Topswara.com -- Tanya:
Ustaz, bolehkah zakat digunakan untuk membangun masjid?
Jawab:
Ada khilafiyah di kalangan ulama mengenai boleh tidaknya memanfaatkan zakat untuk membangun masjid. Khilafiyah ini berpangkal dari perbedaan penafsiran istilah fi sabilillah pada ayat tentang delapan ashnaf (golongan) mustahiq zakat (QS At-Taubah : 60).
Sebagian ulama menafsirkan fi sabilillah secara umum, yaitu segala jalan kebajikan (fi jami’i wujuh al-khair). Maka mereka membolehkan zakat untuk membangun masjid, karena termasuk jalan kebajikan.
Imam Fakhrur Razi, misalnya, menafsirkan fi sabilillah dalam arti segala jalan kebajikan, misal mengkafani mayat, membangun benteng, dan memakmurkan masjid (‘imaratul masajid). (Fakhrur Razi, Mafatihul Ghaib, 8/76). Pendapat semakna dikemukakan antara lain oleh Imam Al-Khazin (Lubab At-Ta`wil fi Ma’ani At-Tanzil, 3/295), Imam Jamaluddin Al-Qasimi (Mahasin At-Ta`wil, 8/3181), Imam Al-Alusi (Ruhul Ma’ani, 7/271), Sayyid Rasyid Ridho (Al-Manar, 10/587), Sayyid Quthub (Fi Zhilal Al-Qur`an, 4/34), dan Syaikh Al-Maraghi (Tafsir Al-Maraghi, 10/145).
Namun jumhur ulama menafsirkan fi sabilillah secara khusus, yaitu jihad fi sabilillah dalam arti perang (qital) dan segala sesuatu yang terkait perang, misalnya membeli senjata dan alat perang.
Maka menurut jumhur ulama, zakat tidak boleh digunakan untuk membangun masjid, karena membangun masjid tidak termasuk jihad fi sabilillah.
Imam Suyuthi, misalnya, menafsirkan fi sabilillah dalam QS At-Taubah : 60 dengan berkata, “Mereka adalah para mujahid (humul mujahidun).”(Imam Suyuthi, Ad-Durr Al-Mantsur, 5/101). Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas (jumhur) ulama, antara lain pendapat Imam Ath-Thabari (Tafsir Ath-Thabari, 14/319), Imam Al-Qurthubi (Tasfir Al-Qurthubi, 8/185), Imam Ibnul Arabi (Ahkamul Qur`an, 4/337), Imam Al-Jashash (Ahkamul Qur`an, 7/70), dan Imam Syafi’i (Ahkamul Qur`an, 1/123).
Pendapat yang rajih (lebih kuat) menurut kami adalah pendapat jumhur ulama, karena dua alasan.
Pertama, dengan melakukan penelusuran induktif (istiqra`) pada ayat-ayat Al-Qur`an terkait, dapat disimpulkan kata “fi sabilillah” jika dihubungkan kata infaq (pembelanjaan harta) atau yang semakna, pada dasarnya mempunyai arti khusus, yaitu jihad fi sabilillah, kecuali jika redaksi ayat bermakna umum, maka “fi sabilillah” berarti umum (misal QS 2:261).
Imam Taqiyuddin An-Nabhani berkata, ”Jika kata fi sabilillah dihubungkan dengan infaq, artinya adalah jihad, kecuali jika terdapat qarinah (indikasi) yang memindahkan maknanya dari makna jihad.” (Muqaddimah Ad-Dustur, hal. 334).
Kedua, jika kata fi sabilillah dalam QS At-Taubah: 60 diartikan secara umum, yaitu untuk semua jalan kebajikan (wujuh al-khair), maka ayat itu malah menjadi tidak jelas maknanya. Sebab semua jalan kebajikan (wujuh al-khair) artinya luas dan umum, termasuk di dalamnya memberi zakat kepada tujuh ashnaf lainnya, yakni orang fakir, miskin, amil zakat, muallaf, ibnu sabil, dan orang berhutang.
Lalu apa bedanya memberikan zakat kepada ke tujuh ashnaf itu, dengan memberi zakat kepada fi sabilillah? Artinya, kata fi sabilillah pada ayat itu haruslah memiliki makna khusus (yaitu jihad), agar dapat dibedakan maknanya dengan tujuh ashnaf lainnya.
Kesimpulannya, makna fi sabilillah yang tepat adalah jihad, bukan yang lain. Maka memberikan zakat untuk membangun masjid tidak dibolehkan secara syar’i, karena membangun masjid tidak termasuk jihad. Wallahu a’lam [ ]
Yogyakarta, 31 Agustus 2009
Oleh: K.H. M. Shiddiq Al-Jawi
Pakar Fiqih Muamalah
0 Komentar