Topswara.com -- Dilansir tirto.id - Banjir melanda 36 desa di sembilan kecamatan di Kabupaten Cirebon yang terjadi sejak Selasa (5/3/2024) malam hingga hari ini, berdasar data dari BPBD Cirebon. Akibatnya, setidaknya 20 ribu unit rumah terdampak banjir dan dua orang meninggal dunia.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Cirebon, Jawa Barat melakukan evakuasi dan penanganan peristiwa banjir yang awalnya melanda tujuh kecamatan di kabupaten itu sejak Selasa (5/3/2024) malam hingga meluas ke 9 kecamatan hari ini.
Mengulas hal ini, banjir merupakan salah satu bencana akibat kritisnya kondisi daerah aliran sungai (DAS). Jumlah DAS kritis mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Berdasarkan data kompilasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) disebutkan bahwa, pada 1984 terdapat 22 DAS dalam kategori kritis dan bertambah menjadi 39 DAS kritis pada 1992 — 1994, kemudian melonjak lagi menjadi 62 DAS kritis pada 1998—2005, dan pada 2020 DAS kritis kembali melonjak menjadi 108 DAS kritis.
Ciri utama kondisi suatu DAS itu kritis, dapat diamati secara sederhana dari kondisinya yang saat musim hujan akan meluap dan pada area hulu mengalami longsor. Kemudian pada saat musim kemarau DAS mengalami kekeringan, seperti yang baru-baru ini juga telah banyak dirasakan masyarakat saat musim kemarau kemarin.
Berbagai literatur ilmiah maupun opini populer di berbagai media menyebutkan bahwa alih fungsi lahan menyebabkan kondisi DAS mengalami kritis.
Bahkan sebuah riset menarik yang pernah dirilis oleh Ramadhan D (2021) menyatakan bahwa alih fungsi lahan memberi porsi terbesar dalam penyebab kekritisan lahan DAS, yakni sebesar 63,15 persen. Sementara itu faktor curah hujan, berkontribusi 36,84 persen terhadap lahan DAS yang kritis.
Hasil temuan riset ini, menjadi pukulan telak bagi pihak yang selama ini hanya melakukan klaim sepihak bahwa kejadian banjir yang sering terjadi dalam beberapa waktu belakangan hanya karena faktor curah hujan saja yang lebih besar.
Padahal kenyataannya, baik yang ditemukan melalui hasil riset, bahkan melihat secara langsung di lapangan, justru kegiatan alih fungsi lahan lah yang menjadi penyebab paling banyaknya. Seringnya yang terjadi, aktivitas alih fungsi lahan kawasan lindung sering diubah menjadi kawasan budidaya.
Selain itu, ada hal mendasar yang kemudian patut dipertanyakan pula, mengapa alih lahan fungsi lahan legal hingga hari ini, padahal secara aturan teknis dan kaidah ilmiah, kegiatan ini adalah sebuah pelanggaran?
Jika kita mengamati dengan saksama, pembangunan hari ini lebih berorientasi pada profit. Hal ini menjadi lumrah karena pengaturan sistem kehidupan yang diterapkan oleh negara adalah sistem kapitalisme yang alamiahnya pasti akan berpihak pada kepentingan oligarki.
Tidak bisa dipungkiri, penguasa dalam sistem kapitalisme hanya bertindak sebagai “spesialis” regulator sekaligus fasilitator bagi para oligarki.
Pada level daerah, penerapan sistem kapitalisme berdampak pada pengaturan politik keuangan daerah untuk menjalankan desentralisasi fiskal yang secara alami memberikan stimulus dua kemandirian daerah, yaitu memutuskan pengeluaran guna menyelenggarakan layanan publik dan pembangunan, serta memperoleh pendapatan guna membiayai pengeluaran itu.
Dengan kata lain, tambahnya, kebijakan desentralisasi fiskal dari negara adalah upaya perlahan negara melepaskan diri membiayai beban pembangunan suatu daerah.
Berdasar pada dua hal tersebut, banyak praktik pemda mencari jalan sendiri untuk pembangunan daerahnya. Salah satunya melalui izin-izin liar pembukaan lahan (alih fungsi kawasan lindung-red.) oleh para oligarki yang tidak memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan hidup.
Berbeda dalam pengaturan Islam untuk skala negara, penguasa memiliki tanggung jawab menjadi pelindung dan perisai (junnah) bagi rakyatnya.
Termasuk melindungi dari masuknya serangan penjajahan gaya baru yang hanya akan mengundang kemudaratan. Hal ini akan berkaitan dengan tanggung jawab negara untuk membiayai pembangunan di setiap daerah tanpa membuat para kepala daerah harus cari muka ke sana ke mari kepada para oligarki untuk mendapatkan dana pembangunan.
Dalam hal ini, penguasa wajib memperhatikan pengelolaan ruang hidup masyarakat dengan sebaik-baik pengaturan di bawah naungan syariat.
Oleh karenanya, menjadi sebuah kezaliman apabila penguasa mengabaikan penjagaan terhadap rakyatnya,Itu berarti, sang pelindung justru hanya berperan menghancurkan apa yang seharusnya dilindungi. Penguasa dalam sistem liberal kapitalisme memang terbukti gagal menjaga rakyatnya dan selamanya akan terus berlangsung seperti itu.
Pengelolaan ruang hidup yang bernafaskan kapitalisme, terbukti berhasil menggadaikan keberlangsungan hidup rakyat demi peningkatan ekonomi yang mengalir pada kantong-kantong tebal para oligarki, sedangkan rakyat hanya menerima recehan bersama seperangkat kerusakannya.
Hanya penerapan sistem Islam yang paripurna di bawah naungan sistem pemerintahan Islam, yang akan mampu menjadi penawar kerusakan lingkungan akibat faktor sistemis hari ini.
Wallahu alam bishawab.
Oleh: Eva Lingga Jalal
Aktivis Muslimah
0 Komentar