Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Prostitusi Online, Jeratan Bisnis Syahwat Kapitalisme

Topswara.com -- Kasus prostitusi dan perdagangan wanita seperti tiada habisnya. Bila sekarang ada embel-embel online tidak lain karena dampak dari perkembangan teknologi komunikasi yang dipakai untuk berbisnis prostitusi tersebut. Apakah itu lewat jaringan WhatsApp, maupun sosial media yang lain. 

Pekerjaan menjadi wanita penghibur dinilai menjadi jalan pintas untuk hidup di masa sulit ekonomi di mana harapan mereka bukan hanya terpenuhi kebutuhan pokok, tetapi juga lebih dari sekedar bertahan hidup yaitu hidup cukup bahkan mewah. 

Selain itu, pekerjaan menjadi penghubung alias germo juga menjadi pekerjaan yang menggiurkan tidak peduli hal tersebut bertentangan dengan hukum maupun agama. 

Begitulah yang terjadi pada germo Dimas yang menghasilkan Rp 300 juta dari prostitusi online, dan tawarkan hingga 30 juta sekali kencan. Profesi yang sudah digelutinya sejak tahun 2019 dimana sekitar 20 wanita dari berbagai latar belakang profesi telah dia rekrut untuk dijual kepada para pria hidung belang di berbagai provinsi di Nusantara. 

Atas perbuatannya, Dimas dijerat dengan UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan ancaman kurungan 15 tahun penjara.

Di waktu yang sama, di Belitung, Razia indikasi prostitusi online juga menjaring 4 wanita dan juga 5 pasangan bukan pasutri. Tim gabungan menggelar razia rutin memasuki bulan suci Ramadhan 2024 dengan menyisir beberapa hotel di sekitaran Kota Tanjungpandan. 

Selain itu, di daerah Parepare, 32 orang terjaring razia dugaan terlibat prostitusi online. Mereka kemudian dibawa ke kantor Satpol PP untuk dilakukan pendataan.

Fenomena-fenomena diatas akan terus terulang dan berulang seolah tidak akan kunjung berakhir. Bagaimana tidak, saat ini kita hidup dimana syahwat dibiarkan liar sehingga membutuhkan penyaluran-penyaluran haram. Bahkan, penyaluran haram tersebut dijadikan komoditas ekonomi. 

Masih belum lekang dalam ingatan kita ketika sebuah komplek prostitusi di sebuah kota besar di Jawa Timur ditutup, banyak unit-unit usaha yang protes merasa kehilangan ladang pencaharian, termasuk yang kecil-kecil seperti tukang becak dan tukang ojek.

Bahkan yang jauh lebih mengerikan adalah pendapatan daerah yang dihasilkan dari pajak bisnis hiburan malam yang memang dekat dengan dunia prostitusi. Dan saat kita hidup dalam sistem kapitalisme sekularisme, maka itu semua dihalalkan. Sungguh miris dan bikin kehidupan tidak berkah karena perputaran dari penghasilan yang tidak halal yaitu prostitusi.  

Dalam Islam sendiri, prostitusi merupakan perbuatan zina dan termasuk dosa besar, mengingat pelakunya harus di jilid seratus kali dan diasingkan selama setahun bagi yang belum menikah, dan dirajam sampai mati bagi yang sudah menikah. 

Sedangkan bagi germo alias mucikari merupakan orang yang menjadi perantara kemaksiatan itu terjadi akan dijatuhi hukuman ta’zir yang tidak kalah berat sehingga semua hukuman dalam Islam tersebut menjadikan semua pelakunya baik pelakunya sadar dan bertaubat.

Tidak seperti sekarang, di mana fenomena yang terjadi seakan seperti tumpukan gunung es. Ada razia namun yang tidak terjaring razia bisa jadi malah banyak. Razia menjelang bulan suci Ramadhan dilakukan, tetapi bagaimana dengan bulan-bulan yang lain? Apa yang dilakukan pemerintah sudah benar, namun belum cukup untuk memberantas kemaksiatan hingga ke akarnya. 

Bagaimanapun juga ini adalah persoalan sistemik, selama sistem yang dipakai untuk mengatur kehidupan adalah sistem kapitalisme sekuler, selama itu pula prostitusi baik online maupun offline tidak akan pernah bisa diberantas. 

Persoalan prostitusi melibatkan banyak bidang, dan yang paling pokok adalah persoalan keimanan. Tonggak dan penjagaan keimanan yang kuat hanya bisa dilakukan bila sistemnya Islam. 

Saat sistem kehidupan seperti sekarang, orang hanya bisa menjaga imannya sendiri-sendiri di tengah gempuran penggoyah keimanan untuk melakukan prostitusi, apakah itu persoalan ekonomi, persoalan pemicu syahwat yang memang digencarkan demi kepentingan ekonomi sebagian orang. 

Berbeda dengan Islam, penjagaannya berlapis meliputi berbagai segi, mulai dari penjagaan iman, ekonomi, akhlak, pergaulan, media, hukuman, dan sebagainya. Basis akidah Islam menjadi dasar berjalannya negara dan masyarakat. 

Negara akan memberikan pendidikan Islam bagi seluruh masyarakatnya sehingga menjadi individu yang selalu meletakkan perbuatannya pada takut dan ridha kepada Allah.

Dalam hal ekonomi, negara akan menerapkan syariat yang digali dari nash-nash sehingga menghasilkan sistem yang bisa mensejahterakan seluruh masyarakatnya sehingga tidak lagi mencari rezeki dari perkara haram. 

Begitu pula dalam hal pergaulan dan media, syahwat dalam Islam adalah cerminan gharizah nau’ yang sudah ada penyaluran halal-nya, yaitu menikah atau menundukkan pandangan hingga berpuasa bila belum mampu menikah. 

Islam bahkan menyariatkan poligami apabila suami mampu dalam berbuat adil. Dan juga, Islam tegas terhadap tindakan zina karena hal itu bisa merusak masyarakat sebagaimana hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas; 
“Apabila zina dan riba telah merajalela di dalam suatu negeri, maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah diturunkan kepadanya”, (HR.Hakim).


Oleh: Ratna Mufidah, SE.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar