Topswara.com -- “Luber Jurdil” dua kata yang menjadi asas penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tampaknya menggambarkan kesempurnaan dari demokrasi itu sendiri.
Menurut Mujib, pasal 3, Undang-undang tersebut menyebutkan, ada 11 prinsip penyelenggaraan pemilu, antara lain mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, professional, akuntabel, efektif, dan efisien.
Namun, apakah keseluruhan prinsip tersebut masih dipegang teguh oleh para penyelenggaranya? Apakan kesempurnaan demokrasi masih tampak?
Bagaikan aur di atas bukit begitu kira-kira pribahasa yang bisa menggambarkan bahwa carut marut nya penyelenggaraan pemilu merupakan suatu hal yang cukup sukar untuk ditutupi atau dirahasiakan. Prinsip penyelenggaraan pemilu tidak lagi menjadi landasan dalam penyelenggaraannya.
Bahkan akibat dari carut marutnya sistem demokrasi tersebut menghadirkan berbagai fenomena yang menggegerkan.
Dikutip dari tvonenews.com dua orang timses salah satu caleg di Jawa Barat menyengajakan diri untuk datang ke padepokan Al-Busthomi atau yang biasa di kenal padepokan Anti Galau untuk menenangkan diri akibat kegagalan mereka mengantarkan caleg jagoannya meraih kursi, timses tersebut diduga mengalami depresi hingga menarik kembali serangan fajar yang telah diberikan. (18/2/2024).
Bukan hanya itu, salah seorang caleg yang gagal di Subang membongkar jalan yang sebelumnya telah ia bangun dan meledakkan petasan jumbo di masjid sekitaran wilayah yang perolehan suaranya anjlok aksi teror dilakukan pada siang dan malam hari tersebutpun memakan korban. Korban berusia 60 tahun meninggal dunia akibat serangan jantung. ( okenews.com /25/2/2024).
Kedua fakta tersebut adalah fenomena memilukan yang terjadi pada pemilu 2024, dalam mendalami fakta tersebut, pemerintah harus mampu mendudukkan persoalan yang menjadi penyebab lemahnya kondisi mental para caleg atau tim suksesnya.
Menelisik dari prinsip pemilu, aksi serangan fajar yang dilakukan oleh para caleg menunjukkan kecacatan yang amat fatal. Kejujuran yang digaung-gaungkan menjadi samar dan mirisnya hal tersebut telah menjdi rahasia umum. Baik dari pemerintah penegak hukum maupun para caleg sudah seharusnya menjaga asas pemilu. Akibat dari serangan fajar yang dilakukan membuat masyarakat menjadi gamang dalam menentukan pemimpin.
Bukan hanya itu, aksi tersebut juga menampilkan ambisi para calon yang sangat menginginkan kekuasaan sehingga menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan.
Demokrasi yang katanya menjunjung tinggi asas yang tercantum dalam undang-undang nyatanya dinodai hanya demi keserakahan. Akibatnya, para caleg yang mendaftarkan diri menjadi bakal penguasa rela mengeluarkan modal yang besar demi merealisasikan keinginannya. Ini menjadi ajang perlombaan bagi para calon untuk mengeluarkan seluruh harta yang dipunya untuk membeli suara rakyat.
Tentu saja pengorbanan tersebut dilakukan tidak dengan cuma-cuma, karena para caleg sadar dan paham akan keuntungan yang didapatkan saat mereka bisa menduduki jabatan yang mereka inginkan.
Disamping pengorbanan tersebut, sayangnya caleg dan para timsesnya hanya mempersiapkan mental kemenangan sehingga ketika kenyataan yang didapatkan tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya, para caleg dan timsesnya dengan mudah menalami stres dan depresi.
Hal ini menggambarkan bobroknya sistem dalam menjaga ketertiban dalam keberlangsungan pemilu. Bagaimana mungkin tujuan pemilu mampu didapatkan sedangkan sejak awal dilaksanakannya pemilihan telah penuh dengan kecurangan. Ini menandakan sistem demokrasi tidak relevan lagi dijadikan sebagai sistem pengatur kenegaraan.
Model pemilu yang dilaksanakan teramat jauh dari harapan dan tujuan negara. Sistem pemerintahan ala kapitalisme tidak akan pernah lepas dari keuntungan. Dalan sisten kapitalisme, penguasa adalah sosok paling berkuasa yang bebas melakukan apapun demi meraup keuntungan. Siapapun pemimpin yang menjabat hanya dijadikan sebagai boneka yang dimainkan oleh para penguasa ynag sebenarnya.
Dengan modal pemilu yang begitu tinggi, tidak memutus kemungkinan bahwa penguasa akan mengembalikan modal yang telah dikeluarkannya, akibatnya munculah aksi korupsi yang kian menjamur di negeri ini. Berbeda dengan sistem Islam. Islam memandang jabatan penguasa adalah mandat dari Allah, yang mana amanah tersebut akan penuh dengan taggung jawab yang secara langsung berhadapan dengan Allah.
Oleh sebab itu, dalam Islam, penguasa adalah pelayan bagi rakyat. Menjamin kehidupan rakyatnya tanpa mengharapkan keuntungan sedkitpun. Menjalankan amanah sesuai dengan hukum syarak.
Pemilihan yang ditetapkan Islam juga jauh lebih sempurna, sederhana, praktis dan bebas dari kecurangan, karena hanya dilakukan dalam hitungan hari dan dipilih berdasarkan hukum Allah, sehingga tidak membuka peluang bagi siapapun untuk melakukan kecurangan.
Sistem pemilihanpun dijalankan oleh orang-orang berkompeten, memiliki kepribadian Islam sebagai modal untuk tetap taat terhadap aturan-aturan Allah. Standar yang digunakan dalam memilih pemimpin adalah bagaimana kepantasan seseorang yang akan dijadikan pemimpin, tolak ukurnya tetap berpegang teguh pada hukum Allah serta hanya mengharapkan keridhaan dari Allah.
Oleh: Olga Febrina
Pegiat Literasi dan Aktivis Dakwah
0 Komentar