Topswara.com -- Pesta demokrasi 14 Februari 2024 lalu telah selesai dilaksanakan. Namun belum resmi KPU mengumumkan hasil secara resmi, perolehan suara caleg sudah bisa dilihat dari hasil real count sementara. Berbagai persoalan pun mulai bermunculan.
Beberapa kejadian miris dan memilukan yang dilakukan dan menimpa para caleg serta tim suksesnya pasca pemilu menjadi sorotan. Dikutip dari tvOne news, 18-2-2024, dua orang tim sukses (timses) asal Kabupaten Cirebon Jawa Barat mengambil kembali "amplop" yang sudah dibagikan kepada masyarakat.
Kejadian serupa juga terjadi di Kecamatan Sempu Banyuwangi, Jawa Timur, seorang caleg mengambil kembali bantuan berupa paving blok kepada warga. (Kompas, 19-2-2024).
Sama halnya kejadian di desa Tambakjati, kecamatan Patok Beusi, Subang, Jawa Barat seorang caleg membongkar jalan yang sudah ia bangun, bahkan mirisnya dia bersama pendukungnya menyalakan petasan yang berujung adanya korban dari warga yang meninggal akibat serangan jantung. (Okezone, 25-2-2024).
Kejadian miris berikutnya terjadi pada seorang timses caleg yang gagal mengantarkan calegnya meraih kursi di Kecamatan Pangkalan Kuras, kabupaten Pelalawan Riau yang melakukan aksi nekat gantung diri di pohon rambutan (Media Indonesia, 19-2-2024).
Banyaknya fenomena tersebut menggambarkan betapa lemahnya kondisi mental para caleg dan timsesnya yang hanya siap menang namun tidak siap kalah. Fenomena tersebut juga menggambarkan rakyat hari ini hanya gila jabatan apalagi dengan keuntungan dan fasilitas yang mentereng yang akan diperolehnya kelak ketika mereka berhasil duduk di kursi impian menjadi anggota dewan terhormat.
Wajar jika untuk mendapatkan hal tersebut merekapun harus mengeluarkan dan mengorbankan modal yang besar demi "membeli suara" rakyat. Disisi lain demokrasi sebagai sistem yang dipilih oleh negeri ini untuk memilih para pemimpin meniscayakan harus mengeluarkan modal yang besar dan biaya yang tinggi.
Inilah akar masalah lahirnya fenomena yang terjadi berulang setiap pasca pemilu. Demokrasi dengan jargonnya dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat hakikatnya adalah sistem yang menjauhkan aturan Allah dari kehidupan. Sehingga membuat makna politik dipahami begitu kotor dan keji serta menghalalkan segala cara. Manusia saling berebut kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan dan memperkaya diri.
Sementara legalitas kekuasaan politik demokrasi kapitalisme adalah dilihat dari suara mayoritas, sehingga mengakibatkan pemilu berbiaya tinggi untuk bisa meraih suara terbanyak.
Oleh karena itu umat harus sadar dan paham, tidak membiarkan fenomena yang buruk dan rusak. Hal ini bukanlah sesuatu yang wajar dan normal, karena hal ini diakibatkan oleh sistem demokrasi kapitalisme yang berasal dari Barat.
Dalam Islam politik dimaknai sebagai pengatur dan pengurusan urusan umat, dimana kekuasaan adalah sebuah amanah yang akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah ta'ala.
Rasulullah SAW bersabda kepada Abu Dzar "Wahai Abu Dzar, engkau adalah pribadi yang lemah, sedangkan kekuasaan itu adalah amanah, dan kekuasaan itu akan menjadi penyerahan dan kehidupan di hari akhirat, kecuali mereka yang dapat menjalankan dengan baik". (HR. Muslim).
Kekuasaan dalam Islam digunakan untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah bukan untuk keuntungan dan memperkaya diri dan golongan. Metode baku dalam mengangkat seorang khalifah adalah dengan bai'at, sedangkan pemilu adalah uslub (cara) untuk memilih calon khalifah atau majelis umat dengan mekanisme yang sederhana, mudah, praktis dan pastinya tidak memerlukan biaya yang tinggi. Bahkan batas waktu kekosongan kepemimpinan dalam Islam adalah 3 hari dengan malamnya.
Para calon yang dipilih juga merupakan orang-orang yang memiliki kepribadian Islam, mampu, amanah, adil dan hanya mengharapkan keridhaan dari Allah ta'ala semata.
Wallahu a'lam bi ash-shawwab.
Oleh: Meilani Afifah
Aktivis Dakwah
0 Komentar