Topswara.com -- Tidak semua rawi (periwayat) hadis itu ulama. Rawi yang juga imam, hujjah, 'alim, faqih, hafizh, dan lain-lain tidak lah banyak. Tetapi periwayatan mereka semua diterima selama tsiqah (adil dan dhabith). Keadilan terkait dengan ketakwaan, sedangkan kedhabithan terkait dengan akurasi dan kecermatan. Sikap amanah inilah yang nampak pada seorang rawi.
Rawi ini seperti da'i, siapa saja dari kaum muslim wajib berdakwah. Esensi dakwah adalah mengajak orang lain kepada kebenaran Islam. Padanya disyaratkan tsiqah (takwa dan akurat). Jadi juru dakwah itu harus amanah.
Kalau tentang ulama, lain lagi. Ada manhajnya, baik dalam belajar maupun dalam mengajar. Di Indonesia, da'i itu disebut ustaz, tidak apa-apa, itu urf (tradisi) saja. Sebuah penghormatan bagi penyampai agama Islam. Belum tentu dia ulama.
Imam al-Syirazi, membedakan antara 'alim, faqih, hafizh dan rawi:
Pertama, ‘alim: mengetahui matan dan sanad;
Kedua, faqih: mengetahui matan dan tidak mengetahui sanad;
Ketiga, hafizh: mengetahui sanad dan tidak mengetahui matan;
Keempat, rawi: tidak (disyaratkan) mengetahui matan dan sanad. [Tadrib al-Rawi, Bab Muqaddimah, hlm. 16]
Masih dalam muqaddimah kitab Tadribur Rawi, Imam as-Suyuthi mensyaratkan 4 hal apakah orang tersebut ilmunya bisa dirujuk atau tidak. Qadhi Abdul Wahab berkata: Isa bin Aban menyebutkan dari Malik, bahwasannya dia berkata: Ilmu tidak boleh diambil dari empat orang, dan ilmu diambil dari selainnya:
Pertama, ilmu tidak diambil dari ahli bid’ah (dalam perkara aqidah-pen) yang menyerukan kepada kebid’ahan;
Kedua, ilmu tidak diambil dari orang bodoh yang mendemonstrasikan kebodohannya;
Ketiga, ilmu tidak diambil dari orang yang berdusta dalam perkataan manusia, meskipun dia jujur dalam khabar Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam;
Keempat, ilmu tidak diambil dari orang yang tidak mengetahui perkara ini (hadis, tidak ahli di bidangnya –pen). [Tadrib al-Rawi, Bab Muqaddimah, hlm. 16]
Sekali lagi, rawi itu diterima karena adil dan dhabith. Adil terkait keimanan dan ketakwaan. Dhabith terkait keilmuan atau intelektualitas. Cara untuk dapatkan keduanya dengan talaqqi dan mulazamah.
Ada rawi yang secara tahun wafat senior misal masuk thabaqat 7, tetapi karena qalilul mulazanah maka dikelompokan pada thabaqat 9. Jadi selain tahun wafat, hal penting yang jadi pertimbangan adalah aspek katsirul mulazamah (banyak menyertai guru).
Mulazamah juga tempat bersemainya akhlak dan adab. Tanpa adab, integritas (keadilan) dan intelektualitas (kedhabitan) menjadi hampa.
Kalau ada seorang yang disebut ulama, kyai, ustaz, gus, atau yang lainnya, tetapi berdusta atau menyebarkan fitnah, maka ia cacat aspek ketakwaannya. Minimal mungkar atau matruk. Tinggalkan!
Kalau ada seorang yang disebut ulama, kyai, ustaz, gus, atau yang lainnya, tetapi selalu ceroboh dan tidak akurat dalam penukilan dan pendapat, menimbulkan madharat, maka ia cacat aspek keilmuannya. Minimal ghaflah atau fukhsyul ghalath. Tinggalkan!
Kalau ada seorang yang disebut ulama, kyai, ustaz, gus, atau yang lainnya, tetapi berbicara di luar kemampuan (keahlian)nya dan banyak mengira-ngira dalam perkara agama. Minimal katsirul khatha' dan wahm yang mengantarkan pada illat. Cacat!
Kalau ada seorang yang disebut ulama, kyai, ustaz, gus, atau yang lainnya, tetapi selalu merasa diri benar dan menganggap rendah pihak lain, maka ia cacat aspek akhlaknya. Tidak atau sedikit mulazamah, sehingga akhlak dan adabnya pun tidak bersemai. Maka telah terjatuh kedudukannya!
Terakhir, jadi harus bedakan antara para pendakwah dengan ulama. Juga tidak ada syarat bahwa da'i harus lulusan luar negeri, harus ini dan itu yang merupakan syarat yang mengada-ada. Seseorang disebut belajar Islam dengan manhaj yang benar kalau ia tempuh dengan talaqqi dan mulazamah. Walau belajarnya dari ustaz kampung, kalau menempuh manhaj yang benar maka ilmunya muktamad (diakui).
Oleh: Ajengan Yuana Ryan Tresna
Peneliti Raudhah Tsaqofiyyah
0 Komentar