Topswara.com -- Penyakit demam berdarah dengue adalah penyakit yang terjadi karena virus yang menular melalui gigitan nyamuk betina, dari spesies Aedes Aegypti. Penyakit ini sering terjadi di area dengan iklim tropis maupun subtropis.
Indonesia termasuk negara beriklim tropis sehingga penyakit DBD sering terjadi sepanjang tahun. Apalagi akhir-akhir ini faktor curah hujan dan kelembaban menjadi faktor pendukung meningkatnya perkembangbiakan nyamuk.
Kasus demam berdarah di Indonesia kembali naik, angka kasus di Jawa Barat terus mengalami peningkatan. Mengutip dari Kompas.com (28/03/2024), Data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat menyebutkan, sebanyak 11.729 kasus demam berdarah dengue (DBD) terjadi dari Januari hingga 25 Maret 2024. Angka 11.729 kasus tersebar di 27 kabupaten dan kota wilayah Jawa Barat. Angka ini diprediksi akan terus meningkat hingga Mei 2024.
Pemerintah terus berupaya meningkatkan fasilitas kesehatan baik dari segi kualitas maupun kuantitas untuk mempersiapkan lonjakan pasien DBD di tahun 2024. Kendati demikian, sejumlah rumah sakit daerah (RSUD) di Jawa Barat dikabarkan kewalahan karena mengalami lonjakan pasien sejak awal tahun 2024 yang didominasi oleh pasien bergejala DBD. Penambahan ruangan serta bed pasien menjadi penanganan sekaligus antisipasi dari pihak rumah sakit.
Kemenkes menyatakan bahwa fasilitas kesehatan Indonesia sudah mumpuni untuk menangani DBD. Namun, kebanyakan pasien yang dibawa ke fasilitas kesehatan sudah dalam kondisi kritis sehingga tidak dapat ditangani dan akhirnya meninggal dunia.
Hingga saat ini pemerintah terus berupaya menekan jumlah kasus sembari menangani kasus yang sudah terlanjur naik. Para kader kesehatan sudah mulai melakukan penyuluhan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) yang dikenal dengan cara 3M plus yaitu, pertama, menguras tempat penampungan air, kedua, menutup tempat penampungan air, ketiga, mendaur ulang sampah.
Selain itu ada beberapa poin plus yang termasuk dalam 3M diantaranya, menanam tanaman penangkal nyamuk dan memelihara ikan pemakan jentik. Pelaksanaan fogging dan larvasida juga mulai digaungkan dibeberapa daerah hingga penyebaran nyamuk ber-wolbachia yang sudah dimulai sejak akhir 2023. Baru-baru ini pemerintah juga sudah menyediakan fasilitas vaksin DBD yaitu Tetravalent Dengue Vaccine (TDV).
Namun apakah cara-cara diatas merupakan solusi yang komprehensif bagi penanganan dan pencegahan kasus demam berdarah? Jika dilihat dari meningkatnya kasus ini sejak awal tahun tentu jawabannya adalah bukan.
Sistem kapitalisme yang diterapkan di dalam kehidupan manusia, merupakan akar dari segala masalah yang kita hadapi. Termasuk meningkatnya DBD. Pasalnya penanganan, pengendalian, dan pencegahan tidak dapat diselesaikan oleh individu saja namun, perlu peran negara yang terstruktur. Kapitalisme dan peraturannya tentu saja tidak dapat melaksanakan tugas tersebut dengan baik.
Kemiskinan sistematik akibat kapitalisme menyulitkan pemberantasan DBD karena masyarakat sulit mendapatkan lingkungan hidup yang bersih dan sehat, ketidakmampuan memenuhi kebutuhan pangan yang bergizi, dan sulitnya mengakses fasilitas kesehatan yang dinilai terlalu mahal meskipun adanya bpjs gratis bagi sebagian kalangan.
Lebih dari itu negara gagal dalam menciptakan tata kota yang ideal hingga terciptanya kepadatan penduduk menjadi faktor merajalelanya tumbuh kembang nyamuk.
Kesehatan di dalam kapitalisme juga menjadi objek komersial, negara menjadi hitung-hitungan perihal kewajiban mereka untuk menyediakan fasilitas kesehatan bagi masyarakat. Jenis pelayanan berbanding lurus dengan biaya yang mampu dibayarkan oleh masyarakat.
Misalnya saja, seringkali fogging dan larvasida dimintai iuran dari masyarakat setempat dan hanya dilaksanakan ketika kasus DBD mencapai angka tertentu yang sudah parah, seharusnya kegiatan tersebut dilakukan terjadwal secara rutin. Selain itu vaksin TDV juga dikenakan biaya Rp. 1.400.000,00 perorang yang kebanyakan masyarakat tidak akan mampu membayarnya.
Sungguh, dampak buruk kapitalis sangat terasa bagi rakyat menengah ke bawah yang tidak dapat menjangkau fasilitas berbayar di negara ini. Mungkin solusi kuratif sudah cukup terpenuhi dengan adanya upaya PSN 3M plus, fogging, penyelidikan epidemiologi, serta fasilitas kesehatan untuk menangani masyarakat yang terinfeksi. Namun, solusi preventifnya belum menghasilkan nilai yang efektif.
Penerapan Islam kaffah dibawah institusi khilafah Islamiah-lah yang dapat menyelesaikan masalah ini. Sistem Islam menawarkan penerapan aturan yang dapat menjaga kesejahteraan masyarakat termasuk padanya fasilitas kesehatan yang menyeluruh secara gratis bagi masyarakat.
Kesehatan merupakan salah satu aspek vital dalam berkehidupan, khilafah memandang kesehatan sebagai tanggung jawab bukan objek komersial, dimana negara wajib memenuhi kebutuhan seluruh rakyat tanpa terkecuali. Islam memiliki mekanisme preventif serta bertanggung jawab atas kegiatan kuratif yang berkualitas.
Di sini, kesadaran atas pencegahan penyakit DBD memang harus dipahami sejak dini oleh masyarakat. Namun, upaya ini juga harus melibatkan pemerintah; negara harus memiliki dan menyediakan infrastruktur yang menunjang, harus mampu melakukan riset mendalam untuk mendapat inovasi teknologi terbaik untuk mencegahnya yang kemudian mengaplikasikan di tengah masyarakat dengan gratis.
Kemudian negara akan memberikan sarana dan prasarana serta tata kota yang baik untuk menekan penyebaran penyakit serta meningkatkan fasilitas kesehatan untuk menyiapkan penanganan kuratif di masa yang akan datang.
Negara Islam wajib hukumnya untuk menjamin kesehatan rakyatnya sebagaimana Rasulullah SAW. bersabda:
<<الإِÙ…َامُ رَاعٍ ÙˆَÙ…َسْئُولٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ>>
“Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).
Itulah cara sistem pemerintahan Islam dalam mencegah dan menangani permasalahan penyakit di masyarakat.
Wallahu'alam bishshawwab.
Oleh: Resma A. Pratiwi
Pegiat Literasi
0 Komentar