Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pasca Pemilu, What Next?

Topswara.com -- Publik seolah mengalami dejavu lima tahunan. Antusiasme publik untuk memilih pada pemilu tahun ini tercermin dari meningkatnya jumlah pemilih yang bertambah sekitar 12 juta dibandingkan Pemilu 2019. 

Total DPT yang ditetapkan KPU tahun ini sebanyak 204.807.222 pemilih atau sekitar 75 persen penduduk Indonesia. Padahal sebelum pemilu, sudah banyak anomali yang mengindikasikan bahwa pemilu tidak akan bisa berjalan dengan jujur, adil dan memiliki akuntabilitas yang tinggi. 

Sebut saja bagaimana akrobat politik hingga keluarlah keputusan MK yang memutuskan cawapres 02 yang belum genap 40 tahun akhirnya sah mengikuti kontestasi Pemilu. Logikanya, jika di level paling tinggi saja bisa diatur sedemikian rupa, tentu sangat mudah untuk mengotak-atik yang di level bawahnya. 

Menjelang pelaksanaan pencoblosan pun rakyat sudah diingatkan melalui film dokumenter yang menyajikan berbagai indikasi kecurangan yang mewarnai pemilu yang akan digelar.

Faktanya semua itu tidak menyurutkan euforia rakyat untuk memberikan suaranya. Seolah rakyat mendadak amnesia terhadap praktik kecurangan pemilu sebelumnya yang terstruktur, masif dan sistematis bahkan diwarnai 894 petugas KPPS kehilangan nyawa. 

Saat itu, banyak kalangan yang menilai Pemilu 2019 adalah Pemilu terburuk sepanjang sejarah bangsa Indonesia. Kini, gegap gempita pesta demokrasi yang menelan anggaran fantastis hingga Rp 71,3 triliun ternyata kembali menyisakan rasa ketidakpuasan publik.

Suara ketidakpuasan terhadap prosesi Pemilu 2024 sudah mencuat bahkan sebelum tuntasnya penghitungan suara oleh KPU. Berbagai upaya untuk menggugat pelaksanaan Pemilu 2024 disusul polemik tentang hak angket di DPR. Demo massa menggugat pemilu juga sudah pecah pada 1 Maret 2024 yang lalu. 

Tentu ini menjadi ironi, euforia pesta demokrasi yang berujung konflik, polarisasi rakyat bahkan berpotensi terjadinya perpecahan bangsa. Terlebih jika dikaitkan dengan kualitas pemimpin yang dihasilkan dari proses pemilihan yang diduga kuat sarat dengan berbagai kecurangan bahkan disebut-sebut lebih parah dari Pemilu sebelumnya, tentu tak layak bagi rakyat untuk tenggelam dalam euforia. 

Pemilu dalam Sistem Demokrasi Bukan untuk Kemenangan Islam

Sejatinya pesta demokrasi ini merupakan pertarungan berbagai kepentingan oligarki. Setidaknya bisa dilihat dari suburnya fenomena politik gentong babi. Ditambah temuan Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang mengungkapkan adanya aliran dana dari luar negeri sebesar Rp195 miliar ke 21 rekening bendahara partai politik sepanjang 2022-2023. 

Aliran dana pemilu dari berbagai pihak termasuk asing menunjukkan kontestasi pemilu saat ini berpotensi sarat kepentingan. 

Selain itu PPATK juga menerima laporan dari International Fund Transfer Instruction (IFTI) yang menyebutkan bahwa di antara penerima aliran dana asing terdapat 100 orang dalam daftar calon tetap (DCT). Hal ini dibuktikan dengan temuan PPATK terkait adanya tren peningkatan pembukaan rekening baru menjelang Pemilu 2024. 

Kepala PPATK Ivan yusaana mengatakan bahwa totalnya ada 704 juta rekening baru dibuka, baik oleh korporasi maupun individu. Aliran dana pemilu dari berbagai pihak termasuk asing menunjukkan kontestasi pemilu saat ini berpotensi sarat kepentingan dan intervensi asing.

Jika sudah demikian, sangatlah layak diwaspadai implikasinya, yaitu potensi tergadaikannya kedaulatan negara sehingga pemimpin yang terpilih tidak mengurusi urusan rakyat melainkan melayani kepentingan pihak-pihak yang telah menyuntik modal politik. 

Namun sejatinya kondisi tersebut sudah nyata terjadi dan tengah berlangsung saat ini. Arah pembangunan penguasa saat ini justru semakin memperbesar peran investor asing tanpa memedulikan kepentingan rakyat. 

Sebagai contoh proyek kereta api cepat, proyek Rempang Ecocity dan infrastruktur lainnya, undang-undang (UU) Cilaka, UU Minerba yang semakin liberal dan membuat korporat swasta semakin rakus mengeruk kekayaan negeri ini.

Semua menjadi satu keniscayaan mengingat politik demokrasi berbiaya tinggi. Legalisasi kepemimpinan dalam demokrasi berdasarkan suara mayoritas, karena itu diperlukan dana besar untuk meraup suara. Di sinilah peluang para pemilik modal berpartisipasi dalam mensponsori pemilu, atau bahkan terlibat dalam kontestasi pemilu. 

Setelah mengucurkan dana sedemikian besar, bisa dipastikan mereka akan berusaha mendapatkan keuntungan sebesar mungkin, bukan sekedar balik modal. Akibatnya parpol dalam sistem demokrasi kehilangan idealismenya bahkan rawan dibajak oleh kepentingan pemodal. Maka siapapun yang terpilih nantinya, bisa dipastikan oligarkilah pemenangnya.

Jelaslah sudah, pemilu dalam sistem demokrasi hanya akan melahirkan penguasa oligarki yang kebijakannya tidak akan pernah berpihak kepada kepentingan rakyat. Rakyat kembali menderita setelah memberikan suaranya, mereka hanya dijadikan alat stempel agar kekuasaan yang dikendalikan oligarki legal. 

Sebagaimana pernyataan Prof Fahmi Amhar bahwa “Betul ini sebuah kompetisi yang dirancang tidak untuk kita (kaum Muslimin), ini sebuah kompetisi untuk mengokohkan hegomoni penguasa dunia, ini sebuah kompetisi yang tak mungkin kita menangkan selamanya.”

Demokrasi, Masih Layakkah Diperjuangkan?

Demokrasi terlahir di Eropa sebagai antitesa dari theosentrisme (Tuhan sebagai pusat alam semesta) menjadi antroposentrisme (manusia sebagai pusat alam semesta). Ide ini memberikan kedaulatan berada di tangan rakyat. 

Syeikh Taqiyuddin An Nabhani, mendefinisikan istilah kedaulatan sebagai kewenangan untuk menetapkan standar baik-buruk, benar-salah untuk mengelola aspirasi dan keinginan manusia (rakyat). Presiden Abraham Lincoln mengatakan bahwa demokrasi adalah, “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Tentu konsep ini tidak ada faktanya. 

Pengusung demokrasi mengasumsikan bahwa para pemimpin yang dipilih dan diangkat oleh rakyat, akan selamanya menjadi representasi rakyat untuk menjalankan kedaulatan rakyat. Tugas para pemimpin dianggap semata-mata mengolah aspirasi rakyat. 

Padahal para pemimpin sebagai manusia biasa, tidak terbebas dari kepentingan dan aspirasi. Konsep kedaulatan di tangan rakyat (manusia) pasti akan membawa implikasi pada kecenderungan kuat para penguasa hanya mengolah aspirasi dan keinginan mereka. 

Jadilah oligarki, nepotisme, korupsi dan kejahatan kemanusiaan lainnya tidak bisa dihindarkan dalam sistem demokrasi. 
Cacat demokrasi bahkan sudah lama mendapat kritik tajam dari Plato, seorang filsuf klasik yang banyak dijadikan rujukan tentang sistem pemerintahan dan struktur sosial. 

Beberapa kritik utama Plato terhadap konsep demokrasi dalam buku Republik yaitu adanya kerumitan dan keragaman pendapat yang membawa potensi kebingungan dan keputusan yang impulsif. Plato juga memandang bahwa demokrasi memiliki risiko korupsi yang tinggi. 

Dalam sistem demokrasi, kebebasan berbicara dan berpendapat dapat memungkinkan manipulasi dan penyalahgunaan kekuasaan. 

Tidak hanya itu, menurutnya, demokrasi juga dapat memperkuat perpecahan sosial. Ketidakstabilan dan ketidakharmonisan antara berbagai kelompok masyarakat dapat mengancam integritas negara. 

