Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kepemimpinan Wanita dalam Islam

Topswara.com -- Islam datang untuk memuliakan perempuan dan memberikan peran penting dalam kehidupan. Sebagai manusia, perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama, yang paling bertakwalah yang paling mulia dihadapan Allah SWT sebagaimana firmanNya dalam Al-Qur'an surah Al-Hujurat ayat 13,

Ø¥ِÙ†َّ Ø£َÙƒْرَÙ…َÙƒُÙ…ْ عِندَ ٱللَّÙ‡ِ Ø£َتْÙ‚َÙ‰ٰÙƒُÙ…ْ ۚ Ø¥ِÙ†َّ ٱللَّÙ‡َ عَÙ„ِيمٌ Ø®َبِيرٌ

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Sebagai perempuan, Islam memberikan peran sesuai dengan kodratnya, yaitu sebagai istri, ibu generasi dan pengatur rumah. Islam menjadikan laki-laki sebagai pemimpin atas manusia termasuk perempuan dan melarang perempuan menjadi pemimpin dalam urusan kekuasaan sebagaimana sabda Rasulullah SAW ketika beliau mendengar bahwa rakyat Persia menunjuk Putri Kisra sebagai Ratu mereka. Nabi SAW bersabda,

"Tidak akan pernah beruntung keadaan suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya pada seorang perempuan." (HR. Bukhari)

Dalam posisi sebagai al-hukam (penguasa), wanita tidak dibolehkan menduduki jabatan tertentu, antara lain khalifah (kepala negara khilafah), muawin (pembantu khalifah), wali (gubernur), qadi qudat (pemimpin para qadhi /hakim), qadhi mazhalim (hakim yang mempunyai kewajiban menghilangkan kezaliman termasuk memecat khalifah jika melakukan kezaliman kepada rakyat atau menyalahi Al-Qur'an dan Al-Hadis).

Di sepanjang peradaban Islam pun, tidak ada satupun perempuan yang menduduki jabatan-jabatan tersebut. Wanita dibolehkan menjadi pegawai dan pimpinan swasta maupun pemerintahan yang tidak termasuk wilayah Al-Amri (wilayah al-hukm), antara lain sebagai kepala baitul mal, anggota Majelis Wilayah, anggota Majelis Umat, qadhi khushumat (hakim yang menyelesaikan perselisihan antar rakyat), qadhi hisbah (hakim yang langsung menyelesaikan pengurangan atas hak-hak rakyat).

Pada saat Umar bin Khattab ra. menjadi khalifah beliau memberikan kepercayaan kepada Ummu Sulaiman atau Asy-Syifa binti Abdullah untuk menjadi qadhi hisbah di Madinah yang bertugas mengawasi masalah pasar. Tugasnya sebagai qadhi hisbah mengharuskan dia untuk menasehati siapapun, apakah penjual atau pembeli yang melanggar peraturan jual beli atau menyimpang dari hukum syara, memberikan tata tertib serta memberikan hukuman secara langsung di tempat kejadian.

Tugas dan fungsi qadhi hisbah adalah menegakkan kemakrufan dan mencegah kemungkaran. Dia dapat mencegah kemungkaran setelah dia mengetahuinya, di manapun tanpa memerlukan sidang mahkamah. Dia dapat dilengkapi dengan polisi yang bertugas melaksanakan atas keputusan dan perintahnya. Keputusannya bersifat mengikat dan mesti dilaksanakan ketika itu juga.

Nabi SAW berkonsultasi dan menerima saran dari istri beliau Ummu Salamah ketika menghadapi krisis politik yang serius dalam perjanjian Hudaibiyah.
Umar bin Khattab ra. khalifah Islam yang kedua, senantiasa mengumpulkan kaum Muslim dan Muslimah di masjid dan meminta pendapat mereka tentang berbagai hal. Beliau juga akan berkonsultasi dengan Asy-Syifa binti Abdullah dalam berbagai masalah politik karena kecerdasan dan wawasannya. Sehingga beliau seringkali memilih untuk mengambil pendapatnya dibandingkan yang lain.

Dibolehkan juga bagi wanita menjadi kepala departemen kesehatan, departemen pendidikan, departemen perindustrian, departemen perdagangan, sektor perguruan tinggi, kepala rumah sakit, direktur perusahaan dan lain-lain. Meskipun demikian, Islam memberikan ruang bagi perempuan untuk berkiprah dalam berbagai bidang kehidupan manusia tentu saja sesuai dengan tuntunan syariah Islam.

Sayidah Rabiah Khatun binti Ayub, saudari dari Shalahuddin mendirikan sekolah Shahabiyah untuk mengajarkan mazhab Hambali di puncak gunung Fasiyun di Damaskus. Fatimah Al Fihri yang berkontribusi besar bagi pendidikan di masa Khilafah Abbasiyah, yakni membangun sebuah masjid dan madrasah untuk masyarakat di kota Fes, Maroko di zaman kekhilafahan Abbasiyah.

Walaupun perempuan tidak boleh menjadi al-hukam (penguasa), hal ini sama sekali tidak berdampak pada kemampuannya untuk terlibat sepenuhnya dalam perpolitan di tengah masyarakatnya. Lebih jauh, Islam tidak memandang menjadi penguasa sebagai hak atau hak istimewa, tetapi lebih merupakan tanggung jawab besar yang meniscayakan pertanggungjawaban yang besar di akhirat.

Tanpa posisi politik tertinggi dalam hierarki masyarakat, Muslimah pun masih mampu terus berkontribusi untuk umat sesuai dengan syariat Allah SWT dan yang paling utama, ruang ini menghantarkannya mendapatkan keridhaan Allah Ta'ala. Sungguh berbeda dengan kesetaraan gender yang diagung-agungkan oleh Barat yang justru menghantarkan kepada kehinaan dan kehancuran dunia dan akhirat. []


Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar