Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Mental Illness Caleg Gagal

Topswara.com -- Perhelatan pesta demokrasi menyisakan residu pahit bagi masyarakat. Residu itu bersumber dari aksi yang dilakukan oleh para caleg yang gagal mendulang suara pada kontestasi pemilu 14 Februari tadi. Aksi yang meresahkan masyarakat.

Meskipun perhitungan suara masih belum selesai dan KPU pun mengumumkan secara resmi hasil dari pemungutan suara. Namun hasil perhitungan suara di TPS-TPS sudah bisa terlihat sejak dini. Hasil suara yang tidak sesuai dengan harapan, membuat para caleg dan timses merasa depresi dan stres. 

Di Pacitan, seorang caleg mengaku depresi dan tak berani pulang ke rumah karena memiliki hutang 1 M untuk membiayai kampanyenya (detik.com, 24/02/2024). Di Garut, sebuah ruas jalan di kawasan kampung Ciarog ditutup oleh caleg yang tak puas pada perolehan suaranya di lokasi itu (detik.com, 28/02/2024). 

Setingkat lebih parah. Di Subang, seorang caleg membongkar jalan beton yang sebelumnya dia bangun menggunakan dana aspirasi saat masih duduk sebagai anggota dewan . Tak cukup sampai disitu, aksinya berlanjut dengan naik ke menara masjid dan menyalakan petasan. Akibatnya, seorang nenek meninggal karena terkejut. 

Wajib Menang

Sungguh miris melihat tingkah laku para caleg dan timses gagal. Mentalnya hanya siap menang. Kenikmatan hidup saat menjabat sebagai anggota dewan membuatnya tak ada pilihan selain memenangkan kontestasi. Gaji besar, plus tunjangan dan fasilitas seakan menari-nari di pelupuk mata.

Tidak ada sejarahnya anggota dewan yang kapok. Hingga jika habis masa jabatannya, ia pun akan segera turut mendaftar menjadi caleg. Puas di tingkat kota/kabupaten, lanjut ke tingkat provinsi hingga pusat. Kursi empuk anggota dewan plus berbagai kemudahan akses mendapatkan kunci-kunci gudang uang, padahal kerjanya tak seberapa, membuat para caleg hanya siap menang.

Suara Terbanyak versus Modal Terbanyak

Fakta pemilu hari ini yang mendapat suara terbanyak sebagai pemenang. Sementara, rakyat mana kenal dengan mereka yang hanya tidur di kursi empuk anggota dewan. Alhasil, untuk menyapa rakyat yang tak mengenal mereka, uang menjadi sarana perkenalan caleg ke rakyat. 

Konon, caleg gagal ini merasa sudah mengeluarkan duit yang sangat besar hingga yakin akan mendapatkan suara yang sebanding dengan modal yang dikeluarkan. Di sisi lain, besar kemungkinan, caleg lain mengeluarkan duit melebihi dari yang dia keluarkan. Atau bisa jadi, caleg lain sudah punya "nama" di masyarakat hingga bisa mendulang suara lebih banyak meskipun duitnya lebih sedikit.  

Tetaplah berbanding lurus antara kemenangan pemilu dengan modal yang dikeluarkan. Entah berupa uang ataupun ketenaran. Kemenkeu mengungkap besaran modal menjadi caleg. Untuk DPRD, mulai dari Rp200 juta, faktanya ada yang sampai Rp1 milyar. Sedangkan untuk DPR, mulai dari Rp1 milyar, bahkan ada yang Rp5 milyar (cnnindonesia, 26/09/2023). Fantastis.

Sistem Demokrasi Biangnya

Mental rapuh yang hanya siap menang adalah hasil didikan sistem sekuler demokrasi yang materialistik. Ukuran kebahagiaan distandarkan pada banyaknya harta dan tingginya pangkat serta kedudukan. 

Sehingga akan mengerahkan segala kemampuan untuk mencapainya meskipun harus membinasakan diri. Parahnya, ketika keinginan tidak tercapai, pribadi miskin iman itu pun gampang stres dan depresi. Tersebab tidak ada agama sebagai pegangan hidupnya. 

Di sisi lain. Pemilu ala sistem demokrasi memberikan kemenangan pada suara teebanyak. Tak peduli kompetensi yang dimiliki oleh para kontestan. Yang penting punya modal, baik harta maupun ketenaran yang bisa menjual dirinya agar dipilih oleh rakyat. Modal besar inilah yang akan memberi jalan para oligarki ikut campur mengurus negeri.

Alhasil, mendapatkan calon pemimpin yang peduli rakyat amatlah susah. Sebab para kontestan harus mengembalikan modal dalam bentuk peraturan dan kebijakan yang menguntungkan oligarki dan menyengsarakan rakyat. Cukuplah kasus Rempang menjadi potret buram kebijakan penguasa di sistem demokrasi. 

Islam Melahirkan Pemimpin Sejati

Pemimpin sejati takkan lahir dari sistem yang rusak seperti demokrasi. Pemimpin yang peduli pada rakyat hanya lahir di sistem Islam kaffah. Sebab Islam telah meletakkan jabatan kekuasaan terkoneksi dengan akhirat. 

Rasulullah SAW. bersabda: “Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR. al-Bukhari).

Islam menjadikan baiat sebagai metode baku pengangkatan khalifah, bukan suara terbanyak. Pemilu di sistem Islam hanyalah salah satu cara memilih pemimpin. Tak jarang hanya dengan meminta pendapat dari perwakilan umat. 

Ajang pemilihan khalifah tidak perlu pakai drama pesta layaknya sistem demokrasi. Sehingga tak memerlukan biaya. Dan karena penentuan pemenangnya bukan jumlah suara, maka tak perlu membeli suara yang membuat si calon mengeluarkan modal banyak.

Adapun kriteria pemimpin di sistem Islam adalah Muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, mampu melaksanakan amanat kepimpinan yaitu mengurus rakyat dengan aturan Allah SWT. 

Beratnya pertanggungjawaban akhirat membuat sepi pendaftaran calon pemimpin, padahal banyak yang layak. Sebagaimana masa Khulafaur Rasyidin, beralihnya kepemimpinan dari Khalifah Umar bin Khattab ke Ustman bin Affan. Ada banyak sahabat Rasul SAW yang layak, namun tidak bernafsu mencalonkan diri.

Tentang majelis umat yang dianalogikan dengan dewan perwakilan rakyat hari ini. Sesungguhnya sangat jauh berbeda dan bukan analogi yang benar. Majelis umat di sistem Islam kaffah hanyalah perwakilan umat yang tugasnya menyampaikan aspirasi umat. Tidak ada fungsi legislasi dan membuat anggaran, dua fungsi yang menjadi lahan basah para anggota legislatif. 

Menjadi anggota majelis umat bukanlah posisi yang "wah" dan berlimpah harta. Bukan hanya anggota majelis umat, Islam telah memberikan hak bagi kaum muslimin untuk memberikan pendapat dan aspirasi kepada pemimpin, baik langsung maupun tidak langsung. Islam juga mewajibkan kaum muslimin untuk mengoreksi penguasanya. []


Oleh: Mahrita Julia Hapsari
(Aktivis Muslimah Banua)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar