Topswara.com -- IdulFitri merupakan hari kemenangan yang selalu dinanti tidak terkecuali oleh para napi karena mereka juga menantikan remisi (pengurangan masa hukuman) bahkan bisa langsung bebas.
Di Sulawesi Selatan ada sebanyak 5.931 warga binaan di sejumlah lembaga permasyarakatan (Lapas) dan rumah tahanan (rutan) yang mendapatkan remisi khusus Idul Fitri dan sebanyak 14 orang diantaranya langsung bebas. (CNNIndonesia/14/4/2024)
Sementara di Jawa Barat sebanyak 16.336 narapidana yang mendapat remisi hari raya Idul Fitri 1445 H dan ada 128 orang diantaranya bisa langsung bebas. Menurut Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Jabar, Masjuno ada dua jenis remisi saat lebaran yakni remisi khusus Idul Fitri I atau RK I (pengurangan hukuman dari 15 hari sampai 2 bulan) dan remisi khusus Idul Fitri II atau RK II (pengurangan masa hukuman yang langsung bebas setelah menjalani masa tahanan). (CNNIndonesia/10/4/2024)
Remisi khusus Idul Fitri juga kembali didapatkan oleh terpidana kasus korupsi Kartu Tanda Penduduk Elektronik atau e-KTP Setya Novanto bersama 240 narapidana korupsi lainnya di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung. (tempo.co/12/4/2024)
Banjirnya remisi yang diberikan negara kepada para narapidana pada momen-momen tertentu, salah satunya pada saat IdulFitri justru makin menegaskan bahwa sistem sanksi saat ini tidak mampu membuat efek jera.
Terlebih lagi remisi yang diberikan bagi para koruptor makin menunjukkan pula bahwa negara tidak serius menangani masalah korupsi. Padahal jelas-jelas mereka telah merugikan negara dan merampas hak-hak rakyat.
Motif kejahatan saat ini juga makin merajalela, kasusnya makin bertambah dengan bentuk yang makin beragam mulai dari pembunuhan, kekerasan, pelecehan, perundungan, pencurian bahkan korupsi yang semakin menjadi-jadi.
Semua ini terjadi akibat sistem sanksi yang ada dinegeri ini tidak mampu memberikan efek jera sehingga mustahil kasus kriminalitas di negeri ini akan berkurang apalagi hilang.
Tidak adanya efek jera pada sistem sanksi saat ini akibat hukum pidana yang menjadi rujukan tidak baku serta terus mengalami perubahan sesuai dengan kepentingan para pemangku jabatan dan elit politik negeri ini.
Sehingga hukum buatan manusia ini mudah disalahgunakan dan diotak-atik sekehendak mereka demi keuntungan semata. Inilah buah dari sistem kapitalisme sekularisme. Kemaslahatan serta kepentingan menjadi tolak ukur nya sehingga sanksi jera hanyalah mimpi.
Berbeda dengan sistem sanksi di dalam Islam. Islam memiliki sistem tersendiri dalam menangani setiap bentuk pelanggaran. Daulah Khilafah hanya akan menerapkan syariat islam semata sehingga sanksi yang diberikan pasti yang terbaik dan akan menimbulkan efek jera bagi pelaku nya.
Sesuai firman Allah SWT dalam QS Al-Maidah ayat 50,
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)”.
Kejahatan muncul biasanya dipicu karena faktor ekonomi. Oleh karena itu, khilafah akan menjamin terpenuhinya segala kebutuhan pokok rakyatnya baik jaminan langsung maupun tidak langsung seperti sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan.
Sehingga, ketika rakyat sejahtera maka resiko terjadinya kejahatan akan minim. Demikian pula dengan sistem pendidikan Islam akan mampu mencetak individu yang beriman sehingga jauh dari kemaksiatan.
Islam memiliki sistem sanksi yang khas, tegas dan menjerakan. Sanksi islam yang bersifat jawabir dan zawajir ketika diterapkan dalam kehidupan. Hanya dengan diterapkannya sistem Islam kaffah dalam naungan daulah khilafah maka akan terciptanya individu bertakwa serta berjalannya kontrol masyarakat dengan cara amar makruf nahi mungkar serta berfungsinya negara di dalam menjalankan aturan Islam.
Oleh karena itu, solusi sanksi hukum yang menjerakan hanya ada di dalam Islam dan saat Islam diterapkan secara paripurna dalam bingkai khilafah.
Wallahu a’lam bishawab.
Oleh: Mairawati
Aktivis Muslimah
0 Komentar