Topswara.com -- Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS Al Baqarah : 183).
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali Imran : 110).
Alhamdulillah, kembali kita berjumpa melalui tulisan seri The Power of Ramadhan hari ke duapuluh bulan suci Ramadhan 1445 H. Ramadhan adalah bulan istimewa bari orang beriman dan bertaqwa, sebab hanya yang beriman dan bertaqwa yang akan mendapatkan keberkahan Ramadhan karena ketaatannya kepada perintah Allah.
Sasaran perintah puasa Ramadhan bersifat jamak, yakni untuk orang-orang beriman, bukan hanya satu orang. Ujung dari puasa juga adalah pencapaian ketaqwaan kolektif. Karena itu hendaknya Ramadhan ini menjadi kekuatan bagi orang-orang beriman untuk merealisasikan kataqwaan dalam ranah sosial kebangsaan.
Artinya, Ramadhan mestinya menjadi kekuatan kesadaran untuk menjadikan ideologi Islam sebagai refleksi ketawaan kolektif di negeri ini atau di seluruh penjuru dunia. Sebagai ideologi, Islam tidaklah sama dengan kapitalisme sekuler dan komunisme ateis. Islam adalah beyod ideology.
Islam dikatakan sebagai beyond ideology karena kesempurnaan dan orientasi Islam yang melampau ideologi apapun yang dibuat manusia. Islam adalah agama sekaligus ideologi yang bisa diterapkan di dunia untuk menyelesaikan seluruh persoalan, menebarkan rahmat bagi alam semesta, bahkan menjadi penyelamat di akhirat kelak.
Beberapa karakter di atas tentu tidak dimiliki oleh agama dan ideologi selain Islam. Ada agama yang hanya mengurusi urusan akhirat dan ada ideologi yang hanya mengurusi dunia saja. Kapitalisme sekuler dan komunisme ateis adalah dua ideologi yang hanya mengurusi dunia saja.
Kedua ideologi ini bersifat pragmatisme atau materialisme, tidak memiliki ruh. Islam sebagai beyond ideologi karena memiliki ruh, yakni berorientasi kepada nilai ketuhanan untuk kebaikan dunia akhirat.
Ada beberapa karakteristik Islam, pertama Islam din yang diridhai Allah. Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya (TQS Ali Imran : 19).
Kedua, Islam adalah din yang sempurna. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu (TQS Al Madinah : 3). Ketiga, Islam memiliki karakter universalitas : Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (TQS al Anbiyaa : 107).
Keempat, Islam itu holistik : keseluruhan masalah yang berkaitan dengan manusia, kehidupan dan alam semesta dibahas dan berikan aturan dan solusi dalam Islam. Hal ini sejalan dengan firmanNya : Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (TQS An Nahl : 89).
Kelima, Islam berorientasi kepada kebahagiaan dan keselamatan dunia akhirat. Inilah yang membedakan dengan agama atau ideologi selain Islam. Agama selain Islam hanya mengurusi urusan akhirat.
Sementara ideologi selain Islam hanya mengurusi urusan dunia. Sementara Islam mengurusi keduanya. Hal ini sejalan dengan firman Allah : Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka" (TQS Al Baqarah : 201).
Karena itu, makna din yang merujuk kepada Islam, tidak selalu identik dengan istilah agama yang biasa dikenal selama ini. Ad-din merupakan istilah yang banyak terdapat dalam Alquran. Di dalam Alquran, terdapat lebih kurang 101 ayat yang menyebutkan istilah ini. (Fuad A. Baqi, t.t: 340-342).
Istilah ad-din berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk masdar dari kata kerja dana yadinu. Menurut bahasa Arab arti asalnya adalah hutang atau memberi pinjaman (Warson, 2002:436-438).
Kemudian diartikan pula dengan: taat, balasan, adat, pahala, ibadah, ketentuan, paksaan, tekanan, kerajaan, pengaturan, perhitungan, undang- undang, hukum, tauhid, hari kiamat, perjalanan hidup, siasat, wara’, nasehat, keputusan, tunduk, dan agama. Dengan demikian arti ad-din amat luas sekali, (S. Zaini, t.t: 17).
Din, sebagaimana dipahami masyarakat awam adalah istilah yang terlalu terbatas untuk mendeskripsikan sebuah agama atau beberapa agama selain dari agama Islam. Pengkonsentrasian istilah din kepada makna agama itu, membuat istilah ini menjadi terbatas dan kaku.
Pembahasan mengenai istilah din jarang menunjuk kepada penafsiran luas yang seharusnya dapat memberikan pemikiran filosofis dan pandangan dunia (worldview / pandangan hidup / ideologi, mabda / way of life) yang dapat diterapkan dalam kehidupan umat Islam.
Islam bukanlah semata-mata suatu agama, adalah suatu pandangan hidup jang meliputi soal-soal politik, hukum, pendidikan, ekonomi, sosial dan kebudajaan. Baginya Islam itu adalah sumber dari segala perdjuangan atau revolusi itu sendiri, sumber dari penentangan setiap macam penjajahan : eksploitasi manusia atas manusia ; pemberantasan kebodohan, kejahilan, pendewaan dan juga sumber pemberantasan kemelaratan dan kemiskinan. Islam tidak memisahkan antara keagamaan dan kenegaraan. Sebab itu, Islam itu adalah primer (M Natsir).
Sayyid Qutb mengatakan bahwa sejarah Islam, sebagaimana yang pernah ada, merupakan sejarah dakwah dan seruan, sistem dan pemerintahan. Tidak asumsi lain yang dapat diklaim sebagai Islam, atau diklaim sebagai agama ini, kecuali jika ketaatan kepada Rasul direalisasikan dalam satu keadaan dan sistem (Tafsir fi Dhilal al Qur’an, Juz II hlm. 696).
Sebagai way of life, ia mempergunakan segala aspek eksistensi manusia dan prestasinya. Tidak satupun aspek yang diberikan mendahului yang lain atau bertentangan antara satu dengan lainnya. Setiap aspek kebudayaan dan peradaban secara penuh dipelihara dari kelebihan dan keekstreman pada kedua sisinya. Semua sisi kehidupan sosial tetap berada dalam timbangan yang sempurna (A. Rahman, 2003:251).
Tentu saja timbangan yang sempurna menurut Allah Yang Maha Sempurna yang telah menurukan Islam yang sempurna kepada Rasulullah, manusia sempurna.
Kata din menurut Naquib Al Al-Attas, dapat dipadatkan menjadi empat makna utama yaitu, pertama, keberhutangan; kedua, ketundukan; ketiga, kekuatan hukum; keempat, kehendak hati atau kecenderungan alamiah.
Ia lebih lanjut “dâna” yang diturunkan dari dÄ«n bermakna sedang berhutang. Dalam kondisi dimana seseorang sedang berhutang, mengindikasikan bahwa seorang “dâ’in” (pemberi utang) menyertai diri orang yang berutang. Dalam kasus ini, maka ditemukan ada pihak yang memerintah orang berutang tersebut, yaitu dalam kepatuhannya pada hukum dan peraturan dalam utang piutang.
Selain itu, dalam ilustrasi tersebut juga ditemukan fakta bahwa seseorang yang berhutang ada di bawah kewajiban, atau “dainun” (kewajiban membayar utang). Berada dalam kondisi sedang berhutang dan di bawah kewajiban secara alamiah melibatkan pengadilan (dainûnah), dan kesaksian (idânah).
Semua penanda di atas yang inheren dalam “dâna”, hanya mungkin dipraktekkan dalam masyarakat terorganisir yang terlibat dalam kehidupan niaga di kota dan kota besar, yang ditunjukkan dengan kata “mudun” atau “madâ’in”.
Sebuah kota atau kota besar, “madÄ«nah”, memiliki hakim, pengatur, atau pengelola, yaitu seorang “dayyân”. Dari situ, kemudian diturunkan istilah lain yaitu “tamaddun”, yang bermakna peradaban dan perbaikan kebudayaan sosial.
Karakteristik syariah Islam itu unik. Syariat Islam memiliki keterkaitan dan keterpaduan antara yang satu dengan yang lain. Pelaksanaan satu hukum menuntut pelaksanaan hukum yang lain secara terpadu. Pelaksanaan syariah secara parsial akan menyebabkan ketimpangan.
Karena itu, Islam adalah masalah hidup dan mati, juga masalah surga dan neraka. Maka tak ada yang lebih berharga di dunia sampai akhirat bagi seorang muslim, kecuali beriman, bertaqwa dan istiqomah sebagai muslim. Mungkin lebih simpel kalau disebut dengan istilah Islam Harga Mati. Inilah kekuatan ideologis yang mestinya muncul saat melaksanakan puasa Ramadhan.
Kesadaran ini mestinya bersifat kolektif pada semua level sosial, sebab perintah puasa juga bersifat kolektif. Artinya, semua level sosial, dari pemimpin, pejabat, militer, ASN, sampai rakyat mestinya tumbuh kesadaran ideologis dan segera menerapkan dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat hingga berbangsa dan bernegara.
Penerapan ideologi Islam secara holistik dan komprehensif inilah konsekuensi keimanan dan ketaqwaan yang terdapat dalam QS Al Baqarah : 183. Inilah juga yang akan melahirkan keberkahan dari berbagai penjuru. Hal ini sejalan dengan firman Allah : Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya (TQS Al A’raf : 96).
(Kota Hujan, 30/03/24 M - 20 Ramadhan 1445 H : 08.03 WIB)
Oleh : Dr. Ahmad Sastra
Dosen Filsafat
0 Komentar