Topswara.com -- Dikutip dari tvonews.com, Cirebon, disebutkan bahwa dua orang timses salah satu caleg depresi usai gagal mengantarkan caleg jagoannya meraih suara. Padahal caleg di maksud di gadang gadang meraih suara tinggi untuk duduk di kursi legislatif tingkat kabupaten.
Merasa gagal mengantarkan jagoannya duduk di kursi legislatif tingkat kabupaten, keduanya sengaja datang ke padepokan Al Busthomi atau yang lebih di kenal padepokan Anti Galau.
Tekanan kepercayaan di bayar dengan kegagalan, membuat rasa putus asa menyelimutinya. Keduanya mengaku telah berjuang maksimal untuk memenangkan calon dewan yang di dukungnya.
Adapun bentuk upaya yang di lakukan, di antaranya gencar sosialisasi ke masyarakat hingga membagikan sembako serta uang tunai. Dan satu di antaranya sampai nekat mengambil kembali amplop berisi uang yang telah di bagikan saat menjelang pencoblosan di dapil 7 kabupaten Cirebon.
Pasalnya tebaran uang yang identik dengan serangan fajar itu justru berbanding terbalik dengan torehan suara yang di dapat caleg bersangkutan.
Di minta lagi tuh, orangnya pada ga bener, saya yang di marahi sama calegnya bilangnya iya iya, ternyata dibohongin. Saya di marahi sama calegnya sampai lari-lari ke mana-mana ucap salah satu timses caleg, Ibrahim, Sabtu (17/2/2024).
Fenomena depresi yang terjadi pada orang-orang yang gagal nyaleg di sebabkan pandangan mereka yang keliru terhadap jabatan. Mereka memandang jabatan ala kapitalis, yaitu tiket emas untuk memperoleh keuntungan materi.
Demi memperoleh jabatan, banyak orang harus bersaing ketat dalam kontestasi, demi memperoleh suara rakyat sebagai tiket menuju gedung dewan. Para caleg rela merogoh kocek dalam dalam.
Rakyat paham bahwa di dalam demokrasi kapitalisme, para pejabat akan mendadak kaya karena jabatannya. Oleh karenanya mereka menganggap wajar jika rakyat juga berhak mendapatkan uang atas suara yang diberikannya meski sebenarnya jumlah amplop yang di terima rakyat itu sangat kecil di bandingkan kenaikan harta pejabat yang naik drastis.
Kesalahan pandangan jabatan ini telah mengakar di tengah masyarakat. Hal ini terjadi karena prinsip sekularisme yang telah menancap kuat di tengah masyarakat. Prinsip Islam tentang jabatan pun di tinggalkan.
Islam memiliki prinsip bahwa jabatan adalah amanah yang harus di pertanggung jawabkan di hadapan Allah Ta'ala. Abu dzar berkata "Wahai Rasulullah, tidaklah engkau menjadikanku (seorang pemimpin)? Lalu Rasulullah SAW memukulkan tangannya di bahuku dan bersabda;
"Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah dan sesungguhnya hal itu adalah amanah, ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya dan menunjukkan (dengan sebaik-baiknya)", HR Muslim).
Oleh sebab itu jabatan adalah amanah, orang yang memegang jabatan sejatinya sedang memikul amanah berat yang harus ia pertanggung jawabkan kesesuaiannya dengan syariat Allah Ta'ala. Jika ia berlaku adil, yakni menetapi syariat Allah SWT, ia akan beruntung. Dan jika ia berlaku zalim, kelak ia akan menyesal di akhirat. Itulah sebabnya ketakwaan menjadi syarat mutlak bagi para pejabat.
Di dalam sistem Islam, yakni khilafah, hanya orang bertakwa yang boleh menjadi pemimpin dan pelaksana urusan umat. Sedangkan orang orang zalim dan fasik tidak boleh menjadi pejabat. Dalam Islam profil penguasanya adalah orang orang yang takut pada Allah SWT. Sehingga tidak akan mencari keuntungan pribadi di dalam jabatan nya. Profil inilah yang tampak pada diri Rasulullah Saw meski menjadi penguasa yang agung, kehidupan beliau sangat lah sederhana.
Sedangkan umumnya penguasa itu memiliki istana megah, pakaian mewah dan harta berlimpah tetapi tidak demikian halnya dengan Rasulullah SAW, beliau tetap zuhud sekalipun sudah menjadi pemimpin.
Profil penguasa yang tidak tamak terhadap jabatan ini juga di teruskan oleh Khulafaur Rasyidin. Sudah masyhur di tengah kita tentang profil Umar bin Khaththab yang bajunya tambalan dan tidur di bawah pohon kurma, sampai-sampai membuat heran utusan dari negara lain yang hendak menemuinya.
Begitu pula profil Umar bin Abdul Aziz yang menyerahkan hartanya termasuk kalung isterinya ke baitul mal, sedangkan beliau hidup sederhana. Profil penguasa yang demikian merupakan hasil bentukan sistem yaitu Islam. Oleh karenanya profil penguasa seperti Rasulullah SAW, Umar bin Khaththab tidak akan kita temui dalam sistem demokrasi kapitalis. justru model pejabat yang ada hari ini adalah penguasa korup yang gila jabatan.
Sistem Islam memiliki mekanisme pemilihan pemimpin yang khas sehingga menghasilkan pemimpin yang adil dari sisi syarat penguasa saja sudah tampak kekhasannya. Syarat penguasa dalam Islam adalah laki laki, baling, berakal, Muslim, merdeka, adil dan mampu.
Syarat adil ini maknanya adalah tidak fasik artinya sang penguasa tersebut haruslah orang yang bertakwa. Dengan demikian orang fasik yang akan menjabat tidak akan memenuhi kriteria adil tersebut. Rakyat memiliki wewenang untuk memilih pemimpin negara maupun perwakilan rakyat yang duduk di majelis umat (lembaga yang berisi wakil rakyat yang bertugas memberi nasehat pada penguasa tidak memiliki fungsi legislasi).
Namun mekanisme pemilih di dalam Islam bersifat sederhana dan praktis, tidak berbiaya tinggi dan penuh kejujuran. Tidak ada janji janji politik yang penuh pencitraan dan kepalsuan sebagai mana hari ini. Oleh karenanya tidak ada praktik politik uang dalam pemilu dari sistem Islam pemilihan berlangsung secara adil sesuai syariat.
Pemilihan yang adil di dukung oleh para calon yang berkepribadian Islam. Mereka adalah orang-orang yang bertakwa sehingga memandang jabatan adalah amanah. Sedangkan keterlibatan mereka dalam pemilihan pemimpin adalah semata mengharap ridha Allah. Dan yang terbayang setelah terpilih adalah beratnya amanah yang harus di pikul, bukan ambisi mengejar keuntungan materi.
Wallahu a'lam bish shawwab.
Oleh: Daryati
Aktivis Muslimah
0 Komentar