Topswara.com -- Dunia sungguh terbalik saat ini. Apa yang dihalalkan oleh Allah dilarang, sebaliknya apa yang diharamkan oleh Allah malah dibiarkan saja. Sebagaimana yang direncanakan oleh Badan Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) yang hendak mengurangi bahkan menghapus sama sekali dispensasi pernikahan anak.
Youth Engagement Focal Point for Gender UNFPA Indonesia Cresti Fitriana memaparkan bahwa berdasarkan data perkawinan anak dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) oleh Badan Pusat Statistik (BPS), satu dari sembilan anak perempuan di Indonesia menikah di usia kurang dari 19 tahun.
Ia juga mengatakan bahwa jumlah perkawinan anak secara total, 50 persen mendapatkan dispensasi perkawinan. Padahal perkawinan anak dapat mengakibatkan resiko lain, misalnya berdampak pada kerentanan perempuan terhadap kekerasan fisik, emosional juga seksual (Republika.co.id 17/03/2024)
Pemerintah sendiri menargetkan angka perkawinan anak turun hingga 8,74 persen. Praktik dispensasi perkawinan dianggap bisa melanggengkan pernikahan anak sejak awal. Berdasarkan UU nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, disebutkan bahwa batas minimal umur perkawinan bagi perempuan disamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi laki-laki, yaitu 19 tahun.
Dalam UU tersebut juga dijelaskan batas usia yang dimaksud dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir perceraian dan mendapatkan keturunan yang sehat dan berkualitas.
Untuk itu, UNFPA terus berupaya untuk berkolaborasi lintas sektor, dan memiliki teori perubahan bahwa ketika seorang perempuan dapat memastikan kesehatan seksual dan reproduksi, dia juga bisa memiliki otonomi untuk memutuskan hal yang penting baginya. Termasuk berkontribusi pada pembangunan, dan tanpa itu, perempuan tidak bisa mencapai kesetaraan gender.
Sarat Nilai Feminis dan Liberalis
Ketakutan terhadap resiko perkawinan anak sungguh tidak beralasan. Adanya kekerasan terhadap perempuan, komplikasi kehamilan, kemiskinan, masalah emosional hingga perceraian tidaklah disebabkan karena perkawinan anak. Buktinya masalah-masalah tersebut juga timbul pada perkawinan dewasa. Jadi masalahnya bukan pada usia, tetapi pada faktor yang lain.
Adanya wacana penghapusan dispensasi perkawinan dalam rangka menghilangkan perkawinan anak juga sarat dengan nilai kebebasan. Perempuan yang menikah dini dianggap tidak punya otonomi lagi untuk mengambil keputusan secara mandiri.
Karena dia bergantung kepada keputusan suami, dan harus bertanggung jawab terhadap pengasuhan anak, jika sudah ada anak. Perempuan menjadi tidak bebas, ia terikat dengan perkawinannya.
Nilai feminis juga erat sekali dengan wacana penghapusan perkawinan anak. Perempuan yang menikah dianggap tidak produktif, tidak bisa berkontribusi pada pembangunan. Akibatnya perempuan tidak bisa mencapai kesetaraan gender
Perkawinan Anak dalam Kacamata Islam
Islam dengan syariatnya yang lengkap mengatur segala aspek kehidupan termasuk perkawinan. Dan syarat menikah salah satunya adalah sudah baligh. Bagi perempuan, haid adalah tanda bahwa dia sudah baligh, sudah menjadi seorang mukallaf (orang yang terbebani hukum).
Secara fisik, haid juga menandakan bahwa seorang perempuan sudah siap fisiknya menjalankan peran fitrahnya sebagai perempuan, yaitu hamil, melahirkan, menyusui. Jadi ketika seorang muslimah sudah baligh, dia sudah bukan anak-anak lagi. Dia sudah dewasa dan sudah harus bisa menentukan mana halal dan haram. Dan ini benar-benar dipersiapkan dan dikawal dalam sistem pendidikan Islam.
Berbeda dengan sistem saat ini yang mengukur anak berdasarkan usia. Karena memang faktanya sekarang, seorang perempuan yang sudah haid, sudah berumur 15 tahun lebih, belum bisa dewasa bahkan sifat dan sikapnya masih kekanak-kanakan. Hal ini karena sistem ini tidak mendidik dan menyiapkan mereka sesuai usianya.
Di satu sisi, mereka digempur dengan tayangan-tayangan, film, gaya hidup yang merangsang naluri mereka. Pacaran, pergaulan bebas hingga berzina. Akibatnya, mereka yang tidak disiapkan mudah terjerumus pada kemaksiatan yang berakibat pada hal-hal yang tidak diinginkan. Maka wajarlah jika kemudian terjadi resiko-resiko sebagaimana disebutkan di atas.
Adanya nilai kebebasan juga akan dihilangkan dalam Islam. Islam tidak mengenal kebebasan dihadapan syariat. Seorang muslim wajib terikat kepada hukum syara apapun posisinya, sebagai seorang muslimah, sebagai seorang anak dari orangtuanya, sebagai seorang istri dari suaminya, sebagai seorang ibu bagi anak-anaknya; maka dia harus senantiasa terikat dengan hukum syarak. Ini tidak berarti seorang muslimah tidak bebas, ini justru dalam rangka menjaga kemuliaan dan martabatnya sebagai seorang muslimah.
Isu gender juga tidak dikenal dalam Islam. Dalam Islam, perempuan dan laki-laki memiliki posisi yang sama, yang membedakan mereka hanyalah ketakwaannya. Mereka punya hak dan kewajiban yang sama dalam beragama.
Laki-laki tidak lebih mulia karena dia seorang kepala rumah tangga. Perempuan juga tidak dihinakan hanya karena dia menjadi ibu dan pengurus rumah tangga. Semua mulia, semua berpahala sesuai porsinya.
Demikianlah sistem Islam mengatur umatnya. Sangat adil dan memuliakan baik laki-laki maupun perempuan. Tidak ada istilahnya perkawinan anak. Asalkan memenuhi syarat dan rukun nikah maka sah. Justru yang melanggar syariat yang akan diberantas: zina, pergaulan bebas dan semacamnya.
Wallahu a'lam bishshawab.
Salma
Aktivis Muslimah
0 Komentar