Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Allah Rindu Curhatan, Desah, dan Tangisan Kita


Topswara.com -- Sobat. Allah Rindu Curhatanmu, Allah rindu desah dan tangisan kita menandakan kita butuh Allah karena sudah lama tidak kita lakukan akibat terlalu banyak memikirkan dunia.
Pernyataan tersebut mencerminkan kebijaksanaan spiritual yang dalam Islam sangat ditekankan, yaitu pentingnya hubungan yang erat antara hamba dan Sang Pencipta, Allah SWT. Allah menginginkan kita untuk berkomunikasi dengan-Nya, baik dalam keadaan suka maupun duka. Ketika kita merasa terlalu terpaku pada urusan duniawi, kita mungkin melupakan keberadaan-Nya dan melupakan pentingnya bermuhasabah (introspeksi) terhadap hubungan kita dengan-Nya.

Ketika kita merasa kebutuhan untuk curhat kepada Allah atau saat kita menemukan diri kita menangis dalam doa, itu menunjukkan bahwa kita menyadari kebutuhan spiritual kita dan keinginan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Rasulullah Muhammad SAW sendiri memberikan contoh yang baik dalam hal ini dengan berdoa dan bermunajat kepada Allah bahkan dalam situasi-situasi yang sulit.

Adapun hadis yang relevan dengan tema ini adalah: Dari Abu Hurairah ra., Nabi Muhammad SAW bersabda, "Allah lebih gembira dengan tobat seorang hamba-Nya daripada seseorang di antara kamu yang menemukan unta yang telah tersesat di padang gurun kemudian ia mendapatkan unta itu." (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits ini, kita diberitahu tentang kegembiraan Allah SWT ketika hamba-Nya bertaubat. Ini menunjukkan bahwa Allah senantiasa merindukan hubungan yang baik dengan hamba-hamba-Nya, dan taubat adalah salah satu bentuk kembali kepada-Nya.

Jadi, penting bagi kita untuk secara teratur mengingat Allah, bermohon ampun, dan bermunajat kepada-Nya, baik dalam kesedihan maupun kebahagiaan kita. Dengan demikian, kita dapat memperkuat hubungan spiritual kita dengan-Nya dan mendapatkan keberkahan serta petunjuk-Nya dalam kehidupan kita.

Sobat. Ujian ataupun cobaan hidup yang menyelimuti kita adalah bentuk kerinduan Allah akan syahadat dan persaksian yang pernah kita kumandangkan di zaman azali.

Pernyataan di atas mencerminkan pemahaman yang dalam tentang makna ujian atau cobaan dalam kehidupan manusia dalam perspektif Islam. Dalam Islam, ujian atau cobaan dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Allah SWT menciptakan manusia dalam keadaan lemah dan rentan, dan ujian adalah cara bagi-Nya untuk menguji kesabaran, keteguhan iman, dan kesetiaan hamba-Nya.

Dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman:

أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتۡرَكُوٓاْ أَن يَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَنُونَ وَلَقَدۡ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡۖ فَلَيَعۡلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْ وَلَيَعۡلَمَنَّ ٱلۡكَٰذِبِينَ  

"Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, 'Kami telah beriman', sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka benarlah Allah mengetahui orang-orang yang benar dan benarlah Dia mengetahui orang-orang yang dusta." (QS. Al-Ankabut: 2-3)

Sobat. Pada ayat ini, Allah bertanya kepada manusia yang telah mengaku beriman dengan mengucapkan kalimat syahadat bahwa apakah mereka akan dibiarkan begitu saja mengakui keimanan tersebut tanpa lebih dahulu diuji? Tidak, malah setiap orang beriman harus diuji lebih dahulu, sehingga dapat diketahui sampai di manakah mereka sabar dan tahan menerima ujian tersebut. Ujian yang mesti mereka tempuh itu bermacam-macam. Umpamanya perintah berhijrah (meninggalkan kampung halaman demi menyelamatkan iman dan keyakinan), berjihad di jalan Allah, mengendalikan syahwat, mengerjakan tugas-tugas dalam rangka taat kepada Allah, dan bermacam-macam musibah seperti kehilangan anggota keluarga, dan hawa panas yang kering yang menyebabkan tumbuh-tumbuhan mati kekeringan. 

Semua cobaan itu dimaksudkan untuk menguji siapakah di antara mereka yang sungguh-sungguh beriman dengan ikhlas dan siapa pula yang berjiwa munafik. Juga bertujuan untuk mengetahui apakah mereka termasuk orang yang kokoh pendiriannya atau orang yang masih bimbang dan ragu sehingga iman mereka masih rapuh.

Maksud ayat ini dapat dilihat dalam ayat lain, yakni: Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), padahal Allah belum mengetahui orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil teman yang setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (at-Taubah/9: 16) 

Dari paparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa setiap orang yang mengaku beriman tidak akan mencapai hakikat iman yang sebenarnya sebelum ia menempuh berbagai macam ujian. Ujian itu bisa berupa kewajiban seperti kewajiban dalam memanfaatkan harta benda, hijrah, jihad di jalan Allah, membayar zakat kepada fakir miskin, menolong orang yang sedang mengalami kesusahan dan kesulitan, dan bisa juga berupa musibah.

Dalam konteks ini, ujian atau cobaan yang kita hadapi di dunia ini adalah bagian dari rencana Allah SWT. Hal ini mengingatkan kita akan janji-janji yang pernah kita buat sebelum kehidupan ini, ketika jiwa-jiwa kita berada di alam azali. Allah SWT menciptakan manusia untuk mengenal-Nya, beribadah kepada-Nya, dan mengikuti ajaran-Nya. Ujian-ujian tersebut adalah cara Allah SWT mengingatkan kita akan janji-janji tersebut dan memperkuat ikatan kita dengan-Nya.

Dalam menghadapi ujian atau cobaan, penting bagi kita untuk bersabar, bertawakal kepada Allah, dan tetap berpegang teguh pada ajaran-Nya. Ujian-ujian tersebut bukanlah tanda kebencian Allah, tetapi tanda kasih sayang dan kerinduan-Nya kepada kita untuk kembali kepada-Nya dengan kesadaran yang lebih mendalam akan ketaatan dan ketaqwaan.

Semoga kita semua mampu menghadapi ujian-ujian ini dengan kekuatan iman dan keteguhan hati, sehingga kita bisa mendekatkan diri kepada Allah SWT dan meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Menangislah karena Takut Ditinggal Allah SWT

Sobat. Tangisan karena takut akan ditinggalkan oleh Allah SWT adalah tangisan yang mencerminkan kesadaran akan kebesaran dan kekuasaan-Nya, serta rasa ketergantungan kita kepada-Nya. Ini adalah tangisan yang sungguh-sungguh, yang lahir dari pemahaman bahwa kita adalah hamba yang lemah dan rentan, sementara Allah adalah Dzat yang Maha Kuasa dan Maha Penyayang.

Takut akan ditinggalkan oleh Allah adalah tanda kecintaan yang mendalam kepada-Nya, karena kita menyadari bahwa tanpa bimbingan, rahmat, dan kasih sayang-Nya, kita tidak akan mampu menjalani kehidupan ini dengan baik. Tangisan tersebut juga mencerminkan rasa penyesalan atas dosa-dosa yang telah kita lakukan dan kekhawatiran akan akibatnya di akhirat.

Namun, perlu diingat bahwa Allah SWT adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Asalkan kita bertaubat dengan sungguh-sungguh, bertekad untuk memperbaiki diri, dan terus berusaha menjalani kehidupan sesuai dengan ajaran-Nya, maka Allah SWT akan senantiasa dekat dengan kita.

Sebagai manusia, tangisan karena takut akan ditinggalkan oleh Allah adalah hal yang wajar. Namun, penting juga untuk mengimbangi rasa takut tersebut dengan harapan dan keyakinan akan rahmat dan kasih sayang Allah SWT. Kita dapat menemukan ketenangan dan kekuatan dalam doa, bermunajat kepada-Nya, dan meningkatkan ketaatan serta ibadah kita kepada-Nya.

Akhirnya, ingatlah bahwa dalam setiap kesedihan dan ketakutan, kita bisa mencari perlindungan dan kekuatan dalam pelukan kasih sayang Allah SWT. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua. Aamiin.

Tangisan Nabi Adam As dan bersama isteri ketika diusir dari surga dan doanya diabadikan Allah SWT dalam Al-Qur'an
Tangisan Nabi Adam AS dan Hawa AS saat diusir dari Surga memang menjadi salah satu momen yang sangat berkesan dalam sejarah manusia, yang diceritakan dalam Al-Qur'an. Kisah ini menggambarkan pentingnya pengertian manusia akan kesalahan, penyesalan, dan keinginan untuk mendapatkan rahmat dan pengampunan Allah SWT.

Kisah ini terdapat dalam beberapa surat di Al-Qur'an, salah satunya adalah Surah Al-A'raf (7:22-23), di mana Allah SWT berfirman:

فَدَلَّىٰهُمَا بِغُرُورٖۚ فَلَمَّا ذَاقَا ٱلشَّجَرَةَ بَدَتۡ لَهُمَا سَوۡءَٰتُهُمَا وَطَفِقَا يَخۡصِفَانِ عَلَيۡهِمَا مِن وَرَقِ ٱلۡجَنَّةِۖ وَنَادَىٰهُمَا رَبُّهُمَآ أَلَمۡ أَنۡهَكُمَا عَن تِلۡكُمَا ٱلشَّجَرَةِ وَأَقُل لَّكُمَآ إِنَّ ٱلشَّيۡطَٰنَ لَكُمَا عَدُوّٞ مُّبِينٞ  

“Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?"

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمۡنَآ أَنفُسَنَا وَإِن لَّمۡ تَغۡفِرۡ لَنَا وَتَرۡحَمۡنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ  

"Mereka berdua berkata: 'Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri; dan jika Engkau tidak memberi ampun kepada kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pasti kami termasuk orang-orang yang rugi.'"

Allah SWT kemudian menerima taubat mereka dan mengampuni kesalahan mereka. Meskipun mereka diusir dari Surga, Allah SWT memberi mereka petunjuk tentang hidup di dunia dan memberi harapan akan rahmat-Nya.

Sobat. Setelah Adam dan istrinya menyadari kesalahan yang diperbuatnya, yaitu menuruti ajakan setan dan meninggalkan perintah Allah, dia segera bertobat, menyesali perbuatannya. Allah mengajarkan kepada keduanya doa untuk memohon ampun. Kemudian dengan segala kerendahan hati dan penuh khusyuk, mereka pun berdoa.

Keduanya berkata, "Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi." (al-A'raf/7: 23)

Berkat ucapan doa yang benar-benar keluar dari lubuk hatinya dengan penuh kesadaran disertai keikhlasan, maka Allah memperkenankan doanya, mengampuni dosanya dan melimpahkan rahmat kepadanya. Firman Allah: 

Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, lalu Dia pun menerima tobatnya. Sungguh, Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (al-Baqarah/2: 37)

Kisah Adam AS dan Hawa AS memberikan pengajaran yang mendalam tentang pentingnya pengertian akan kesalahan, penyesalan, dan taubat dalam hidup manusia. Ini juga menunjukkan rahmat Allah SWT yang besar yang senantiasa siap mengampuni hamba-hamba-Nya yang bertaubat dengan tulus.

Sobat. Orang-orang yang beriman seperti Rasulullah Muhammad SAW tidak akan pernah ditinggalkan oleh Allah selama kita selalu hadir bersama-Nya, memenuhi kewajiban-kewajiban kita, maka Allah SWT sekali-kali tak akan pernah mengabaikan, apalagi meninggalkannya.

Benar, pernyataan di atas mencerminkan keyakinan yang kuat dalam kehadiran dan perlindungan Allah SWT bagi hamba-Nya yang beriman dan bertaqwa. Dalam Islam, Allah SWT telah menjanjikan bahwa Dia tidak akan pernah meninggalkan hamba-Nya yang beriman. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:

قُل لِّعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ يُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُنفِقُواْ مِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ سِرّٗا وَعَلَانِيَةٗ مِّن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَ يَوۡمٞ لَّا بَيۡعٞ فِيهِ وَلَا خِلَٰلٌ  

“Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: "Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada hari itu tidak ada jual beli dan persahabatan.” (QS. Ibrahim (14): 31)

Sobat. Pada ayat ini Allah swt memerintahkan kepada kaum Muslimin agar mereka mengerjakan perbuatan-perbuatan baik, yang dapat membahagiakan manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi. Perbuatan-perbuatan itu ialah :

1. Melaksanakan salat.
2. Menginfakkan sebagian harta yang telah dianugerahkan Allah swt.
Allah swt memerintahkan kepada kaum Muslimin mendirikan salat, karena salat itu tiang agama, sebagaimana sabda Nabi saw:

Salat itu adalah tiang agama, barang siapa yang mendirikannya, maka sesungguhnya ia telah mendirikan agama dan barang siapa yang meninggalkannya, maka sesungguhnya ia telah meruntuhkan agama. (Riwayat al-Baihaqi dari Umar bin al-Khaththab)

Seseorang yang taat dan selalu melaksanakan salat sesuai dengan ajaran Al-Quran adalah orang yang suci jasmani dan rohaninya, karena salat itu mencegah orang yang mengerjakannya melakukan perbuatan keji dan perbuatan yang terlarang, sebagaimana firman Allah swt:

... dan laksanakanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (al-Ankabut/29: 45)

Dan firman Allah SWT:

Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan beriman), dan mengingat nama Tuhannya, lalu dia salat. (al-Ala/87: 14-15)

Perbuatan hamba yang pertama kali dihisab Allah di hari kiamat ialah salat. Jika baik salat seorang hamba, maka baiklah perbuatannya, sebaliknya jika buruk salatnya atau tidak mengerjakannya, maka buruk dan rusak pulalah seluruh pahala amalnya yang lain.

Rasulullah saw bersabda:

Perbuatan hamba yang pertama kali dihisab Allah pada hari kiamat ialah salat. Maka jika baik amalan salat itu, baik pulalah seluruh amalnya, dan jika rusak amalan salat itu, rusak pulalah seluruh amalnya. (Riwayat ath-thabrani dari Anas bin Malik)

Bahkan Allah swt menegaskan, bahwa orang yang selalu mengerjakan salat itu adalah orang yang menjadi pewaris surga Firdaus di akhirat, sebagaimana firman-Nya:

Serta orang yang memelihara salatnya. Mereka itulah orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi (surga) Firdaus. Mereka kekal di dalamnya. (al-Muminun/23: 9-11)

Melaksanakan salat berarti mengerjakan salat terus-menerus, sesuai dengan waktu yang telah ditentukan agama, lengkap dengan syarat-syarat dan rukun-rukunnya, disertai dengan khusyuk dan ikhlas.

Allah juga memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk menginfakkan sebagian harta yang telah dikaruniakan Allah kepada mereka, sebelum datang hari kiamat, yaitu hari ketika semua pintu tobat telah ditutup, tidak satu dosa pun yang dapat ditebus, walaupun ditebus dengan emas sepenuh bumi. Tidak ada lagi seorang teman karib yang dapat menolong dan tidak seorang pun yang dapat menyelamatkan dan memberikan bantuan termasuk anak-anak dan cucu-cucu. Allah swt berfirman:

Maka pada hari ini tidak akan diterima tebusan dari kamu maupun dari orang-orang kafir. (al-hadid/57: 15)

Dan firman Allah swt:

Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari ketika tidak ada lagi jual beli, tidak ada lagi persahabatan dan tidak ada lagi syafaat. Orang-orang kafir itulah orang yang zalim. (al-Baqarah/2: 254)

Orang-orang yang terlepas dari azab hari kiamat itu hanyalah orang-orang yang selama hidup di dunia mengerjakan amal-amal saleh, senang bersedekah, sehingga hatinya suci dan bersih serta rela terhadap apa yang diberikan Allah kepadanya nanti. Allah swt berfirman:

(Yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. (asy-Syuara/26: 88-89)

Senang menginfakkan harta merupakan pencerminan dari kepribadian muslim yang sesungguhnya, sebagai seorang yang telah menyerahkan diri, harta, dan kehidupannya kepada agama, semata-mata untuk mencari keridaan Allah swt. Perbuatan itu juga merupakan perwujudan dari rasa syukur kepada Allah yang telah melimpahkan nikmat-Nya yang tidak terhingga banyaknya. Terhadap orang yang mensyukuri nikmat, Allah akan menambah nikmat lebih banyak dari nikmat-nikmat yang telah diberikan-Nya.

Sebaliknya sifat tidak senang menginfakkan sebagian harta yang telah dianugerahkan Allah adalah pencerminan pribadi orang-orang yang ingkar kepada Allah dan rasul-Nya serta pencerminan dari rasa ingkar terhadap nikmat Allah. Mereka merasa bahwa segala yang mereka peroleh itu semata-mata karena hasil jerih payahnya sendiri. Dengan sikap yang demikian berarti mereka telah zalim terhadap dirinya sendiri. Akibat zalim terhadap dirinya sendiri ialah tidak lagi mendapat tambahan nikmat dari Allah, bahkan mereka akan ditimpa azab yang pedih di dunia dan di akhirat. 

Zalim terhadap orang lain ialah ia tidak mau memberikan atau mengeluarkan hak orang lain yang ada dalam hartanya. Zalim kepada masyarakat yang ada di sekitarnya ialah mengganggu kepentingan dan hubungan baik yang telah dijalin dalam masyarakat.

Bahkan dari ayat ini dipahami bahwa orang yang kikir dan tidak mau membelanjakan sebagian hartanya itu adalah orang yang congkak dan sombong. Karena merasa dirinya telah mampu mengatasi segala macam kesulitan yang dihadapinya, termasuk kesulitan dan malapetaka yang akan menimpanya di hari kiamat nanti. Mereka merasa tidak lagi memerlukan tambahan nikmat dan pertolongan Allah baik di dunia maupun di akhirat.

Menginfakkan harta dalam agama Islam ada beberapa bentuk:

1. Membelanjakan harta untuk nafkah diri sendiri, anak-anak, kerabat, dan istri.
2. Menginfakkan harta untuk menunaikan kewajiban, seperti zakat harta dan zakat fitrah.
3. Menginfakkan harta untuk infak sunah.
Membelanjakan harta untuk nafkah istri, kerabat, dan untuk menunaikan nafkah wajib, merupakan suatu kewajiban yang ditetapkan agama atas orang-orang yang beriman, dan ketentuan-ketentuannya tersebut di dalam ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis Nabi. Sedang infak sunah yang diberikan untuk kepentingan umum dan untuk meninggikan kalimat Allah dikategorikan sebagai amal jariah, yaitu infak atau amal yang tidak akan putus pahalanya, walaupun orang yang memberi infak itu telah meninggal dunia, selama infak itu memberikan manfaat.

Pemberian infak wajib, infak sunah, dan nafkah itu haruslah diiringi dengan niat yang ikhlas, semata-mata dilakukan untuk mencari keridaan Allah, terjauh dari sifat ria, ingin dipuji dan disanjung oleh sesama manusia. Karena itu Allah menyerahkan kepada manusia bagaimana cara sebaiknya memberi harta itu kepada orang yang berhak menerimanya, sehingga membuahkan pahala dari sisi Allah. 

Jika ia khawatir akan timbul rasa ria dalam hatinya, maka ia boleh memberikan harta itu secara sembunyi, tidak diketahui orang. Bila ingin perbuatannya ditiru orang lain, maka ia boleh pula memberikan hartanya itu dengan terang-terangan.

Hendaklah kaum Muslimin ingat bahwa harta itu pada hakikatnya adalah milik Allah. Dianugerahkan-Nya kepada manusia agar mereka dapat melaksanakan tugasnya sebagai hamba Allah selama mereka hidup di dunia. Oleh karena itu, jika seseorang telah memperoleh harta dan telah melebihi keperluannya, hendaklah diinfakkan kepada yang berhak menerimanya.

Allah SWT senantiasa hadir dan memperhatikan hamba-Nya yang beriman. Dia tidak akan pernah meninggalkan mereka yang setia dan taat kepada-Nya. Rasulullah Muhammad SAW sendiri merupakan contoh utama dari seorang hamba yang setia kepada Allah SWT, yang hidup dalam ketaatan dan taat kepada-Nya.

Dengan memenuhi kewajiban-kewajiban kita sebagai hamba Allah SWT, termasuk menjalankan ibadah, bertakwa, dan beramal shaleh, kita dapat memperoleh rahmat dan perlindungan-Nya. Allah SWT tidak akan pernah mengabaikan atau meninggalkan hamba-Nya yang berusaha untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Oleh karena itu, sebagai manusia yang beriman, penting bagi kita untuk senantiasa hadir bersama Allah SWT, memenuhi kewajiban-kewajiban kita, dan menghidupkan ajaran-Nya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, kita akan senantiasa merasakan keberadaan-Nya, mendapatkan rahmat-Nya, dan terlindungi dalam segala keadaan.

Semoga kita semua dapat terus menjalankan ketaatan kepada Allah SWT dan merasakan keberadaan-Nya dalam setiap langkah hidup kita. Aamiin.

Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis 30 Buku mengenai Motivasi dan Pengembangan diri. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar