Topswara.com -- Sobat, empat nama Wahyu Allah yang diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah Muhammad SAW, yakni Al-Qur'an, Al-Kitab, Al-Furqan, dan Al-Dzikr. Keempat nama tersebut sangat bermakna dan merupakan satu kesatuan yang memelihara keasliannya secara keseluruhan. Semuanya adalah mukjizat abadi yang tidak pernah akan selesai dikaji.
Itu adalah pandangan atau interpretasi tertentu dalam tradisi Islam yang menyatakan bahwa empat nama wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah Al-Qur'an, Al-Kitab, Al-Furqan, dan Al-Dzikr. Namun, penting untuk diingat bahwa tidak semua sumber Islam setuju tentang daftar ini, dan ada variasi dalam pandangan dan interpretasi di antara ulama dan cendekiawan Islam.
1. Al-Qur'an: Ini adalah wahyu utama yang diyakini umat Islam sebagai firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril.
Allah SWT berfirman :
إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡقُرۡءَانَ تَنزِيلٗا
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Quran kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur.” (QS. Al-Insan (76) : 23).
Sobat, dalam ayat ini diterangkan bahwa sesungguhnya Allah telah menurunkan Al-Qur'an kepada Nabi Muhammad dengan berangsur-angsur. Al-Qur'an diturunkan selama 22 tahun lebih secara berangsur-angsur, sedikit demi sedikit. Tujuannya agar mudah dipahami, dihafal, dan diajarkan kepada para sahabat. Terkadang ayat diturunkan dengan maksud untuk menjelaskan suatu peristiwa yang terjadi yang memerlukan bimbingan dari Allah. Dengan cara berangsur-angsur itu, Al-Qur'an menjadi mantap diimani dan menambah ketakwaan mereka. Ayat ini sekaligus membantah anggapan beberapa orang bahwa Al-Qur'an merupakan sihir atau barang renungan yang bisa dipelajari, atau sebagai perkataan manusia biasa.
2. Al-Kitab: Ini juga merujuk kepada wahyu Allah, sering kali dianggap sebagai sinonim dengan Al-Qur'an, meskipun bisa juga merujuk kepada wahyu-wahyu sebelumnya yang diturunkan kepada nabi-nabi sebelum Muhammad SAW.
Allah SWT berfirman :
نَزَّلَ عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ مُصَدِّقٗا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ وَأَنزَلَ ٱلتَّوۡرَىٰةَ وَٱلۡإِنجِيلَ
“Dia menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil,” ( QS. Ali Imran (3) : 3).
Sobat, ayat ini menerangkan bahwa Tuhan yang berhak disembah itu benar-benar telah menurunkan Al-Qur'an kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantaraan Jibril, dan menegaskan bahwa sebelum menurunkan Al-Qur'an, Allah telah menurunkan pula kitab-kitab kepada para nabi terdahulu yang diutus sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW. Misalnya kitab Taurat diturunkan kepada Nabi Musa, kitab Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa dan sebagainya.
Al-Qur'an mengakui kebenaran isi kitab-kitab terdahulu sebagaimana kitab-kitab terdahulu itu membenarkan isi Al-Qur'an sesuai dengan yang diisyaratkan kitab-kitab itu. Penegasan dan pengakuan ini hanyalah secara garis besarnya saja, tidak secara terperinci, yaitu Allah telah mengutus rasul-rasul kepada umat-umat dahulu, dan Allah telah menurunkan wahyu kepada mereka, seperti Taurat, Injil dan sebagainya. Mengenai isi dari kitab-kitab itu tidak dijelaskan Al-Qur'an. Beriman kepada penegasan dan pengakuan ayat itu termasuk iman kepada Allah.
Sebagaimana halnya dengan Al-Qur'an yang mengakui bahwa telah diutus para nabi dan rasul kepada umat-umat yang terdahulu dan telah diturunkan kepada mereka kitab-kitab, maka kitab-kitab yang dahulu pun mengisyaratkan dan mengakui bahwa pada akhir zaman nanti Allah akan mengutus seorang nabi terakhir, nabi penutup dan kepada nabi itu akan diturunkan Allah pula sebuah kitab yang berisi pokok-pokok dari risalah yang dibawa nabi-nabi yang terdahulu.
Menurut ayat ini seluruh isi Taurat dan Injil adalah wahyu dari Allah, yang disampaikan kepada Nabi Musa dan Nabi Isa yang berisi pokok-pokok risalah yang dibawanya, tidak ada sedikit pun terdapat di dalamnya yang berupa perkataan karangan manusia dan sebagainya.
Mengenai Taurat yang ada sekarang bukanlah Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa, demikian pula Injil bukanlah Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa karena di dalam kedua kitab itu terdapat karangan pengikut kedua Nabi itu yang datang kemudian.
Mereka suka mengubah firman (Allah) dari tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian pesan yang telah diperingatkan kepada mereka. "Engkau (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka kecuali sekelompok kecil di antara mereka (yang tidak berkhianat), ¦(al-Ma'idah/5:13. Lihat juga an-Nisa'/4:46).
3. Al-Furqan: Ini adalah salah satu nama yang digunakan dalam Al-Qur'an untuk merujuk kepada kitab Allah atau wahyu yang membedakan antara kebenaran dan kesesatan, antara yang halal dan haram, dan antara yang baik dan buruk.
Allah SWT berfirman
تَبَارَكَ ٱلَّذِي نَزَّلَ ٱلۡفُرۡقَانَ عَلَىٰ عَبۡدِهِۦ لِيَكُونَ لِلۡعَٰلَمِينَ نَذِيرًا
“Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam,” (QS. Al-Furqan (25) : 1).
Sobat, pada ayat ini Allah memuji diri-Nya dengan menurunkan Al-Qur'an kepada Nabi Muhammad SAW yang disebutnya "hamba-Nya" untuk menjadi peringatan bagi alam semesta (manusia dan jin). Dengan pujian terhadap diri-Nya karena Dia menurunkan Al-Qur'an kepada Nabi Muhammad dapatlah dipahami bahwa Al-Qur'an itu adalah suatu kitab yang amat penting dan amat tinggi nilainya di sisi Allah karena Al-Qur'an itu adalah petunjuk dan pedoman hidup bagi makhluk-Nya yang dimuliakan-Nya yaitu manusia, sedangkan ciptaan-ciptaan lainnya, baik di langit maupun di bumi adalah untuk kepentingan manusia itu sendiri.
Pada ayat ini Allah tidak menyebut Al-Qur'an tetapi al-Furqan karena Al-Qur'an itu adalah pembeda yang hak dan yang batil antara petunjuk dan kesesatan. Al-Qur'an diturunkan untuk seluruh umat manusia di masa Nabi Muhammad dan masa sesudahnya sampai hari kiamat, karena nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad SAW hanya diutus untuk kaumnya, sedang Nabi Muhammad diutus untuk manusia di segala masa dan di semua tempat.
Demikian pula Allah tidak menyebut nama Muhammad atau Rasul-Nya tetapi menyebut "hamba-Nya" karena hendak memuliakan-Nya dengan gelar itu. Manusia yang benar-benar memperhambakan dirinya kepada Allah mengaku keesaan dan kekuasaan-Nya, taat dan patuh menjalankan perintah-Nya selalu menjadikan petunjuk-Nya sebagai pedoman hidupnya, mencintai Allah secara hakiki lebih daripada apa pun di dunia ini, itulah hamba Allah yang hakiki, hamba Allah terkandung di dalam Surah al-Furqan ini. Di dalam ayat-ayat lain Allah menyebut Nabi Muhammad SAW dengan predikat "hamba-Nya" seperti firman-Nya:
"Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya. (al-Isra`/17: 1).
Dan firman-Nya
"Dan sesungguhnya ketika hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (melaksanakan salat), mereka (jin-jin) itu berdesakan mengerumuninya. (al-Jin/72: 19).
Dan firman-Nya
"Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepada hamba-Nya dan Dia tidak menjadikannya bengkok,". (al-Kahf/18: 1).
Setelah Allah menyebutkan Diri-Nya Yang menurunkan al-Furqan kepada hamba-Nya, barulah Dia mensifati diri-Nya bahwa Dialah pemilik langit dan bumi dan yang berkuasa atas keduanya, mengutus dan mengurusnya menurut hikmah kebijaksanaan-Nya sesuai dengan kepentingan dan kemaslahatan masing-masing ciptaan-Nya itu. Allah menyatakan pula bahwa Dia tidak mempunyai anak sebagaimana dituduhkan oleh kaum Nasrani, orang-orang Yahudi dan kaum musyrikin, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
"Dan orang-orang Yahudi berkata, "Uzair putra Allah," dan orang-orang Nasrani berkata, "Al-Masih putra Allah." Itulah ucapan yang keluar dari mulut mereka. Mereka meniru ucapan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah melaknat mereka; bagaimana mereka sampai berpaling? (at-Taubah/9: 30).
Dan firman-Nya
"Maka tanyakanlah (Muhammad) kepada mereka (orang-orang kafir Mekah), "Apakah anak-anak perempuan itu untuk Tuhanmu sedangkan untuk mereka anak-anak laki-laki?" atau apakah Kami menciptakan malaikat-malaikat berupa perempuan sedangkan mereka menyaksikan(nya)? Ingatlah, sesungguhnya di antara kebohongannya mereka benar-benar mengatakan, "Allah mempunyai anak." Dan sungguh, mereka benar-benar pendusta. Apakah Dia (Allah) memilih anak-anak perempuan daripada anak-anak laki-laki? (as-shaffat/37: 149-153).
Selanjutnya Allah menyatakan lagi bahwa Dia tidak bersekutu dengan lainnya dalam kekuasaan-Nya, hanya Dia-lah yang patut disembah dan kepada-Nya sajalah manusia harus memohonkan sesuatu, bukan seperti yang dilakukan oleh manusia-manusia yang telah sesat yang menyembah makhluk-Nya seperti menyembah manusia, berhala dan benda-benda lainnya. Kemudian Allah menyatakan pula bahwa Dia-lah Pencipta segala sesuatu sesuai dengan hikmah kebijaksanaan-Nya dan mengaturnya menurut kehendak dan Ilmu-Nya.
Ringkasnya segala sesuatu dalam alam ini, baik di langit maupun di bumi adalah makhluk-Nya. Dia-lah Penciptanya, tidak ada Pencipta selain Dia tidak ada sekutu bagi-Nya yang patut disembah, semua berada di bawah kekuasaan-Nya dan tunduk patuh kepada sunnah dan peraturan yang telah ditetapkan-Nya. Janganlah sekali-kali terbayang atau terlintas dalam pikiran manusia bahwa Dia mempunyai anak atau mempunyai sekutu.
4. Al-Dzikr: Ini juga merupakan istilah yang sering digunakan dalam Al-Qur'an untuk merujuk kepada wahyu Allah atau peringatan yang diberikan kepada manusia untuk mengingat Allah, mengikuti ajaran-Nya, dan menjauhi dosa.
Allah SWT berfirman
إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr (15) : 9).
Ayat ini merupakan peringatan keras bagi orang-orang yang mengabaikan Al-Qur'an dan tidak percaya bahwa Al-Qur'an itu diturunkan Allah kepada rasul-Nya Muhammad. Seakan-akan Allah mengatakan kepada mereka, "Kamu ini hai orang-orang kafir sebenarnya adalah orang-orang yang sesat yang memperolok-olokkan nabi dan rasul yang telah Kami utus untuk menyampaikan agama Islam kepadamu,".
"Sesungguhnya sikap kamu yang demikian itu tidak akan mempengaruhi sedikit pun terhadap kemurnian dan kesucian Al-Qur'an karena Kamilah yang menurunkannya. Kamu menuduh Muhammad seorang yang gila tetapi Kami menegaskan bahwa Kami sendirilah yang memelihara Al-Qur'an itu dari segala macam usaha untuk mengotorinya dan usaha untuk menambah, mengurangi dan mengubah ayat-ayatnya,".
"Kami akan memeliharanya dari segala macam bentuk campur tangan manusia terhadapnya. Akan datang saatnya nanti manusia akan menghafal, membaca, mempelajari, dan menggali isinya, agar mereka memperoleh dari Al-Qur'an itu petunjuk dan hikmah, tuntunan akhlak dan budi pekerti yang baik, ilmu pengetahuan dan pedoman berpikir bagi para ahli dan cerdik pandai, serta petunjuk ke jalan hidup di dunia dan di akhirat nanti."
Jaminan Allah SWT terhadap pemeliharaan Al-Qur'an itu ditegaskan lagi dalam firman-Nya
"Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya. (as-shaff/61: 8).
Mengenai jaminan Allah terhadap kesucian dan kemurnian Al-Qur'an serta penegasan bahwa Allah sendirilah yang memeliharanya terbukti dengan memperhatikan dan mempelajari sejarah turunnya Al-Qur'an, cara-cara yang dilakukan Nabi saw ketika menyiarkan, memelihara, dan membetulkan bacaan para sahabat, melarang menulis selain ayat-ayat Al-Qur'an, dan sebagainya. Kemudian usaha pemeliharaan Al-Qur'an ini dilanjutkan oleh para sahabat, tabiin, dan oleh setiap generasi kaum Muslimin yang datang sesudahnya, sampai sekarang ini.
Untuk mengetahui dan membuktikan bahwa Al-Qur'an yang sampai kepada kita sekarang terpelihara kemurniannya, diterangkan dalam sejarah Al-Qur'an, baik di masa Rasulullah maupun di zaman sahabat, dan usaha kaum Muslimin memeliharanya pada saat ini. Di sisi lain otentisitas Al-Qur'an dapat dilacak dari sejarah penulisan dan bacaannya.
Pertama
Al-Qur'an diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW dalam waktu kurang lebih 23 tahun. Setiap turun ayat, Nabi menyuruh para sahabatnya menghafal dan menuliskannya di batu, kulit binatang, dan pelepah kurma. Nabi memiliki beberapa orang sahabat yang bertugas menulis wahyu dan mendampingi beliau ketika turun ayat. Di antara penulis wahyu itu adalah Zaid bin sabit, Ali bin Abi thalib, Utsman bin 'Affan, Ubay bin Ka'ab, dan lain-lain.
Setiap ayat turun, Nabi menjelaskan kepada para penulis wahyu di bagian mana dari ayat-ayat yang turun lebih dulu atau di surah apa ayat itu diletakkan dan ditulis. Beliau melarang para sahabat menulis selain Al-Qur'an, baik itu penjelasannya yang menjadi tafsir dari ayat atau keterangan yang ditulis oleh para sahabat itu sendiri. Hadis Nabi SAW seperti diriwayatkan Abu Sa'id al-Khudri:
"Jangan kalian menulis dariku apapun selain Al-Qur'an. Barang siapa yang menulis selain Al-Qur'an, hendaklah dia menghapusnya. (Riwayat Muslim).
Larangan secara umum itu adalah untuk menjaga kemurnian tulisan Al-Qur'an agar tidak bercampurbaur dengan tulisan-tulisan lain selain Al-Qur'an, baik bersumber dari Nabi SAW maupun sahabat. Namun demikian, ada beberapa sahabat yang memang pandai baca tulis, menuliskan ucapan-ucapan Rasul sebagai penafsiran Al-Qur'an dan catatan mereka, seperti 'Abdullah bin 'Umar, 'Abdullah bin Mas'ud, Ali bin Abi thalib, Ibnu Abbas, dan lain-lain.
Selain ditulis oleh para penulis wahyu dan sebagian sahabat, Al-Qur'an juga dihafal oleh para sahabat dan diwajibkan membacanya dalam salat.
Mengingat pentingnya peran tulis baca dalam menjaga otentisitas atau kemurnian Al-Qur'an, Nabi sangat menghargai orang-orang yang bisa tulis baca, dan menganjurkan sahabat-sahabatnya untuk mempelajarinya. Setelah Perang Badar, Nabi memanfaatkan para tawanan perang Badar yang pandai baca tulis untuk menebus dirinya dengan mengajar baca tulis 10 orang anak-anak muslim. Dengan keputusan Rasul ini, semakin banyak orang yang bisa baca tulis, makin banyak pula orang yang bisa mencatat dan menghafal Al-Qur'an.
Dengan demikian, ada tiga faktor yang membantu menjaga kelestarian tulisan dan bacaan Al-Qur'an
1. Tulisan atau naskah yang ditulis para penulis wahyu.
2. Hafalan dari para sahabat yang sangat antusias menghafalnya.
3. Tulisan atau naskah pribadi yang ditulis oleh para sahabat yang sudah lebih dulu pandai baca tulis seperti 'Abdullah bin 'Umar, 'Abdullah bin Mas'ud, Ali bin Abi thalib, dan lain-lain.
Selain tiga faktor di atas, Malaikat Jibril selalu mengecek bacaan Al-Qur'an Rasulullah setiap tahun. Ketika pengecekan, Rasulullah disuruh mengulang bacaan Al-Qur'an yang telah diturunkan. Bahkan sebelum wafat, Malaikat Jibril mengecek dua kali.
Nabi sendiri sering mengecek bacaan sahabatnya. Mereka disuruh membaca Al-Qur'an di hadapannya, dan beliau membetulkan bacaan mereka.
Nabi wafat sesudah Al-Qur'an selesai diturunkan dan telah dihafal oleh orang banyak menurut tertib susunan Al-Qur'an yang kita baca sekarang ini, sesuai dengan petunjuk yang diberikannya ketika membaca Al-Qur'an, baik di dalam maupun di luar salat. Dengan cara pengamalan yang praktis di atas, Al-Qur'an bisa terpelihara kemurniannya dan tersebar dengan mudah di masyarakat.
Sesudah Rasulullah SAW wafat, para sahabat sepakat memilih Abu Bakar sebagai khalifah. Pada permulaan masa pemerintahannya banyak di antara orang-orang Islam yang belum kuat imannya menjadi murtad dan ada pula di antara mereka mendakwakan diri menjadi nabi. Oleh karena itu, Abu Bakar memerangi mereka.
Dalam peperangan ini telah gugur 70 orang penghafal Al-Qur'an dan sebelum itu telah gugur pula beberapa orang. Atas anjuran Umar bin Khathab dan diterima oleh Abu Bakar, maka Zaid bin Sabit ditugaskan menulis kembali Al-Qur'an yang naskahnya telah ditulis pada masa Nabi dan didukung oleh hafalan para sahabat yang masih hidup. Setelah selesai menuliskannya dalam lembaran-lembaran, diikat dengan benang, tersusun menurut urutan yang telah ditetapkan Rasulullah, mushaf itu kemudian diserahkan kepada Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal, mushaf ini diserahkan kepada penggantinya Umar bin al-Khaththab. Setelah Umar meninggal mushaf ini disimpan di rumah Hafsah, putri Umar dan istri Rasulullah, sampai kepada masa pembukuan Al-Qur'an di masa khalifah Utsman bin 'Affan.
Di masa khalifah Utsman bin 'Affan, daerah pemerintahan Islam telah sampai ke Armenia dan Azerbaijan di sebelah timur dan Tripoli di sebelah barat. Dengan demikian, para sahabat waktu itu telah terpencar-pencar di Mesir, Syria, Irak, Persia, dan Afrika. Ke mana mereka pergi dan di mana mereka tinggal, Al-Qur'an Al-Karim itu tetap menjadi imam mereka, di antara mereka banyak yang hafal Al-Qur'an. Mereka mempunyai naskah-naskah Al-Qur'an, tetapi naskah-naskah yang mereka miliki itu tidak sama susunan surah-surahnya karena dicatat sesuai dengan pemahaman mereka atau masih bercampur dengan penjelasan-penjelasan Rasul sebagai tafsirnya.
Hal ini menimbulkan pertikaian tentang bacaan Al-Qur'an di antara mereka. Asal mula perbedaan bacaan ini ialah karena Rasulullah sendiri memberi kelonggaran kepada kabilah-kabilah Arab yang berada di masanya, untuk membacakan dan melafazkan Al-Qur'an itu menurut dialek mereka masing-masing. Kelonggaran ini diberikan Nabi supaya mereka mudah mengucapkan dan menghafal Al-Qur'an, tetapi kemudian timbul kekhawatiran bahwa pertikaian tentang bacaan Al-Qur'an ini kalau dibiarkan saja akan mendatangkan perselisihan dan perpecahan yang tidak diinginkan di kalangan kaum Muslimin.
Orang yang mula-mula menunjukkan perhatiannya tentang hal ini adalah seorang sahabat yang bernama Huzaifah bin Yaman. Beliau ikut dalam peperangan menaklukkan Armenia dan Azerbaijan. Selama dalam perjalanan, ia pernah mendengar kaum Muslimin bertikai tentang bacaan beberapa ayat Al-Qur'an dan pernah mendengar perkataan seorang muslim kepada temannya, "Bacaan saya lebih baik daripada bacaanmu."
Ketika hal ini disampaikan kepada Khalifah Utsman bin 'Affan, beliau langsung menyetujui dilakukannya penulisan Al-Qur'an, maka segera dibentuk tim yang terdiri dari para penulis wahyu, seperti Zaid bin sabit yang menjadi ketua tim, 'Abdullah bin Zubair, Sa'id bin 'As dan 'Abdurrahman bin Haris bin Hisyam, dan lain-lain.
Mushaf yang berisi lembaran bertuliskan Al-Qur'an, yang pernah disusun oleh Khalifah Abu Bakar, dan disimpan di rumah Hafsah, diminta kembali oleh Utsman. Karena tim ini bertugas menyalin kembali tulisan Al-Qur'an yang ada di mushaf tersebut dan menyeragamkan bacaan dan tulisannya. Hasil kerja tim ini akan menjadi acuan dan rujukan bagi bacaan Al-Qur'an umat Islam di seluruh dunia.
Dalam menjalankan tugasnya, tim ini memberlakukan syarat-syarat berikut
1. Tidak ditulis kecuali yang diyakini betul-betul Al-Qur'an, dengan mengacu pada tulisan dan hafalan sahabat.
2. Tidak ditulis kecuali ayat-ayat yang diyakini tidak pernah dinasakh.
3. Jika ada kata yang memiliki beberapa bacaan berbeda, maka ditulis dengan dialek Quraisy karena mayoritas Al-Qur'an ditulis dalam dialek itu.
4. Jika ada dua bacaan berbeda, tetapi bisa ditampung dalam satu tulisan, ditulis dalam satu tulisan seperti malik dan malik.
Mushaf yang sudah diseragamkan bacaannya itu dikenal dengan nama al-Mushaf al-Imam atau al-Mushaf al-'Utsmani. Mushaf ini digandakan menjadi lima mushaf, masing-masing dikirim ke Mekah, Syiria, Basrah, Kufah, dan sebuah ditinggalkan di Medinah.
Demikianlah Al-Qur'an itu dibukukan pada masa sahabat. Semua mushaf yang diterbitkan kemudian harus disesuaikan dengan al-Mushaf al-Imam. Kemudian usaha menjaga kemurnian Al-Qur'an itu tetap dilakukan oleh kaum Muslimin di seluruh dunia, sampai kepada generasi yang sekarang ini.
Untuk menjaga kemurnian Al-Qur'an itu di Indonesia dilakukan dalam bermacam-macam usaha, di antaranya ialah
1. Membentuk "Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an" yang bertugas antara lain meneliti semua mushaf yang akan dicetak sebelum diedarkan ke masyarakat. Tim berada di bawah pengawasan Menteri Agama.
2. Pemerintah telah mempunyai naskah Al-Qur'an yang menjadi standar dalam penerbitan Al-Qur'an di Indonesia, yang telah disesuaikan dengan Mushaf al-Imam.
3. Mengadakan Musabaqah Tilawatil Qur'an setiap tahun yang ditangani dan diurus oleh negara.
4. Usaha-usaha lain yang dilakukan oleh masyarakat muslim, seperti membentuk lembaga pendidikan, kajian, dan tahfiz Al-Qur'an
Kedua
Setelah 'Utsman bin 'Affan wafat, al-Mushaf al-Imam tetap dianggap sebagai pegangan satu-satunya oleh umat Islam dalam bacaan Al-Qur'an. Meskipun demikian, terdapat juga beberapa perbedaan dalam bacaan tersebut. Sebab-sebab timbulnya perbedaan itu dapat disimpulkan dalam dua hal:
Pertama, penulisan Al-Qur'an itu sendiri yang belum sempurna.
Kedua : Perbedaan dialek orang-orang Arab.
Penulisan Al-Quran itu dapat menimbulkan perbedaan karena al-Mushaf al-Imam ditulis oleh sahabat-sahabat yang tulisannya belum dapat dikatakan tulisan yang sempurna karena belum mendapat tanda baca dan titik. Sebagaimana yang diterangkan Ibnu Khaldun dalam bukunya "Muqaddimah Ibnu Khaldun", ia berkata, "Perhatikanlah akibat-akibat yang terjadi karena tulisan mushaf yang ditulis sendiri oleh para sahabat dengan tangannya. Tulisan itu belum sempurna, sehingga kadang-kadang terjadi beberapa kesalahan dalam memahami bacaan dari tulisan tersebut karena tanpa titik dan baris."
Adapun perbedaan dialek orang-orang Arab yang telah ditoleransi oleh Rasulullah menimbulkan macam-macam qira'at (bacaan), sehingga pada tahun 200 Hijriah muncullah ahli-ahli qira'at yang tidak terhitung banyaknya.
Di antara dialek-dialek bahasa Arab yang terkenal ialah lahjah Quraisy, Hudzail, Tamim, Asad, Rabiah, Hawazin, dan Sa'ad. Pada waktu itu muncullah para ahli qiraat yang masyhur, dan yang termasyhur ada tujuh orang, yaitu: 'Abdullah bin Amir, Abu Ma'bad 'Abdullah bin Katsir, Abu Bakar Asim bin Abi an-Najud, Abu Amr bin A'la, Nafi' bin Abi Nu'aim, Abul Hasan 'Ali bin Hamzah al-Kisa'i, Abu Jarah bin Habib Ibnu Zayyat/Hamzah. Qiraat-qiraat itu dipopulerkan orang dengan nama "Qiraat Sab'ah" (bacaan yang tujuh).
Sebagaimana diterangkan di atas, Al-Qur'an mula-mula ditulis tanpa titik dan baris, namun hal ini tidak memengaruhi bacaan Al-Qur'an karena para sahabat dan para tabiin selain hafal Al-Qur'an juga orang-orang yang fasih dalam bahasa Arab. Oleh sebab itu, mereka dapat membacanya dengan baik dan tepat. Tetapi setelah agama Islam tersiar dan banyak bangsa yang bukan Arab memeluk agama Islam, sulit bagi mereka membaca Al-Qur'an tanpa titik dan baris. Sangat dikhawatirkan bahwa hal ini akan menimbulkan kesalahan dalam bacaan Al-Qur'an.
Maka Abul Aswad Ad-Duali mengambil inisiatif untuk memberi tanda-tanda baca dalam Al-Qur'an dengan tinta yang berlainan warnanya. Tanda titik ialah titik di atas untuk fathah, titik di bawah untuk kasrah, titik sebelah kiri atas untuk dhamah, dan dua titik untuk tanwin. Hal ini terjadi pada masa Ali bin Abi thalib.
Kemudian di masa khalifah Abdul Malik bin Marwan, Nasr bin Asim, dan Yahya bin Ya'mar menambahkan tanda-tanda untuk huruf-huruf yang bertitik dengan tinta yang sama dengan tulisan Al-Qur'an untuk membedakan antara maksud dari titik Abul Aswad Ad-Duali dengan titik yang baru ini. Titik Abul Aswad adalah untuk tanda baca dan titik Nasr bin Asim adalah titik huruf. Cara penulisan semacam ini tetap berlaku pada masa Bani Umayyah, dan pada permulaan kerajaan Abbasiyah, bahkan tetap pula dipakai di Spanyol sampai pertengahan abad keempat hijriah. Kemudian ternyata cara pemberian tanda seperti ini masih menimbulkan kesulitan bagi para pembaca Al-Qur'an karena terlalu banyak titik, sedang titik itu lama kelamaan hampir menjadi serupa warnanya.
Maka al-Khalil mengambil inisiatif untuk membuat tanda-tanda yang baru, yaitu wau kecil di atas untuk dhammah, huruf alif kecil untuk tanda fathah, huruf ya kecil untuk tanda kasrah, kepala huruf sin untuk tanda syiddah, kepala ha untuk sukun dan kepala 'ain untuk hamzah.
Kemudian tanda-tanda ini dipermudah dengan dipotong dan ditambah sehingga menjadi bentuk yang ada sekarang.
Demikianlah usaha Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslimin memelihara dan menjaga Al-Qur'an dari segala macam campur tangan manusia, sehingga Al-Qur'an yang ada pada tangan kaum Muslimin pada masa kini, persis sama dengan Al-Qur'an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Ini merupakan bukti dari jaminan Allah yang akan tetap memelihara Al-Qur'an untuk selamanya.
Penting untuk diingat bahwa dalam Islam, kepercayaan pada Al-Qur'an sebagai wahyu utama adalah prinsip yang paling fundamental dan penting. Sedangkan nama lain yang disebutkan di atas dapat dilihat sebagai deskripsi tambahan atau sinonim yang digunakan untuk menggambarkan Al-Qur'an dan wahyu Allah secara umum.
Jadikan Al-Qur'an sebagai pedoman hidup kita.
Al-Qur'an dianggap sebagai pedoman utama dalam kehidupan umat Islam. Ini bukan hanya sebagai kitab suci, tetapi juga sebagai sumber hukum, etika, moralitas, petunjuk spiritual, dan pedoman untuk segala aspek kehidupan. Berikut adalah beberapa alasan mengapa Al-Qur'an dijadikan pedoman hidup dalam Islam
1. Firman Allah: Al-Qur'an diyakini sebagai firman langsung Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril. Oleh karena itu, dianggap memiliki otoritas tertinggi dalam ajaran Islam.
2. Petunjuk Hidup: Al-Qur'an memberikan petunjuk yang jelas tentang cara hidup yang baik dan benar dalam segala aspek kehidupan, mulai dari ibadah, moralitas, hubungan sosial, hingga keadilan sosial dan ekonomi.
3. Sumber Hukum: Al-Qur'an merupakan sumber utama hukum dalam Islam, bersama dengan Hadis (tradisi yang berkaitan dengan pernyataan dan tindakan Nabi Muhammad SAW) dan Ijma' (konsensus umat Islam). Hukum Islam, atau Syariah, berdasarkan pada ayat-ayat Al-Qur'an.
4. Penghiburan dan Pemimpin: Al-Qur'an mengandung penghiburan bagi umat Islam dalam situasi kesulitan dan cobaan. Ia juga berfungsi sebagai pemimpin dalam menjalani kehidupan sehari-hari, membimbing dalam mengatasi tantangan dan konflik.
5. Pengembangan Spiritual: Al-Qur'an membantu umat Islam dalam pengembangan spiritual dan koneksi dengan Allah SWT. Ayat-ayatnya memotivasi untuk beribadah, berbuat baik, dan meningkatkan kesadaran akan kehadiran Allah dalam kehidupan sehari-hari.
6. Pemeliharaan Tradisi: Al-Qur'an juga berperan dalam pemeliharaan tradisi Islam. Dengan menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman, umat Islam menjaga keutuhan ajaran agama dan mencegah penyimpangan atau inovasi yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Oleh karena itu, bagi umat Islam, mengambil Al-Qur'an sebagai pedoman hidup adalah prinsip fundamental yang membentuk cara berpikir, bertindak, dan menjalani kehidupan sehari-hari dengan berlandaskan pada ajaran agama Islam.
Dr. Nasrul Syarif M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual. Safari Ramadhan 1445 H, 25 Maret 2024 di PKT, Bontang Kaltim
0 Komentar