Topswara.com -- Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (TQS Al Baqarah : 183).
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (TQS Ali Imran : 110).
Alhamdulillah, kembali kita berjumpa melalui tulisan seri The Power Of Ramadhan hari ke lima belas bulan suci Ramadhan 1445 H. Sebagai seorang muslim yang senantiasa beriman, bertakwa dan bersyukur kepada Allah hendaknya selalu menjadikan bulan suci Ramadhan sebagai bulan yang mendatangkan kekuatan. Tulisan ini masih fokus kepada bagaimana Ramadhan seharusnya memberikan kekuatan kesadaran politik Islam bagi seorang pemimpin muslim.
Mengapa, sebab negeri dengan penduduk terbesar di dunia ini justru terjebak kepada sistem politik sekuler. Pilpres yang gelar tiap lima tahun tidak akan memberikan manfaat sedikitpun bagi rakyat, apalagi bagi agama ini. Negeri ini telah menjadi negara kekuasaan, dimana hukum diatur oleh kepentingan kekuasaan. Padahal semestinya dalam Islam, hukum Islam yang mengatur kekuasaan.
Sistem politik sekuler juga telah menjadikan agama sebagai alat demi mencapai kepentingan seseorang, mestinya yang benar adalah islamisasi politik, dimana politik didasarkan oleh nilai dan hukum Islam.
Dalam politik sekuler, agama Islam hanya akan menjadi bahan permainan. Agama diatur oleh politik, mestinya agama Islam mengatur politik. Klasifikasi Islam moderat dan radikal adalah contoh produk politik sekuler yang menjadikan Islam sebagai sasaran fitnah dan permainan.
Hal ini sejalan dengan ungkapan Imam Al Ghazali bahwa negara dan agama seperti saudara kembar yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya. Agama itu bagaikan pondasi, sementara negara adalah tiangnya atau penjaganya. Rumah tanpa pondasi akan mudah roboh, sementara rumah tanpa penjaga akan hilang.
Begitulah seharusnya seorang pemimpin muslim pada bulan Ramadhan ini memberikan kekuatan kesadaran politik Islam dan tidak terjebak kepada politik sekuler.
Islam merupakan konsepsi ideal bagi upaya penyelesaian semua permasalahan kehidupan manusia, sementara sistem politik sekuler justru akan makin merusak peradaban bangsa. Islam datang dari Allah yang maha sempurna dan maha mengetahui permasalan yang dihadapi manusia.
Rasulullah adalah sosok sempurna yang telah mendapat garansi dari Allah sang Pengutus. Secara normatif Islam adalah konsepsi ideal bagi upaya kebaikan kehidupan, dengan kata lain rahmatan lil alamin. Secara historis Rasulullah telah mengukir sejarah peradaban cemerlang melalui revolusi agung yang belum pernah ada catatan sejarah menyamainya.
Bagi Michael D Hart yang notabene non muslim menilai sosok Rasulullah sebagai peletak peradaban agung. Sebagaimana dinyatakan " …kesatuan tunggal yang tidak ada bandingannya dalam mempengaruhi sektor keagamaan dan duniawi secara bersamaan, merupakan hal yang mampu menjadikan Muhammad untuk layak dianggap sebagai sosok tunggal yang mempengaruhi sejarah umat manusia."
Islam tidak anti politk. Kesempurnaan Islam justru dindikasikan oleh luasnya cakupan ajaran Islam yang meliputi semua dimensi kehidupan manusia. Keluasan cakupan dimensi Islam tidak dimiliki oleh agama apapun di dunia. Termasuk dalam kontek ini adalah masalah politik dan ketatanegaraan.
Politik dalam pandangan Islam sangat berbeda dengan pandangan sekuler. Islam memandang politik sebagai bagian dari ibadah kepada Allah dalam mengurus urusan umat. Sedangkan paradigma sekuler mengganggap politik sekedar cara untuk meraih kekuasaan dengan menghalalkan cara-cara yang dilarang agama.
Islam adalah ritual, politk sekaligus peradaban. Kekuasaan adalah amanah dari Allah yang harus dipertanggungjawabkan dihadapan Allah kelak.
Politik dan kekuasaan dalam Islam tidak terlepas dari dimensi spiritual sebagaimana yang terjadi di Indonesia hari ini. Sekulerisme dan liberalisme yang merasuk dalam jantung sistem ketatanegaraan negeri ini telah menyeret pada kehampaan akan nilai-nilai spiritual dalam praktek berbangsa dan bernegara.
Hubungan sosiologis di negeri ini lebih banyak dilandaskan pada paradigma sosialis dibandingkan Islam. Muaranya adalah adanya saling membinasakan antar persaingan kepentingan, meskipun satu agama.
Kepemimpinan negara dalam pandangan Islam adalah amanah dari Allah. Jika seseorang pemimpin negara berkhianat terhadap suatu urusan yang telah diserahkan kepadanya maka ia telah terjatuh pada dosa besar dan akan dijauhkan dari surga.
Penelantaran itu bisa berbentuk tidak menjelaskan urusan-urusan agama kepada umat, tidak menjaga syariah Allah dari unsur-unsur yang bisa merusak kesuciannya, mengubah-ubah makna ayat-ayat Allah dan mengabaikan hudûd (hukum-hukum Allah).
Penelantaran itu juga bisa berwujud pengabaian terhadap hak-hak umat, tidak menjaga keamanan mereka, tidak berjuang untuk mengusir musuh-musuh mereka dan tidak menegakkan keadilan di tengah-tengah mereka. Setiap orang yang melakukan hal ini dipandang telah berkhianat kepada umat.”
Sikap amanah seorang penguasa terlihat dari tatacaranya dalam mengurusi masyarakat berdasarkan aturan-aturan Allah. Ia juga berusaha dengan keras untuk menghiasi dirinya dengan budi pekerti yang luhur dan sifat-sifat kepemimpinan.
