Topswara.com -- Toleransi menjadi isu yang tidak ada hentinya. Kini usaha memadukan semua agama kian gencar dan masif dilakukan pemerintah. Salah satunya dengan memfasilitasi pernikahan semua agama di Kantor Urusan Agama.
Pandangan Absurd
Pernikahan semua agama diwacanakan akan dilegalkan secara satu atap di Kantor Urusan Agama (KUA). Hal tersebut dinyatakan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam Rapat Kerja Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam bertajuk 'Transformasi Layanan dan Bimbingan Keagamaan Islam sebagai Fondasi Pembangunan Nasional yang Berkelanjutan' (kemenag.go.id, 27/2/2024).
Tujuannya demi mengintegrasikan pencatatan data pernikahan dan perceraian dengan lebih baik. Selama ini KUA hanya dijadikan tempat pernikahan agama Islam saja. Dan pencatatan agama lain dilakukan di pencatatan sipil.
Menteri Agama pun berpendapat, optimasi fungsi KUA mesti diperluas untuk memudahkan berbagai sektor. Menag berharap agar aula-aula KUA dapat dijadikan tempat ibadah sementara bagi non muslim yang masih kesulitan memiliki dan mengakses rumah ibadah sendiri.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu'ti mengungkapkan bahwa Menag semestinya mampu mengkaji keputusan tersebut dengan seksama (detiknews.com, 27/2/2024). Berbagai dampak dan resiko harus diperhitungkan dari awal sehingga tidak menimbulkan kekisruhan di tengah masyarakat. Demikian lanjutnya.
Lagi-lagi, program yang diwacanakan oleh Kemenag kali ini nyeleneh. Berbagai undang-undang telah menentukan aturan-aturan keabsahan pernikahan bagi kaum muslim dan non muslim. Berdasarkan Kepmenag 517/2001, KUA Kecamatan bertanggungjawab kepada Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota yang dikoordinasi oleh Kepala Seksi Urusan Agama Islam/Bimas Islam/Bimas dan Kelembagaan Agama Islam. Dan aturan ini jelas hanya mengatur urusan agama Islam dalam KUA.
Sementara, pernikahan agama lain diatur dan dicatat di pencatatan sipil. Sayangnya, setiap aturan dan kebijakan yang berlaku dengan mudahnya diubah sesuai kepentingan dan keinginan penguasa. Inilah rusaknya aturan buatan manusia yang lemah dalam konsep dan penerapannya.
Di sisi lain, alasan toleransi dan moderasi terus dimunculkan demi memenuhi pesanan global internasional. Sehingga setiap program yang dicanangkan pemerintah saat ini harus selalu ada muatan toleransi dan moderasi demi menyetarakan kedudukan semua agama.
Tentu saja, pandangan ini adalah pandangan absurd yang tidak memiliki dasar sama sekali. Pandangan yang keliru, sudah pasti akan melahirkan pemikiran dan kebijakan yang juga melenceng dari aturan yang benar. Konsep toleransi dan moderasi yang diusung saat ini, benar-benar keliru. Pencampur adukkan urusan agama menjadi sesuatu yang akan memantik beragam masalah di tengah umat.
Tidak hanya itu, pendanaan program global ini pun telah dianggarkan dengan anggaran global yang fantastis. Dan pastinya, mau tidak mau, negara harus putar otak untuk menciptakan kegiatan dan program agar dana yang tersedia mampu optimal digunakan. Tidak peduli pada resiko kekacauan dan kerusakan yang akan terjadi di tengah masyarakat.
Inilah esensi program dalam sistem sekulerisme kapitalistik. Sistem yang hanya bersandar pada pemisahan aturan syariat Islam dalam kehidupan. Pluralisme, yang merupakan anakan dari sekulerisme, selalu digadang-gadang sebagai sumber persatuan seluruh umat beragama.
Padahal nyatanya, justru berbanding terbalik. Begitu banyak kemunduran berpikir yang diderita masyarakat karena minimnya pengetahuan tentang syariat Islam yang benar. Sehingga terjadi kemunduran mental dan spiritual.
Islam Menjaga Persatuan Umat
Sejatinya, pemisahan pengadilan agama dan sipil merupakan hasil kemunduran berpikir kaum muslim sejak keruntuhan khilafah. Khilafah sebagai institusi yang menerapkan syariat Islam yang kaffah, mengalami pelemahan sejak akhir tahun 1890 hingha 1924. Hingga akhirnya aturan asing terus merangsek, memaksa masuk dalam pemikiran kaum muslim. Alhasil, hukum jahiliyah itu tegak berdiri pada tahun 1924 hingga saat ini.
Pada masa sistem Islam diterapkan, perbedaan akidah dan agama tidak pernah menjadi persoalan yang mencuat tajam. Karena negara menerapkan aturan yang amanah dalam menjaga akidah setiap rakyatnya. Institusi khilafah menerapkan pengaturan yang mengintegrasikan aturan syariat Islam yang menyeluruh. Tidak hanya bagi kaum muslim, namun juga non muslim. Dan semua ini dibuktikan sendiri oleh kaum non muslim dalam catatan sejarah.
Kekhilafahan menggambarkan kehidupan toleransi yang istimewa. Sistem Islam memberikan batasan dengan standar yang jelas tentang arti toleransi dalam kehidupan umat beragama. Sejarah merefleksikan faktanya. Wilayah Spanyol sebagai salah satu cermin hidup toleransi antara Muslim, Yahudi dan Kristen. Di India, selama kekhilafahan Abbasiyah dan Utsmaniyyah, Muslim dan Hindu hidup rukun selama ratusan tahun. Jelaslah, sistem Islam menerapkan aturannya yang sempurna sehingga mampu menciptakan kondisi kerukunan antar umat beragama tanpa saling mengganggu akidahnya.
Dalam sistem Islam, negara adalah penjamin hakiki setiap urusan umat. Sebagaimana Rasulullah SAW. bersabda,
"Imam adalah ra'in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya" (HR. Al Bukhari).
Penjagaan akidah dan ibadah adalah kewajiban negara atas semua umat. Tak terkecuali non muslim sekalipun. Karena khilafah, adil menghukumi setiap aturan sesuai aturan Allah SWT, Dzat yang Maha Mengatur dan pembuat aturan tertinggi.
Dengan adanya khilafah sebagai institusi yang menerapkan syariat Islam kaffah, niscaya melahirkan kehidupan penuh berkah.
Wallahu a'lam bisshawwab.
Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor
0 Komentar