Topswara.com -- Sungguh mengerikan, paparan data-data, bukti-bukti dan analisa yang disajikan akun resmi YouTube Dirty Vote. Praktik adanya “suara kotor” di film dokumenter Dirty Vote, sangat nyata “menguliti” kecurangan rezim “konoha” pada pemilu tahun ini.
Melihat banyaknya kecurangan dan trik kotor pemilu saat ini, membuat mata kita terbelalak, menyadari bahwa rezim negara konoha adalah rezim rusak dan penuh keculasan didalamnya.
Pertanyaannya, mungkinkah sekarang ini saat yang tepat untuk ganti rezim konoha? dan cukupkah dengan hanya ganti rezim, kemudian kita dapat menghilangkan semua bentuk kerusakan dan keculasan yang terjadi saat ini?
Saudaraku, pembahasan ini sangat penting bagi kita, karena akan menentukan masa depan anak cucu kita dan masa depan bangsa kita, apakah nanti anak cucu dan bangsa kita menjadi bangsa penuh kemakmuran atau sebaliknya bangsa ini sesungguhnya sedang menuju kehancuran.
Tanda-tanda bangsa konoha sedang menuju kehancuran, secara nyata dan tegas diuraikan dalam film Dirty Vote dengan adanya strategi sistematis dan culas yang dilakukan oleh pimpinan tertinggi negara “konoha” agar dapat memenangkan suara (Dirty Vote) paslon presiden dan wakil presiden pilihannya.
Agar lebih jelas, mari kita urai beberapa point diantaranya:
Pertama, pimpinan negeri konoha sengaja memecah Papua menjadi 6 Provinsi . Papua salah satu kantong suara terbesar partai mereka, jadi tujuan sebenarnya agar suara yang besar tadi tidak hanya menang di 2 provinsi tetapi merata di 6 provinsi (menit 13:47).
Kedua, penunjukan 20 PJ Gubernur dan 82 PJ Walikota/Bupati presiden konoha, melanggar keputusan MK dalam hal penunjukan kepala daerah, dimana MK mensyaratkan keputusan dilakukan secara terbuka dan fair menerima aspirasi pemerintah daerah dan aspirasi masyarakat daerah, ternyata hal ini tidak dilakukan.
Bahkan Komisi Informasi Pusat dan Ombudsman RI menyatakan penunjukan pejabat itu “mal administrasi” atau tidak sesuai prosedur penunjukan pejabat (menit 16:46).
Ketiga, adanya relasi/ kedekatan antara presiden konoha dengan PJ Gubenur yang ditunjuk pada poin 2, misalnya PJ Gubernur Jawa Barat pernah menjabat sebagai Kepala Biro Kesekretariatan presiden tahun 2016 dan Deputi Kesekretariatan Presiden tahun 2021. Demikian juga PJ Gubernur Jakarta pernah menjabat sebagai Kepala Kesekretariatan presiden tahun 2017 (menit 19:45).
Keempat, upaya mendapatkan banyak suara (Dirty Vote) tidak cukup dari level pejabat atas, namun merambah dikalangan bawah yakni di level kepala desa. Diuraikan di film Dirty Vote ada politisasi kasus penyelewengan dana desa (menit 28:41) dan juga adanya tekanan kepada kepala desa untuk mendukung paslon tertentu sesuai pilihan presiden konoha (menit 30:42).
Kelima, yang paling mencolok adalah kontroversi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang pada akhirnya meloloskan pencalonan cawapres (keponakan Ketua MK) meskipun sebenarnya secara usia dan pengalaman seharusnya tidak lolos.
Jika kita melihat, mencermati dan menganalisis uraian di atas, kiranya sudah sangat jelas memang terjadi upaya sistematis dan terencana bahwa rezim negara konoha melakukan kecurangan agar bisa mendapatkan banyak suara (Dirty Vote) dengan “menghalalkan” segala cara.
Hal ini selaras dengan yang sebelumnya penulis sampaikan, sesungguhnya bangsa ini sedang menuju kepada kehancuran dikarenakan pimpinan tertinggi pemegang amanat rakyat sudah tidak lagi amanah alias berkhianat terhadap rakyat.
Pemimpin yang tidak amanah alias berkhianat memang layak diganti. Namun pertanyaannya kemudian, apakah benar dengan mengganti pemimpin yang saat ini berkuasa atau pergantian rezim penguasa saja dapat membuat negara konoha menjadi lebih baik.
Nyatanya terbukti hampir 79 tahun negara ini merdeka masih banyak problem yang tidak terselesaikan. Hutang negara kian menumpuk yakni sebesar Rp 8.041 triliun per November 2023 (cnbcindonesia.com, 10/01/2024), potensi tambang Indonesia dikuasai negara asing (pinterpolitik.com, 23/02/2020).
Belum lagi problem penduduk miskin yang angkanya mencapai 25,9 juta per Maret 2023 (kompas.id, 15/01/2024). Disisi lain yang membuat miris adalah angka kriminalitas di tahun 2023 naik 4,3 persen dibandingkan tahun 2022 jumlahnya sebanyak 288.472 perkara (news.republika.co.id, 27/12/2023).
Data di atas menunjukkan bahwa pergantian rezim/penguasa dari setelah masa kemerdekaan hingga sekarang ternyata tidak memiliki pengaruh besar terhadap kemakmuran dan keamanan rakyat/masyarakat negeri ini.
Sehingga ini artinya akar masalahnya bukan terletak pada penguasa/rezim, namun akar masalah terletak pada sistem pengelolaan negara atau sistem pemerintahan negara yang tidak sesuai dengan aturan Islam.
Lantas apa dan bagaimana bukti jika negara dikelola dengan aturan atau sistem Islam akan tercapai kemakmuran dan keamanan masyarakat. Coba kita tengok di zaman Rasulullah SAW, selama kurang lebih 10 tahun Beliau SAW menjadi pemimpin umat yang menerapkan sistem/aturan Islam, terhitung hanya ada 4 kasus korupsi (www.nu.or.id ) dan 4 kasus hukum rajam diterapkan (bincangsyariah.com).
Contoh lain, saat kaum muslimin dipimpin Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Bani Ummayyah selama 2,5 tahun, kondisi masyarakat/rakyat kala itu makmur (khazanah.republika.co.id) bahkan dikatakan salah satu kebijakan ekonomi khalifah yang luarbiasa kala itu adalah dihapuskannya sistem perpajakan (islamdigest.republika.co.id).
Dua contoh di atas yakni zaman Rasulullah SAW dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz sudah cukup membuktikan, bahwa sebenarnya kita membutuhkan perubahan atau pergantian sistem, yakni dari sistem kapitalistik sekuler menjadi sistem Islam dimana kehidupan bermasyarakat dan bernegara semuanya di atur oleh aturan Islam yang berasal dari Allah Ta’ala, Zat Yang Maha Tahu, Maha Mengatur dan Maha Segala-Nya. Allaahu Akbar !
Oleh: Yasirli Amri
Aktivis Dakwah
0 Komentar