Penguasa amanah tidak akan membiarkan berlakunya sistem yang akan merusak masyarakat karena bertentangan dengan syariat Islam. Sebab pengabaian terhadap sistem hukum Allah akan mengakibatkan kesempitan dan kesengsaraan hidup. Hal ini sejalan dengan firman Allah, “ Dan Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan buta". (TQS Thahaa : 124).
Sejak diutusnya Rasulullah SAW, tidak ada sistem kemasyarakatan yang mampu melahirkan para penguasa yang amanah, agung dan luhur, kecuali dalam masyarakat Islam. Kita mengenal Khulafaur Rasyidin yang terkenal dalam kearifan, keberanian dan ketegasannya dalam membela Islam dan kaum Muslim.
Mereka adalah negarawan-negarawan ulung yang sangat dicintai oleh rakyatnya dan ditakuti oleh lawan-lawannya. Mereka juga termasyhur sebagai pemimpin yang memiliki budi pekerti yang agung dan luhur.
Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq adalah sosok penguasa yang terkenal sabar dan lembut. Namun, beliau juga terkenal sebagai pemimpin yang berani dan tegas. Tatkala sebagian kaum Muslim menolak kewajiban zakat, beliau segera memerintahkan kaum Muslim untuk memerangi mereka.
Meskipun pendapatnya sempat disanggah oleh Umar bin al-Khaththab, beliau tetap bergeming dengan pendapatnya. Stabilitas dan kewibawaan negara Islam harus dipertahankan meskipun harus mengambil risiko perang.
Khalifah Umar bin al-Khaththab sendiri terkenal sebagai penguasa yang tegas dan sangat disiplin. Beliau tidak segan-segan merampas harta para pejabatnya yang ditengarai berasal dari jalan yang tidak benar.
Dalam sebuah riwayat dituturkan bahwa Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah berkata kepada Abu Hurairah ra yang saat itu menjadi gubernur di Bahrain, “Bagaimana engkau bisa menduduki jabatan ini?” Ia menjawab, “Engkau telah menugaskan saya, sedangkan saya tidak menyukainya, dan engkau menghentikan saya, sedangkan saya mencintainya.”
Pada saat itu, Abu Hurairah membawa 400 ribu dirham dari Bahrain. Selanjutnya, Umar bertanya kepadanya, “Apakah engkau berlaku aniaya terhadap seseorang?” “Tidak.” “Dari jumlah itu, berapa yang menjadi milikmu?” “Dua puluh.” “Dari mana engkau memperolehnya?” tanya Umar lagi.“Saya berdagang.” Umar pun menukas, “Hitunglah modalmu dan milikmu. Lalu serahkanlah yang lainnya ke Baitul Mal.” (Thabaqât Ibnu Sa'ad, II/4/60; Târîkh al-Islâm, II/388; dan Tahdzîb at-Tahdzîb, XII/267).
Bandingkan fragmen agung diatas dengan fenomena praktek kenegaraan di negeri ini. Para penguasa tak lagi peduli dengan nilai-nilai Islam. Alih-alih melaksanakan hukum Allah menata kehidupan berbangsa dan bernegara, sekedar untuk mengikuti nilai dan norma dalam bersikap dan berperilaku saja tidak terbersit dalam benak mereka.
Akhirnya kondisi keterpurukan di hampir semua bidang kehidupan di negeri ini adalah akibat dari penerapan politik sekuler yang abai terhadap hukum Allah. Islam hanya dibawa saat mereka di masjid, sedangkan saat mereka mengurus ekonomi negara menggunakan sistem ribawi.
Saat mereka mengurus urusan pendidikan menggunakan sistem beridentitas kapitalisme sekuler. Saat mereka mengurus urusan budaya mereka mengabaikan nilai-nilai Islam. Saat menata sistem sosial, mereka menggunakan sistem sosialis. Dan aspek-aspek kenergaraan lain yang sekulerisitk.
Politik sekuler pada intinya adalah bentuk pengabaian nilai-nilai Islam dalam mengatur urusan negara dan mengatur urusan rakyat. Sebaliknya mereka menggunakan logika dan konsensus manusia atas nama demokrasi. Suara terbanyak dijadikan acuan kebenaran meskipun jelas-jelas bertentangan dengan Islam.
Padahal Allah melarang umat Islam menggunakan pertimbangan suara terbanyak sebagai tolok ukur kebenaran. Sebab kebenaran hanyalah miliki Allah bukan suara rakyat yang terbanyak.
Dengan demikian, ketika jalan sekulerisme dan demokrasi tak lagi menjanjikan perubahan yang lebih baik dan terus akan menjadikan Indonesia sebagai negeri terjajah oleh kapitalisme global. Saatnya kita menjadi orang-orang cerdas yang yakin akan Islam.
Islam menjadi paradigma politik alternatif setelah tumbangnya sosialisme komunis dan sekaratnya kapitalisme sekuler sekarang ini. Masihkan kita mempertahankan hukum jahiliyah ini, sementara Allah telah memberikan alternatif terbaiknya.
Islam secara normatif dan historis telah menjadi cahaya kebaikan bagi manusia. Islam telah menjadi rahmat bagi alam semesta. Mungkinkah hari ini Islam menjadi rahmat bagi dunia jika tidak diterapkan.
Allah dengan tegas telah menjanjikan kekuasaan bagi orang-orang yang beriman dan beramal sholeh : Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik. (TQS Annur : 55)
(Kota Hujan, 25/03/24 M – 15 Ramadhan 1445 H : 05.25 WIB)
Oleh : Dr. Ahmad Sastra
Dosen Filsafat
0 Komentar