Topswara.com -- Lebaran tidak lama lagi menjelang. Sudah menjadi tradisi, setiap tahun saat mendekati hari raya Idul Fitri, para Aparatur Sipil Negara (ASN) menantikan pemberian tunjangan hari raya (THR) dari pemerintah. Setelah dua tahun negara tidak bisa memberikan THR dan gaji ke-13 secara penuh, maka di tahun ini, pemerintah menjanjikan memberikan penuh kedua tunjangan tersebut kepada para abdi negaranya.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB), Abdullah Azwar Anas, mengatakan golongan ASN yang berhak menerima THR dan gaji ke-13 tahun 2024, di antaranya: PNS, calon PNS, Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), Prajurit TNI, Anggota Polri, Pejabat Negara, Wakil Menteri, Staf Khusus di lingkungan Kementerian/Lembaga, dan aparatur negara lainnya yang tercantum dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. (VOA Indonesia.com, 16 Maret 2024)
Namun, berbeda dengan para ASN, mereka menerima THR serta gaji ke-13 yang mekanisme pemberiannya telah diatur dalam UU dan diambil dari dana APBN. Sementara itu honorer, perangkat desa, dan kepala desa tidak termasuk di dalam aturan tersebut.
Hal ini ditegaskan oleh Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian. Sebagaimana yang diatur dalam undang-undang, tenaga honorer dan perangkat desa tidak termasuk bagian dari ASN. Oleh karena itu pemerintah tidak mengalokasikan dana THR untuk mereka. Adapun yang telah berjalan selama ini, dua golongan tersebut menerima tunjangan hari raya dari dana desa.
Mekanisme pemberian THR yang berbeda ini tentu amat disayangkan. Bukankah tenaga honorer, perangkat desa termasuk kepala desa juga bekerja sebagai abdi negara? Sudah semestinya mereka mendapatkan haknya dari sumber yang sama dengan ASN.
Adapun dana desa seharusnya diperuntukkan total untuk memenuhi berbagai keperluan/urusan di desa, bukan digunakan untuk kebutuhan lain, termasuk THR.
Sementara itu negara telah berencana menggelontorkan dana APBN sebesar Rp48,7 triliun untuk memenuhi tunjangan hari raya tersebut. Namun sayangnya, dana sebesar itu tidak dapat dinikmati oleh seluruh rakyat.
Padahal sumber keuangan negara sebagian besar berasal dari pungutan pajak. Artinya dana yang dikeluarkan itu sejatinya adalah uang rakyat, tetapi hanya segelintir saja dari mereka yang dapat menikmati.
Di samping itu pemerintah berharap, dengan pemberian THR serta gaji ke-13 dapat meningkatkan daya beli masyarakat, dan dibelanjakan untuk membeli produk-produk dalam negeri agar dapat mendongkrak ekonomi lokal.
Artinya, pemerintah justru mendorong masyarakat untuk menghabiskan uangnya dengan berperilaku konsumtif dalam menyambut hari raya ini.
Hal ini sungguh amat disayangkan, sebab yang diuntungkan dalam hal ini sesungguhnya bukanlah rakyat, tetapi para kapitalis bermodal besar yang memang jor-joran dalam menawarkan berbagai produknya setiap menjelang perayaan hari raya di negeri ini. Dari sini tampak bahwa penguasa lebih memihak kepada pengusaha dibanding rakyatnya sendiri.
Namun di tengah kondisi perekonomian yang masih sulit seperti saat ini. Ketika harga bahan kebutuhan pokok masih tinggi, apalagi pemberian THR yang tidak merata, rasanya harapan agar semua rakyat bisa menyambut hari raya dengan rasa gembira hanya utopis belaka.
Bagaimana tidak, ribuan tenaga honorer serta perangkat desa negeri ini biasanya menerima gaji yang amat minim, jauh di bawah yang diterima oleh ASN, apalagi pejabat negara.
Sangat sulit mengharapkan mereka bisa menikmati "kesejahteraan" sesaat kala merayakan Idul Fitri. Ditambah mereka mungkin hanya menerima sedikit tambahan dari gaji yang diterimanya.
Kebijakan yang berat sebelah membuat miris hati. Para pejabat negara yang hidupnya berkecukupan justru malah mendapatkan bagian dari komposisi tunjangan hari raya.
Sementara pegawai kecil terlebih rakyat biasa yang berpenghasilan pas-pasan tidak memiliki jaminan memperoleh fasilitas yang serupa. Padahal status mereka sama-sama warga negara. Hal ini tentunya akan sangat menyakiti hati rakyat, dan bisa saja menimbulkan kecemburuan sosial di tengah masyarakat.
Dari sini sangat tampak ketidak-adilan penguasa dalam mengurus rakyatnya. Di satu sisi ada sekelompok masyarakat yang bermewah-mewah dalam mempersiapkan hari rayanya, sementara di sisi lain tak sedikit yang masih pusing memikirkan bahkan hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Apatah lagi memikirkan kue lebaran, baju baru, dan ongkos mudik bagi perantau.
Ketimpangan tidak semestinya terjadi di negeri yang amat kaya dengan sumber daya alam ini. Namun sistem hidup bernama kapitalisme-sekuler memaksa rakyat pasrah dengan kondisi kehidupan sulit yang mereka jalani. Ideologi yang diadopsi dari pemikiran ala Barat ini meniscayakan sekelompok orang bermodal besar menguasai hajat hidup rakyat banyak.
Akibatnya kekayaan sumber daya alam (SDA) negeri ini bebas dimiliki siapapun tanpa batas, termasuk asing. Selama bisa membeli dengan uang yang mereka punya, maka hak kepemilikan akan berpindah dengan mudahnya.
Jadilah, hasil pengelolaan kekayaan alam yang semestinya kembali kepada rakyat, masuk ke kantong-kantong tebal para konglomerat. Alih-alih menjadi sumber pemasukan negara, secuil keuntungan yang didapat tidak mampu memenuhi kesejahteraan anak negeri.
Hal yang demikian menjadikan negara tidak mempunyai cukup dana untuk memberikan tunjangan kepada seluruh rakyatnya. Alhasil, pemerintah akan memilah dan memilih golongan mana yang berhak atas THR, dan mana yang tidak. Dan ini merupakan perlakuan yang zalim.
Lain halnya jika Islam dijadikan way of life. Islam memandang bahwa jaminan kesejahteraan rakyat seluruhnya adalah tanggung jawab negara. Penguasa tidak memandang apakah warga negaranya adalah seorang pegawai pemerintahan atau bukan, muslim atau kafir, laki-laki atau perempuan, kaya atau miskin, berpendidikan tinggi atau rendah. Karena semuanya berstatus sama sebagai warga negara, maka akan diperlakukan sama pula terkait hak dan kewajibannya.
Rasulullah SAW. telah mengancam para pemimpin yang tidak berlaku adil terhadap rakyatnya, beliau bersabda:
"Tidaklah seorang pemimpin kaum baik sedikit atau banyak, kemudian ia tidak adil kecuali Allah akan melemparkan wajahnya ke neraka" (HR Imam Ahmad).
Seluruh penduduk negeri yang diatur dengan aturan Islam memiliki akses kesejahteraan yang sama. Semua berhak mendapatkan pekerjaan yang layak dengan gaji yang memadai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pangan, sandang, dan papan yang merupakan kebutuhan dasar individu, dijamin ketersediaannya dengan harga yang dapat dijangkau seluruh lapisan masyarakat.
Dahulu Rasulullah SAW. tidak melarang umatnya untuk bergembira di hari raya asalkan tidak berlebihan. Beliau bahkan memerintahkan untuk memakai pakaian terbaik yang dimiliki para sahabatnya untuk dipakai di dua hari raya, yakni Idul Fitri dan Idul Adha.
Dan ini akan menjadi fokus penguasa dalam sebuah negara yang menerapkan sistem Islam untuk menyelenggarakannya, sebab hal ini dicontohkan oleh Rasulullah saw. saat menjadi kepala negara Islam di Madinah.
Rakyat juga mendapatkan jaminan pemenuhan kebutuhan komunal, yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara gratis. Demikian pula kebutuhan transportasi, akan diurus negara dengan sangat baik. Sehingga mereka tidak perlu merasa risau hajat hidupnya tidak terpenuhi, apalagi menjelang perayaan hari raya seperti Idul Fitri.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, negara akan mengambil dari kas negara yaitu Baitulmal, yang bersumber dari hasil pengelolaan harta kepemilikan umum berupa sumber daya alam dan harta kepemilikan negara. Negara akan mengelola secara mandiri harta-harta tersebut, dan tidak akan membiarkan dimiliki oleh individu/golongan kaya yang tidak berhak.
Setiap individu dalam Islam akan mendapatkan jaminan kesejahteraan setiap saat, bukan hanya saat momen-momen tertentu saja. Sebab, negara yang menerapkan sistem Islam diperintahkan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyatnya secara hakiki.
Dengan demikian rakyat dapat hidup, beraktivitas, dan beribadah dengan tenang, tidak merisaukan kebutuhan hidupnya tercukupi atau tidak. Karena jika pun seorang kepala keluarga tidak mampu memenuhi nafkah keluarganya, ada mekanisme zakat yang akan dikeluarkan oleh negara.
Umat pun akan dibentuk syakhsiyah (kepribadian) Islamnya agar peduli dengan sesama dan saling menolong. Sehingga tidak ada ketimpangan ekonomi dan sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Dengan demikian setiap individu akan fokus pada tujuan hidupnya, yaitu beribadah kepada Allah SWT., bukan semata mengejar kenikmatan dunia yang fana.
Namun, semua cita-cita hidup dalam kondisi yang ideal seperti demikian harus kita perjuangkan, karena hanya bisa diwujudkan melalui penerapan aturan Islam secara kaffah. Sebab, hanya dengan aturan Islam yang sempurna dan menyeluruhlah umat manusia dapat diurus dengan baik dan adil.
Wallahualam bissawab.
Oleh: Tatiana Riardiyati Sophia
Pegiat Literasi dan Dakwah
0 Komentar