Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

PPN Naik Lagi?

Topswara.com -- Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian membeberkan seluruh kebijakan pemerintahan saat ini akan kembali dilanjutkan oleh presiden selanjutnya. Hal itu juga termasuk kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) yang dipastikan naik menjadi 12 persen pada 2025. 

Berdasarkan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10 persen diubah menjadi 11 persen mulai berlaku pada 1 April 2022. 

Lalu, kembali dinaikkan menjadi sebesar 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025. Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, menuturkan kenaikan tarif ini akan berlanjut karena keputusan masyarakat yang memilih pemerintahan baru dengan program keberlanjutan dari Presiden Joko Widodo. 

Sebab itu, kebijakan dan rancangan dari program Jokowi akan dilaksanakan pada pemerintahan berikutnya. Sementara itu, dia menjelaskan pemerintah memiliki kewenangan untuk mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5 persen dan maksimal 15 persen. 

Hal itu bisa dilakukan melalui penerbitan peraturan pemerintah setelah dilakukan pembahasan dengan DPR, sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat 3 UU PPN. (tirto.id, 08/03/2024).

Sederet protes dan kritik keras dilayangkan berbagai pihak. Baik pakar ekonomi, politik maupun kelompok masyarakat yang tergabung dalam MUI dan ikatan pedagang. Benang merahnya sama. Tidak pro rakyat. 

Harga sembako dan jasa otomatis akan naik, sedangkan daya beli rakyat rendah. Efeknya akan menjatuhkan rakyat ke jurang kemiskinan yang lebih dalam. Puluhan juta rakyat kelas bawah makin terjepit. 

Pemerintah tutup mata telinga dengan beratnya beban ekonomi rakyat. Kebijakan yang justru memperparah krisis ekonomi. Serta kontraproduktif dengan upaya pemulihan ekonomi. Membaca kebijakan pajak, setiap ‘inovasi’ pemerintah dalam menggenjot pajak, alasan serupa di atas selalu dikemukakan. 

Kedepan, nampaknya ‘inovasi’ pajak akan diberlakukan sampai lubang tikus. Karena dalam kacamata pemerintah hari ini, pajak adalah titik darah penghabisan sumber anggaran negara. Tidak peduli dengan berbusanya kritikan rakyat. Tidak empati dengan mengalirnya darah dari perasan keringat rakyat. 

Pajak sentra sumber anggaran adalah konsekuensi bagi negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme. Paham liberalisasi ekonomi, menjadikan kepemilikan sumber daya alam (SDA) yang melimpah ruah atau aset umum strategis lainnya di tangan badan usaha/korporasi. 

Para pemilik kapital besar dari swasta, asing maupun aseng lah yang menahkodai badan usaha/korporasi tersebut. Orientasinya hanya pada kepentingan bisnis (komersialisasi), yang berusaha meraup profit sebesar-besarnya. Bukan pada pelayanan atau pemenuhan kebutuhan rakyat.

Pemerintah hanya berperan sebagai regulator/fasilitator. Pemerintah pun hanya mendapat secuil ‘jatah’. Terbukti dalam struktur APBN 2020 SDA hanya menyumbang anggaran negara sebesar 160,4 triliun, 7,18 persen dari total APBN (www.kemenkeu.go.id).

Padahal anggaran negara tidak akan pernah tercukupi hanya dengan mengandalkan ‘jatah’ tersebut. Untuk tetap menjaga keberlangsungan denyut kehidupan negara, mau tak mau harus ada sumber anggaran lain. 

Maka pajak lah yang menjadi opsi pertama dan utamanya. Ketimpangan ekonomi semakin parah, dengan paradigma ekonomi kapitalisme dalam pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Yaitu pemenuhannya diserahkan pada mekanisme pasar dan menolak adanya intervensi pemerintah di dalamnya. Sehingga kebutuhan pokok rakyat jadi ladang komersialisasi menggiurkan bagi pemilik modal.

Apalah guna APBN dan pertumbuhan ekonomi tinggi, jikalau banyak rakyat yang busung lapar dan stunting? Apalah guna gedung mewah sekolah perguruan tinggi, jikalau banyak rakyat yang butu huruf dan putus sekolah? Apalah guna fasilitas lengkap dan canggih rumah sakit, jikalau banyak rakyat yang meregang nyawa tak punya biaya berobat ?

Tidak terbantahkan lagi, penerapan sistem ekonomi kapitalisme pangkal kesengsaraan dan penderitaan rakyat. Negara yang menggantungkan diri pada pajak dan berlepas tangan dalam pemenuhan kebutuhan pokok rakyat hakikatnya adalah negara sakit. 

Apabila kezaliman pajak di puncaknya dan jurang kaya miskin menganga lebar, ambruknya negara adalah keniscayaan. Tak layak sistem ini dipertahankan apalah lagi diagungkan.

Penerapan syari’at Islam kaffah adalah obat penawarnya. Karena Islam sebagai akidah siyasiyah memiliki seperangkat aturan yang syamil (menyeluruh) dan kamil (sempurna). Termasuk aturan dalam ekonomi. Dalam Islam sumber anggaran utama negara diperoleh dari pengelolaan kepemilikaan umum dan negara. 

Kepemilikan umum dijelaskan dalam hadis Rasulullah SAW, yang artinya: Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR.Abu Dawud dan Ahmad).

Yang dimaksud padang adalah tanah beserta isi perutnya yang mengandung SDA. Seperti batubara, minyak bumi, emas, tembaga dan sebagainya.Yang dimaksud air adalah air yang mengalir seperti air hujan, laut, sungai, danau, rawa dan sebagainya.

Kemudian, yang dimaksud api adalah berbagai sumber energi alami sepert panas bumi, gas, tenaga surya, dan sebagainya. Kepemilikan negara diperoleh dari fa’i, ghanimah, jizyah, kharaj, ‘usyur, khumus, rikaz dan zakat dan sebagainya. Dalilnya termaktub dalam banyak ayat Al Quran dan hadits mulia.

Dalam kitab Nizhamul Iqtishadi, Syekh Taqiyuddin an Nabhani menjelaskan tata kelola milik umum dan negara. Yaitu negara mewakili rakyat mengatur pengelolaan milik umum. Semua rakyat bisa mengakses dan mendapatkan manfaat secara adil dari milik umum tersebut.

Diharamkan pengelolaan milik umum dan negara diserahkan pada individu atau badan usaha (baik swasta, asing atau aseng). Pengelolaan oleh negara bukan bervisi pada keuntungan atau menghindari kerugian, tetapi pelayanan. 

Hasil dari pengelolaan oleh negara digunakan untuk kemakmuran rakyat. Salah satunya menjamin pemenuhan kebutuhan pokok per kepala rakyat secara menyeluruh.

Mekanisme pemenuhan kebutuhan pokoknya ada secara langsung (pendidikan, kesehatan, keamanan), melalui penyediaan dana, sarana, dan prasarana dari negara. Ada secara tak langsung (sandang, pangan, papan), melalui pembebasan pengelolaan kepemilikan individu sesuai ketentuan syari’at. 

Juga melalui distribusi kekayaan non ekonomi seperti zakat, shadaqah, infaq, hibah, iqtha, subsidi dan sebagainya. Jadi mustahil kebutuhan pokok akan dipajaki dalam sistem Islam. Apabila dilakukan oleh negara termasuk dosa dan akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah SWT. 

Sesuai dengan hadis Rasulullah SAW, yang artinya: Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya (HR. Bukhari).

Sumber anggaran dari kepemilikan umum dan negara, sebenarnya sudah mencukupi dalam memenuhi urusan rakyat. Tidak diperlukan lagi pajak. Tapi apabila kas negara kosong (dalam keadaan darurat), diperbolehkan negara memungut pajak. Semata-mata agar negara tetap menunaikan pelayanan kebutuhan pokok rakyat. 

Pungutannya pun hanya ditujukan pada warga negara yang kaya dan muslim saja. Bukan rakyat yang tidak mampu. Apabila kas negara sudah membaik dan pulih kembali, kebijakan pajak dihapus dan tidak diberlakukan lagi. Ini menunjukkan bahwa pajak dalam Islam hanya insidental saja, bukan sumber utama anggaran negara. 

Wallahu a’lam bish-shawab.


Oleh: Tri Setiawati, S.Si.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar