Topswara.com -- Ramadhan segera tiba. Tinggal menghitung hari bulan yang kita rindukan kembali menemui kita. Kaum muslim menyambutnya dengan gembira. Namun tidak dengan masyarakat Palestina yang sampai hari ini masih dikangkangi penjajah zionis.
Mereka menyambut Ramadhan dengan harap-harap cemas. Apakah Ramadhan yang akan menemui mereka lebih dahulu atau ajal. Bagaimana tidak, sampai hari ini sejak sekitar 150 an hari yang lalu agresi Zionis ke Gaza, setidaknya ada 30.000 orang tewas dan sekitar 71.500 luka-luka (muslimahmedianews.net).
Kekejaman “bangsa kera” ini tentu saja tidak sampai di situ, mereka juga membantai orang-orang kelaparan yang sedang mengambil bantuan makanan (29/02/24). Setelah sedemikian mengerikan kekejaman yang ditampakkan oleh “Negara Yahudi” tersebut, nyatanya tidak ada penguasa muslim yang melakukan aksi nyata.
Yang lebih memerihkan hati kita, negara tetangga yang berbatasan langsung dengan Palestina, diam seperti tidak melihat dan mendengar apa-apa. Begitu juga dengan negara-negara Arab dan negara muslim lainnya. Sebagian hanya mengecam sembari terus menjalin kerjasama dengan negara zionis tersebut.
Lalu pertanyaannya, mengapa setelah demikian terang kekejian, kekejaman, dan ketidak manusiawian yang dilakukan oleh penjajah zionis tersebut, tetapi penguasa muslim hanya diam, bergeming tidak melakukan apa-apa? Sebenarnya ada banyak faktor yang menyebabkan hal tesebut terjadi.
Pertama, karna zionis didukung oleh negara-negara besar seperti Amerika, Inggris, dan negara eropa lainnya. Tidak sedikit negara barat bahkan negara timur yang masih berdiri bersama zionis.
Menutup mata atas apa yang terjadi, atau berlindung dibalik frasa “israel sedang membela diri”. Dan mereka mendadak lupa bahwa yang memulai konflik ini adalah institusi zionis ketika pada 1948 mereka bermigrasi secara besar-besaran ke kawasan Palestina dan menjarah tanah serta menjajahnya dengan mendirikan negara ilegal di sana. Tentu saja dibidani oleh Inggris, lalu dirawat oleh Amerika.
Kedua, para penguasa kaum muslim dibutakan oleh paham nasionalisme dan nation-state (negara bangsa). Setelah perang dunia pertama, bisa dibilang semua negara di dunia berbentuk negara bangsa. Termasuk negeri-negeri muslim yang awalnya bersatu dalam sebuah negara bernama khilafah.
Setelah khilafah diruntuhkan oleh antek barat pada 1924, semua negeri muslim yang awalnya satu akhirnya dikerat-kerat menjadi negara-negara kecil. Dan ditanamkan mitos nasionalisme, batasan khayali yang sengaja disebarkan barat kepada dunia Islam untuk memecah belah mereka.
Pada akhirnya kita hanya memikirkan nasib sesama bangsa kita sendiri. Persoalan Palestina hanya dianggap sebagai permasalahan negara lain atau bangsa lain. Sangat miris.
Ketiga, penguasa-penguasa yang bertakhta di negeri-negeri muslim adalah antek barat. Mereka bergerak bila diperintah atau minimal diizinkan tuannya (barat). Dalam permasalahan Palestina, jika ada yang berani-berani turun tangan dan ikut campur tentu akan dilibas habis oleh negara-negara barat dengan dalih bahwa negara tersebut sudah ikut campur dengan urusan dalam negeri negara lain.
Permasalahan Palestina memang seperti tidak ada ujungnya. Zionis tersebut dimitoskan sebagai negara yang sangat kuat sehingga tidak ada yang berani melawannya. Padahal hal tersebut terjadi karena penguasa-penguasa muslim dan negara zionis sendiri sama-sama kaki tangan barat. Lalu apa jalan keluar yang bisa kita tempuh?
Jika melihat hanya pada fakta yang ada, kita seolah tidak memiliki harapan apapun. Kaum muslim Palestina seolah memang dilahirkan untuk menderita di tangan penjajah zionis. Sebagian ada yang masih percaya kepada PBB atau berharap pada Mahkamah Internasional. Padahal setelah ditetapkan bersalah pun, zionis laknatullah itu tetap bergeming.
Lalu, apa yang harusnya dilakukan kaum muslim? Setidaknya ada beberapa langkah taktis dan konkret yang bisa diambil oleh kaum muslim.
Pertama, tidak lagi berharap pada PBB maupun Mahkamah Internasional. Karena keduanya adalah kepanjangan tangan dari negara barat. Pun misalnya jika sudah disetujui oleh PBB untuk memberikan sanksi kepada zionis, barat dengan mudah membatalkannya dengan hak vetonya. Dan juga keputusan dari Mahkamah Internasional tidak membuat zionis gentar apalagi takut.
Kedua, tidak berharap pada two-state solution. Solusi dua negara adalah solusi yang absurd yang ditawarkan oleh dunia barat dan sekelurisme. Bagaiamana mungkin kita membagi rumah kita dengan perampok yang merampas harta kita. Selain sangat tidak masuk akal, solusi ini sebenarnya juga ditolak oleh negara zionis sendiri.
Ketiga, persatuan kaum muslim dalam satu institusi atau satu negara. Persatuan kaum muslim tanpa institusi penyatu adalah ilusi semata. Ilusi ini sudah nyata-nyata gagal pada hari ini. Kita bisa lihat apa yang bisa dilakukan oleh Organisai Kerja Sama Islam (OKI). Hanya kecaman demi kecaman yang bisa dilayangkan oleh organisasi mandul itu. Sedang jika menginginkan persatuan yang nyata, kita mestilah berada dibawah satu instusi. Satu negara. Satu daulah. Ya, itulah negara khilafah.
Negara yang menerapkan syariat Islam secara menyeluruh (kaffah), serta mendakwahkan Islam ke seluruh dunia. Dan juga tentu saja negara ini ada untuk melindungi nyawa, darah, kehormatan, serta harta kaum muslim dari para penjajah yang rakus.
Tanah Palestina adalah tanah kaum muslim yang mesti dijaga oleh khilafah. Dan kaum muslim Palestina adalah bagian dari kaum muslim keseluruhan yang mesti dijaga kehormatan, harta, darah, dan bahkan nyawanya.
Khilafah akan menyerukan jihad untuk membela Palestina dan membebaskannya dari penjajahan. Terlebih lagi, penjajah zionis tersebut dijaga dan diasuh oleh negara adidaya, maka yang bisa menghadapinya juga haruslah negara yang setara. Negara adidaya pula. Yakni khilafah yang akan menanungi seleuruh negeri kaum muslim. Dengan begitu baru Palestina bisa dibebaskan dari penjajahan. Khilafah dan jihad adalah solusi satu-satunya untuk Palestina.
Oleh: Muri Andiko
Aktivis Dakwah
0 Komentar