Topswara.com -- Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS Al Baqarah : 183).
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali Imran : 110).
Waktu terus berjalan tanpa kompromi. Tidak terasa, Ramadhan tahun 2024 ini sudah melewati hari ke 4, Kamis, 14 Maret 2024. Tulisan ini dibuat setelah shalat subuh, sebab waktu pagi adalah salah satu waktu yang paling tepat untuk berkarya. Dalam keheningan pagi dan dinginnya udara menjadikan karya lebih bisa dihayati, kata perkatanya. Waktu pagi juga adalah waktu yang tidak dianjurkan untuk tidur.
Ada sebuah hadis yang melarang tidur setelah Subuh : "Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: "Janganlah kalian tidur setelah Subuh hingga matahari naik, karena terbitnya matahari dari dua sudut (timur dan barat) datang dari neraka." (HR. Muslim).
Kembali kita mendiskusikan The Power Of Ramadhan dimana saat berpuasa, seorang muslim sedang mengalami koneksitas yang sangat tinggi dan inten dengan Allah SWT. Seorang yang berpuasa sedang tinggi-tingginya sinyal yang terhubung dengan Allah, sebab puasa pada hakikatnya adalah pengendalian diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dari fajar hingga matahari tenggelam.
Hubungan inten dengan Allah ini karena ibadah puasa adalah ibadah dimana hanya Allah dan diri sediri yang tahu. Orang lain tidak akan pernah tahu bahwa diri kita sedang berpuasa, bahkan jika kita berbuka di tengah hari, lantas tetap mengaku berpuasa, maka orang lain bisa jadi akan percaya bahwa kita masih berpuasa. Sementara diri kita dan Allah tahu bahwa kita sudah tidak berpuasa.
Karena itu puasa Ramadhan memberikan kekuatan keikhlasan semata karena Allah. Meski banyak kesempatan untuk membatalkan puasa, karena orang lain tidak ada yang tahu, namun karena kekuatan keikhlasan jiwa, maka tidak orang yang berpuasa tidak akan membatalkan puasa disebabkan karena hatinya telah tertuju hanya kepada Allah SWT.
Keikhlasan itu di dalam hati. Keikhlasan adalah refleksi keimanan dan ketaqwaan seorang muslim. Orang yang ikhlas tidak pernah berpuasa dengan ukuran imbalan materi yang diterima atau sekedar untuk mendapatkan pujian dari manusia.
Orang yang ikhlas akan tetap bersungguh-sungguh sekalipun hanya sebagai bawahan apalagi sebagai atasan. Bekerja dengan penuh ikhlas tidak pernah mendasarkan kesungguhannya karena jabatan, materi, pujian orang lain, atau karena faktor-faktor lain. Sebab nilai keikhlasan adalah transaksi manusia dengan penciptanya, bukan antarmanusia.
Ada sebuah kisah tentang indahnya keikhlasan hati dari seorang sahabat Nabi yakni Khalid bin Walid. Ketika itu tengah terjadi pertempuran dahsyat antara kaum muslimin dan kaum kafir.
Ketika sang panglima perang bernama Khalid ibn Walid sedang memimpin pasukannya dalam sebuah pertempuran tanpa diduga sebelumnya, dia memperoleh surat perintah pemberhentian dirinya dari Khalifah Umar ibn Khaththab.
Dalam surat perintah itu disebutkan bahwa sejak saat itu, panglima perang Khalid bin Walid diberhentikan dengan hormat dari jabatannya sebagai panglima perang, dan diharapkan segera menyerahterimakan jabatannya kepada panglima baru Ubaidillah ibn Al-Jarra sebagai penggantinya.
Keputusan khalifah sempat membingungkan dan mengagetkan Ubaidillah. Ada apa gerangan keputusan ini diambil oleh sang khalifah. Berkat kelapangan dada, keikhlasan hati dan kebesaran jiwa Khalid ibn Walid akhirnya mampu menyelesaikan persoalan pelik ini dengan baik.
Keduanya sepakat untuk membicarakannya secara diam-diam tanpa diketahui oleh pasukan yang tengah bertempur. Jalan keluar yang mereka sepakati adalah membiarkan pertempuran berjalan dan pergantian dilakukan secara diam-diam sambil menunggu saat yang tepat untuk mengumumkannya.
Setelah gemuruh pertempuran sedikit mereda, barulah diumumkan kepada segenap pasukan kaum muslimin atas perintah pergantian panglima perang dari Khalifah Umar bin Khaththab tersebut. Dan saat itu Khalid bin Walid berubah status menjadi prajurit seperti yang lain di bawah komando panglima perang yang baru : Ubaidillah ibn al Jarra.
Sakit hatikah Khalid ibn Walid ? Ternyata tidak. Khalid ibn Walid dengan gigih melaksanakan semua tugas-tugas sebagai prajurit biasa. Inilah gambaran keteladanan yang luar biasa dalam sejarah umat manusia.
Adakah pada zaman sekarang orang yang seperti ini. Rasanya sulit kita mendapatkannya. Konon usai serah terima jabatan, beberapa anggota pasukan kaum muslimin menanyakan langsung kepada Khalid ibn Walid perihal bagaimana perasaannya tatkala beliau diberhentikan dengan hormat oleh sang Khalifah Umar dan menjadi prajurit biasa.
Dan ditanyakan juga bagaimana dia bisa bersikap bijak dan rendah hati terhadap proses pergantian yang sedemikian mendadak yang cenderung tidak wajar itu. Apalagi pergantian itu dilakukan di tengah api pertempuran yang sedang membara. Tentu secara logika dilihat dari perspektif kebutuhan mental pasukan, pergantian itu terlihat tidak pantas.
Namun, Khalid ibn Walid tampaknya tumbuh sebagai panglima sejati. Maka dengan nada tenang tetapi mantap dia menjawab, "Saya berjuang bukan karena Abu Bakar yang mengangkatku, juga bukan karena Umar yang memberhentikanku, tetapi saya berjuang semata-mata karena Allah, semata-mata demi pengabdian kepada Allah".
Inilah jiwa keikhlasan yang telah tumbuh dalam hati seorang pejuang sejati, Khalid ibn Walid. Seorang pejuang yang bekerja hanya dilandasi oleh keinginannya untuk mengabdi secara tulus ikhlas kepada Allah semata untuk memperjuangkan agama dan daulah Islam saat itu.
Tampak dalam kisah ini bahwa orientasi dan motivasi Khalid ibn Walid berjuang dengan penuh keikhlasan adalah karena membela yang haq dan membela agama yang diyakininya. Dengan kata lain dia berjuang dengan semangat pengabdian yang mahatinggi. Itulah sebabnya, soal jabatan atau pangkat tidak mempengaruhi penampilannya. Justru karena sikapnya yang demikian itulah harga dirinya menjadi mulia.
Kebanggaan di hati prajurit yang pernah dipimpinnya menjadi begitu besar, dan rasa hormat mereka kepadanya semakin tinggi. Ia justru menjadi panglima yang sesungguhnya di hati para prajuritnya.
Meski telah menjadi prajurit biasa, ia tetap berjuang dengan semangat yang sama. Dia siap memimpin dan siap dipimpin. Dia siap menjadi panglima perang dan siap menjadi seorang prajurit.
Dengan demikian, Khalid ibn Walid telah mewariskan keteladanan tentang nilai keikhlasan dalam berjuang. Demikianlah mestinya kita juga mampu mewarisi nilai keikhlasan panglima perang Khalid ibn Walid.
Allah berfirman dalam Al Qur'an, "Dan katakanlah (Muhammad), bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasulnya serta orang-orang mukmin akan menyaksikan pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah yang maha mengetahui dan ghoib dan yang nyata, lalu diberitakannya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan". (QS At Taubah/9 : 105).
Ikhlas termasuk amal hati yang tidak dapat diketahui kecuali oleh orang yang bersangkutan dan Allah. Menjadi orang yang ikhlas itu tidak mudah. Membutuhkan waktu dan kesungguhan. Jika seseorang telah sampai pada martabat dan kemampuan untuk menyembunyikan segala kebaikan, maka dirinya telah memiliki sikap ikhlas.
Al Qurtubi berkata, "Al-Hasan pernah ditanya tentang ikhlas dan riya, kemudian ia menjawab, " Di antara tanda keikhlasan adalah jika engkau suka menyembunyikan kebaikanmu dan tidak suka menyembunyikan kesalahanmu".
Abu Yusuf berkata, "Mas'ar telah memberitahukan kepadaku dari Saad ibn Ibrahim, ia berkata, “Mereka (para sahabat) menghampiri seorang laki-laki pada perang al Qadisiyah. Laki-laki itu kaki dan tanganya putus, ia sedang memeriksa pasukan seraya membacakan firman Allah: “ Mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah. Yaitu nabi-nabi, para shiddiqien, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman-teman yang terbaik ” (QS. Annisa : 69).
Seseorang itu bertanya kepada laki-laki itu, "Siapa engkau wahai hamba Allah. Dia menjawab, "Aku adalah salah satu dari kaum Anshor". Laki-laki itu tidak mau menyebutkan namanya. Inilah fragmen tentang nilai keikhlasan.
Banyak ayat yang menegaskan tentang keikhlasan ini, diantaranya pada Surah Al-Bayyinah (98:5) : "Mereka mengatakan, 'Kami hanya menghendaki keridhaan Tuhan kami, karena sesungguhnya kami tidak pernah mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.' Itulah yang diinginkan oleh Allah bagi orang yang Dia beri petunjuk. Dan Dia melapangkan dadanya untuk (menerima) agama Islam; dan Dia menyempitkan dadanya untuk (menerima) kesesatan. Seperti itulah Allah menjadikan kemurkaan atas orang-orang yang tidak beriman."
Surah Al-Ankabut (29:69) : "Dan orang-orang yang berjuang untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik."
Surah Al-Kahf (18:110) : "Katakanlah, 'Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhanmu itu adalah Tuhan yang Esa. Oleh karena itu, barangsiapa mengharap (pertemuan) dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.'
Setidaknya ada empat hal sebagai indikator keikhlasan seseorang dalam melakukan segala aktivitas, tugas dan kerja baik sebagai guru, siswa, pimpinan, pekerja kantor, petani, dan profesi lainnya. Keempat indikator itu adalah.
Pertama, kapasitas besar. Dengan lapang dada dan kejernihan hatinya, seorang yang ikhlas akan mampu menghadapi persoalan seberat apapun. Mereka mampu membawa diri, persoalan dan pekerjaannya dengan hati riang dan ringan sebab tidak pernah dibebani oleh kekerdilan emosi dalam berbagai bentuknya.
Ketika orang lain yang telah bekerja keras maupun bekerja cerdas tidak sanggup lagi memikul pekerjaan yang berat, seorang yang bekerja dengan penuh keikhlasan mampu menembus semua keterbatasan itu dan menyelesaikan dengan sempurna.
Kedua, kejernihan pandangan. Seseorang yang telah tertanam nilai keikhlasan dalam hatinya, dengan kesucian hatinya dapat mempersepsi keadaan lebih jernih dan kemudian dapat menyimpulkan lebih proporsional terhadap setiap masalah yang dihadapinya.
Sebenarnya keputusan yang salah lahir dari penyakit hati yang ada dalam dirinya. Dzun Nun Al Misri pernah berkata, "Keyakinan akan memperpendek angan-angan, angan-angan yang pendek akan mengantarkan pada zuhud, zuhud akan mewariskan hikmah, dan hikmah akan melahirkan kejernihan pandangan".
Ketiga, keberuntungan besar. Seseorang yang berhati ikhlas, dengan kejernihan hatinya akan terlihat hidupnya aman dimanapun mereka berada. Bahkan ketika di daerah rawan sekalipun. Mereka yakin akan keikhlasan dirinya.
Dia tidak pernah membawa maksud buruk sebab tabungan energi positifnya (amal saleh) akan menjaga dirinya. Dikarenakan keikhlasan adalah puncak dari amal, maka wajar jika seorang yang penuh keikhlasan akan mendapatkan keberuntungan dan kebaikan dari berbagai sisi yang tiada pernah dia bayangkan sekalipun.
Kebaikan, keberuntungan, keberkahan, ketenteraman, keamanan dan kebahagiaan akan menyertai bagi orang-orang yang ikhlas. Sudahkah kita menjadi orang-orang ikhlas?
Keempat, banyak memberi manfaat. Seorang yang berhati ikhlas dalam beraktivitas dengan kejernihan hatinya akan memiliki banyak kelebihan energi positif untuk membantu orang lain.
Mereka tidak pernah kerdil dan pelit untuk membantu orang lain, sekalipun orang lain itu bisa jadi pesaingnya, bahkan mungkin musuhnya. Apalagi terhadap orang yang disayangi dan menyayangi.
Mereka tidak pernah punya halangan untuk membantu orang yang memusuhinya, karena sikap nothing to lose-nya berada di tingkat paling tinggi. Mereka akan sanggup bekerja dengan siapa saja, bahkan dengan orang paling sulit sekalipun.
Keikhlasan adalah sumber kemuliaan. Orang yang ikhlas adalah orang yang mulia. Orang ikhlas bisa menjadi penengah terhadap dua orang yang konflik, karena selalu memihak pada kemuliaan.
Dia bisa menjadi kakak dan motivator bagi bawahan dan rekan-rekan kerjanya. Mampu melepaskan haknya untuk membantu orang lain. Akan banyak mengeluarkan hartanya untuk meringankan beban orang yang tidak mampu. Akan mudah melepaskan harta dan barang yang dicintainya jika dibutuhkan orang lain. Karena harta tidak akan mampu menodai kejernihan hatinya.
Kenapa kita harus menjadi orang yang berhati ikhlas dan penuh ketulusan? Karena di sanalah sesungguhnya manusia menemukan eksistensi dirinya sendiri. Ia akan mendapatkan fitrahnya bahwa hidup ini menjadi bernilai kalau manusia ada dalam bekerja dan setiap kerja yang tulus akan membawa kebahagiaan bagi orang yang bersangkutan.
Karena itu Islam tidak pernah meridhai umatnya menganggur, berpangku tangan berharap pemberian orang lain dan atau menantikan belas kasihan masyarakat sekitar. Islam menganjurkan pemeluknya untuk selalu beramal dan bekerja dengan landasan ketulusan dan keikhlasan.
Nah, Ramadhan adalah momentum yang akan memberikan kekuatan dalam menumbuhkan jiwa ikhlas hingga pada level tinggi, karena selama puasa, hubungan hati dengan Allah akan terawat dari waktu ke waktunya.
(Kota Hujan, Kamis, 14/03/24 – 4 Ramadhan 1445 H : 05.35 WIB)
Oleh: Dr. Ahmad Sastra
Dosen Filsafat
0 Komentar