaum Muslimin di seluruh dunia mencapai lebih dari 2 miliar jiwa. Itu berarti 25 persen dari jumlah penduduk dunia. Mereka tersebar di 53 negeri Muslim. Juga ada jutaan Muslim yang tersebar di berbagai negeri non-Muslim, seperti di benua Eropa ataupun di Amerika Serikat.
Berbicara kekuatan militer pun, yang seharusnya dapat digunakan melindungi kaum Muslim di berbagai belahan dunia, sejumlah negeri Muslim masuk klasifikasi negara dengan kekuatan militer terkuat di dunia. Menurut pemeringkatan oleh Global Fire Power pada tahun 2023, ada empat negeri Islam masuk dalam jajaran 20 besar yakni: Pakistan, Turki, Indonesia, Mesir dan Iran.
Namun, jumlah yang banyak dan pasukan yang sangat kuat, tak bisa menahan berbagai tekanan dan intimidasi dari negara-negara kafir penjajah. Faktanya, hari ini umat Muslim justru menjadi pesakitan, terintimidasi, dan teraniaya secara fisik. Bahkan sebagian terusir dari negerinya sendiri. Keadaan ini sudah diperingatkan oleh Nabi SAW.. Kata beliau, mereka ini seperti buih di lautan (HR. Abu Dawud).
Keadaan umat Islam semacam ini tentu tak boleh kita biarkan. Umat Islam harus bangkit. Kaum Muslim harus kembali menjadi umat terbaik. Sebabnya, itulah jati diri dan karakter asli umat Baginda Nabi saw sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT: "Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah." (TQS Âli 'Imrân [3]: 110).
Predikat umat terbaik tentu hanya dimiliki oleh kaum Muslim yang bertakwa. Takwa sendiri adalah hikmah yang semestinya terwujud pada diri setiap Muslim yang berpuasa selama Bulan Ramadhan. Demikian sebagaimana firman-Nya: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa." (TQS. al-Baqarah [2]: 183)
Ketakwaan adalah ketaatan secara total pada syari'ah Allah SWT, baik menyangkut hukum-hukum yang mengatur kehidupan individu dan kehidupan privat, maupun hukum-hukum yang mengatur kehidupan publik, bermasyarakat, dan bernegara. Ketakwaan total semacam ini hanya bisa terwujud dengan adanya Khilafah atau Imamah.
Sebab, hukum-hukum yang mengatur kehidupan publik, bermasyarakat, dan bernegara tidak bisa dijalankan kecuali oleh imam atau khalifah.
Patut ditegaskan, menegakkan khilafah dengan cara mengangkat seorang khalifah bagi kaum Muslim sedunia adalah kewajiban syariah. Rasulullah SAW. bersabda: "Siapa saja yang mati dan di pundaknya tidak ada bai'at, maka dia mati dengan kematian jahiliah." (HR. Muslim).
Karena itu eksistensi khilafah dan keberadaan seorang khalifah bagi kaum Muslim sedunia adalah wajib. Ini juga merupakan ijma’ yang telah disepakati oleh para ulama dan kaum Muslimin.
Imam Nawawi rahimahuLlah berkata: "Dan mereka bersepakat bahwa wajib bagi kaum muslimin untuk mengangkat khalifah dan kewajibannya karena syara' bukan karena akal. Adapun yang dikatakan oleh al-Asham (orang yang tuli dalam agama) bahwa itu tidak wajib atau yang dikatakan lainnya bahwa kewajiban itu berasal dari akal bukan karena syara', maka perkataan keduanya adalah batil." (Syarah Nawawi 'ala Muslim, 12/205).
Di sisi lain, Imam atau Khalifah, tidak boleh lebih dari satu bagi kaum Muslim sedunia. Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) menyatakan: "Pengangkatan dua imam (khalifah) atau lebih di muka bumi itu tidak boleh terjadi." (Abu al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm, 1/222).
Dengan demikian ketakwaan secara kaffah hanya terwujud dengan adanya Khilafah yang menerapkan dan menjalankan syari'ah secara kaffah dan menyatukan kaum Muslim seluruh dunia dalam satu kepemimpinan.
Ketika hal ini terwujud, maka kita pun layak mengharapkan janji Allah SWT berupa diturunkannya keberkahan dan kemenangan kepada kaum Muslim atas semua penganut agama dan ideologi lain.
Itulah sebabnya keberadaan Khilafah mutlak dibutuhkan. Wajib secara hukum syari'ah. Mendesak secara realitas politik. Tanpa khilafah, umat bak anak ayam kehilangan induknya. Mereka tanpa perlindungan sama sekali. Inilah yang terjadi hari ini. Salah satunya dialami oleh Muslim Palestina sejak puluhan tahun lamanya. Juga dialami oleh Muslim Xingjiang, Muslim Rohingnya, Muslim India, dll. Karena itu benarlah sabda Nabi SAW.: "Sungguh Imam/Khalifah adalah perisai; orang-orang berperang di belakang dirinya dan menjadikan dia sebagai pelindung." (HR. Muslim).
Karena itu, satu abad lebih dunia tanpa khilafah, bagi umat Islam ini adalah sejarah kelam. Pasalnya, sebelumnya, di era Khilafahlah lebih 13 abad umat Islam pernah memimpin dunia. Namun, saat ini umat Islam berada dalam kondisi yang paling terpuruk. Tidak ada satu kawasan pun di belahan bumi ini di mana umat Islam tidak terpojok, terasingkan dan terdiskriminasi.
Namun demikian, sebagai Muslim yang bertakwa, kita harus tetap punya harapan. Kita harus tetap optimis menatap masa depan. Kita harus tetap yakin bahwa masa depan gemilang sesungguhnya milik Islam dan kaum Muslim.
Allah SWT tegas berfirman dalam Al-Qur'an: "Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka; dan akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan, menjadi aman sentosa." (TQS. an-Nuur [24]: 55).
Allah SWT pun berfirman: "Dialah Yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Quran) dan agama yang benar untuk Dia menangkan atas segala agama, walaupun kaum musyrik tidak menyukai." (TQS. at-Taubah [9]: 33).
Ayat ini memastikan kemenangan Islam atas seluruh agama dan ideologi. Dan itu hanya tejadi ketika kaum muslimin memiliki kekuasaan. itulah yang disyaratkan dalam Hadis. Dari Tsauban, Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Allah melipatkan bumi untukku, maka aku telah melihat bagian barat dan bagian timurnya. Sesungguhnya kekuasaan umatku akan mencapai semua bagian yang dilipatkan bagiku darinya." (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Kekuasaan itu tak lain adalah khilafah Islam, yang akan segera kembali, insya Allah, sebagaimana diberitakan dalam Hadits Nabi SAW.: "Kemudian akan ada lagi Khilafah yang mengikuti manhaj Kenabian." (HR. Ahmad).
Selain itu, Allah telah menetapkan ajal (tenggat waktu) bagi setiap umat. AS, Inggris, Prancis, Cina, Rusia, Jerman, dan lain-lain mempunyai ajal, yang tidak bisa dielakkan. Semakin ke sini, ajal mereka semakin dekat. Allah SWT berfirman: "Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu. Jika telah datang batas waktunya, mereka tidak dapat mengundurkan batas waktu tersebut barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya." (TQS. al-A’râf [7]: 34).
Maka dari itu, kewajiban kita adalah terus menguatkan keyakinan, dan berjuang semata-sama karena Allah, tanpa lelah. Bersabar di jalan dakwah, sebagaimana kesabaran Nabi SAW. dan para Sahabat, sampai Allah memenangkan urusan-Nya melalui tangan-tangan mereka.
(Kota Hujan, 09/04/24 : 23.00 WIB)
Oleh: Dr. Ahmad Sastra
Dosen Filsafat
0 Komentar