Dalam Buku 8 Republik, ia bahkan memprediksi bahwa demokrasi tidak mungkin menjadi solusi politik yang stabil. Meskipun menawarkan kebebasan, demokrasi mengabaikan tuntutan tata negara yang tepat. Plato memperkirakan bahwa demokrasi akan menurun menjadi tirani, yang sama sekali kehilangan kebebasan. 

Nyatanya, kritik Plato ini memiliki relevansi yang tak terbantahkan di negeri ini. Cukuplah bukti bahwa demokrasi sangatlah tidak layak untuk dipertahankan, apalagi diperjuangkan oleh kaum Muslimin yang telah diwarisi sistem politik dan pemerintahan yang agung dan dibimbing kebenarannya oleh wahyu.

Saatnya Umat Berjuang demi Tegaknya Sistem Khilafah Islamiah

Semestinya sesuatu yang harus diperjuangkan benar-benar krusial bagi seseorang. Hal yang krusial bagi seseorang tentu berkaitan dengan visi hidupnya. Islam sudah menggariskan bahwa manusia diciptakan oleh Allah untuk beribadah sepanjang hidupnya, dan kelak seluruh amalnya akan dihisab. Sehingga seluruh aktivitasnya harus berorientasi untuk mencari ridha Allah termasuk dalam berpolitik. 

Sementara inti dari demokrasi adalah mengganti sistem bernegara dari hukum yang bersumber dari Tuhan, beralih menjadi hukum rakyat yang diwakilkan ke badan legislatif. Dalam konteks negeri ini, hukum syariat yang semestinya mengatur negeri ini, dicampakkan dengan beralih menerapkan aturan yang dibuat oleh lembaga legislatif. 

Padahal, Allah sudah dengan gamblang menyatakan dalam beberapa firman-Nya bahwa hak membuat hukum hanyalah milik Allah semata.

Maka sebenarnya sangat tidak layak ketika seorang Muslim mendukung apalagi berkontribusi menjaga keberlanjutan roda sistem demokrasi yang bertentangan dengan Islam. Pemilu dalam sistem demokrasi untuk memilih anggota legislatif dan presiden, merupakan proses politik yang diselenggarakan untuk mengokohkan sistem politik sekuler.

Maka pemilu itu jelas tidak sesuai bahkan bertentangan dengan Islam. Sebab, Islam mewajibkan tegaknya khilafah yang menerapkan syariah secara kaffah dan menyatukan umat di seluruh dunia.
 
Bukan itu saja, secara rasional juga kita membutuhkan kekuatan politik yang mumpuni untuk menghadapi oligarki yang mencengkeram negeri ini, baik dari dalam negeri maupun kekuatan oligarki global. Mustahil memenangkan pertarungan dengan mereka ketika umat tidak memiliki kesatuan politik, yakni khilafah.

Saatnya umat berpikir cerdas untuk perubahan yang hakiki. Berhenti mencoba-coba berbagai model sistem yang berbasis kepada pemikiran sekuler. Sebagaimana ungkapan Albert Einstein “Adalah kebodohan jika kita melakukan suatu hak yang sama berulang kali dan menunggu hasil yang berbeda”

Dalam pandangan Islam, kekuasaan digunakan untuk menjalankan hukum yang ditetapkan oleh pihak yang memiliki kedaulatan hakiki, yaitu Allah SWT. Jaminan terhadap keadilan bagi seluruh manusia justru terletak pada keberadaan kedaulatan di tangan Allah yaitu hukum Islam sebagai sumber pengambilan kebijakan publik. 

Sementara para pemimpin adalah representasi rakyat, dengan tugas penting menjalankan politik dalam negeri berupa menerapkan syari’ah kaffah kepada semua warga negara. Sekaligus menjalankan poltik luar negeri berupa menyebarluarkan Islam ke seluruh penjuru dunia, untuk keberkahan manusia beserta alam semesta, dunia, dan akhirat.

Suksesi kepemimpinan dalam khilafah pun berjalan dengan sederhana, efektif, efisien dan hemat. Tentu karena kesejahteraan dan kepentingan rakyat yang diprioritaskan demi meraih keridhaan Allah semata, bukan tahta penguasa yang diperebutkan dengan segala cara.[]


Oleh: dr. Alik Munfaidah
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar