Topswara.com -- Kondisi hutan saat ini sungguh sangat mengenaskan. Sudah tidak dipungkiri lagi, kerusakan hutan menjadi suatu permasalahan yang sangat memprihatinkan. Hutan saat ini sudah banyak yang beralih fungsi sehingga akan mengancam kelangsungan manusia dan juga lingkungan.
Banyak hutan yang kini menjadi gundul akibat ulah manusia egois dengan melakukan penebangan liar dan juga alih fungsi lahan, tanpa disadari hal ini akan menjadi sumber bencana bagi kehidupan. Bukan hanya manusia yang terancam, namun juga ekosistem makhluk hidup lain akan terancam. Hal tersebut karena hutan merupakan ekosistem kompleks yang berpengaruh pada hampir setiap spesies yang ada di bumi.
Deforestasi (perubahan lahan hutan menjadi non hutan secara permanen) terjadi hampir diseluruh dunia, dimana kerusakan tersebut sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), hampir 7,3 juta hektar hutan diseluruh dunia hilang setiap tahunnya. Hal ini tentu akan semakin mengancam kehidupan manusia.
Hutan yang luasnya 120 juta hektar dan merupakan 60 persen luas daratan Indonesia, sebenarnya merupakan kekayaan alam yang sangat penting dan strategis (Nurrochmat, 2005).
Namun kekayaan itu tidak banyak gunanya bagi rakyat, karena pengelolaannya gagal. Menurut laporan WALHI 1993, rata-rata hasil hutan Indonesia tiap tahunnya 2,5 miliar dolar AS. Pada tahun 2005 diperkirakan hasilnya mencapai sekitar 7-8 miliar dolar AS (Agustianto, 2005).
Dari hasil hutan sejumlah itu, yang masuk ke dalam kas negara ternyata hanya 17 persen, sedangkan yang 83 persen masuk ke kantong pengusaha HPH yang tidak bertanggung jawab (Sembiring, 1994). Karena hanya menekankan produksi, wajar jika hutan Indonesia lalu dikelola seperti halnya pengelolaan tambang (mining management), sehingga aspek kelestarian berada di titik terendah, sementara kegiatan penebangan berada di titik tertinggi (Irawan, 2005).
Walhasil, hutan yang semestinya menjadi sumber kekayaan rakyat Indonesia, ternyata hasilnya hampir-hampir tidak dirasakan mayoritas rakyat karena mengalami kegagalan dalam pengelolaannya.
Penyebab dari kegagalan pengelolaan hutan selama ini adalah akibat kesalahan pembuat kebijakan, termasuk penyelewengan pelaksanaan regulasi, dan penyimpangan dalam tataran teknis di lapangan.
Kesalahan pembuat kebijakan itu sejatinya adalah kesalahan ideologis, sebab kebijakan yang terwujud dalam bentuk undang-undang dan peraturan itu tiada lain adalah ekspresi hidup dan nyata dari ideologi yang diyakini pembuat kebijakan.
Tegasnya, yang menjadi sumber utama kegagalan pengelolaan hutan selama ini adalah ideologi kapitalisme. Karakter kapitalisme yang individualis telah mewujud dalam sikap menomorsatukan kepemilikan individu (private property) sebagai premis ekonomi dalam Kapitalisme (Heilbroner, 1991).
Wajarlah jika dalam pengelolaan hutan, hutan dipandang sebagai milik individu, yakni milik pengusaha melalui pemberian HPH yang diberikan oleh penguasa. Selain mengutamakan kepemilikan individu, pendekatan kapitalisme yang hanya mementingkan kemanfaatan telah melahirkan sikap eksploitatif atas sumber daya alam seraya mengabaikan aspek moralitas (Heilbroner, 1991).
Ada beberapa ketentuan syariah Islam terpenting dalam pengelolaan hutan, diantaranya adalah :
Pertama, hutan termasuk dalam kepemilikan umum, bukan kepemilikan individu atau negara. Syariah telah memecahkan masalah kepemilikan hutan dengan tepat, yaitu hutan (al-ghaabaat) termasuk dalam kepemilikan umum (al-milkiyah al-‘ammah) (Zallum, 1983:25). Ketentuan ini didasarkan pada hadis Nabi SAW :
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal : dalam air, padang rumput [gembalaan], dan api.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 1140).
Hadis ini menunjukkan bahwa tiga benda tersebut adalah milik umum, karena sama-sama mempunyai sifat tertentu sebagai illat (alasan penetapan hukum), yakni menjadi hajat hidup orang banyak (min marafiq al-jama’ah).
Termasuk milik umum adalah hutan (al-ghaabaat), karena diqiyaskan dengan tiga benda di atas berdasarkan sifat yang sama dengan tiga benda tersebut, yaitu menjadi hajat hidup orang banyak. (Ali as-Salus, 2002:37).
Kedua, pengelolaan hutan hanya dilakukan oleh negara saja, bukan oleh pihak lain (misalnya swasta atau asing). Untuk benda-benda milik umum yang tidak mudah dimanfaatkan secara langsung, serta membutuhkan keahlian, sarana, atau dana besar untuk memanfaatkannya, seperti tambang gas, minyak, dan emas, hanya negaralah (sebagai wakil kaum muslimin) yang berhak untuk mengelolanya.
Atas dasar itu, maka pengelolaan hutan menurut syariah hanya boleh dilakukan oleh negara (khilafah), sebab pemanfaatan atau pengolahan hutan tidak mudah dilakukan secara langsung oleh orang per orang, serta membutuhkan keahlian, sarana, atau dana yang besar.
Dikecualikan dalam hal ini, pemanfaatan hutan yang mudah dilakukan secara langsung oleh individu (misalnya oleh masyarakat sekitar hutan) dalam skala terbatas di bawah pengawasan negara.
Misalnya, pengambilan ranting-ranting kayu, atau penebangan pohon dalam skala terbatas, atau pemanfaatan hutan untuk berburu hewan liar, mengambil madu, rotan, buah-buahan, dan air dalam hutan. Semua ini dibolehkan selama tidak menimbulkan bahaya dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkan hutan.
Ketiga, pengelolaan hutan dari segi kebijakan politik dan keuangan bersifat sentralisasi, sedangkan dari segi administratif adalah desentralisasi (ditangani pemerintahan propinsi/wilayah).
Meskipun pengelolaan hutan menurut syariah adalah di tangan negara, tidak berarti semua urusan hutan ditangani oleh pemerintah pusat (khilafah). Hal-hal yang menyangkut kebijakan politik, seperti pengangkatan Dirjen Kehutanan, dan kebijakan keuangan (maaliyah), ada di tangan khalifah sebagai pemimpin pemerintah pusat.
Sedangkan hal-hal yang menyangkut administratif (al-idariyah) dalam pengelolaan hutan, ditangani oleh pemerintahan wilayah (provinsi). Misalnya pengurusan surat menyurat kepegawaian dinas kehutanan, pembayaran gaji pegawai kehutanan, pengurusan jual beli hasil hutan untuk dalam negeri, dan sebagainya.
Keempat, negara memasukkan segala pendapatan hasil hutan ke dalam baitul mal (kas negara) dan mendistribusikan dananya sesuai kemaslahatan rakyat dalam koridor hukum-hukum syariah. Segala pendapatan hasil hutan menjadi sumber pendapatan kas negara (Baitul mal) dari sektor kepemilikan umum.
Mengenai distribusi hasil hutan, negara tidak terikat dengan satu cara tertentu yang baku. Negara boleh mendistribusikan hasil hutan dalam berbagai cara sepanjang untuk kemaslahatan rakyat dalam bingkai syariah Islam.
Kelima, negara boleh melakukan kebijakan hima atas hutan tertentu untuk suatu kepentingan khusus. Hima artinya kebijakan negara memanfaatkan suatu kepemilikan umum untuk suatu keperluan tertentu, misalnya untuk keperluan jihad fi sabilillah.
Maka dari itu, negara boleh melakukan hima atas hutan Kalimantan misalnya, khusus untuk pendanaan jihad fi sabilillah. Tidak boleh hasilnya untuk gaji dinas kehutanan, atau untuk membeli mesin dan sarana kehutanan, atau keperluan apa pun di luar kepentingan jihad fi sabilillah.
Keenam, negara wajib melakukan pengawasan terhadap hutan dan pengelolaan hutan. Fungsi pengawasan operasional lapangan ini dijalankan oleh lembaga peradilan, yaitu Muhtasib (Qadhi Hisbah) yang tugas pokoknya adalah menjaga terpeliharanya hak-hak masyarakat secara umum (termasuk pengelolaan hutan).
Muhtasib misalnya menangani kasus pencurian kayu hutan, atau pembakaran dan perusakan hutan. Sedangkan fungsi pengawasan keuangan, dijalankan oleh para Bagian Pengawasan Umum (Diwan Muhasabah Amah), yang merupakan bagian dari institusi Baitul Mal (Zallum, 1983).
Ketujuh, negara wajib mencegah segala bahaya (dharar) atau kerusakan (fasad) pada hutan. Ketentuan pokok ini mempunyai banyak sekali cabang-cabang peraturan teknis yang penting. Antara lain, negara wajib mengadopsi sains dan teknologi yang dapat menjaga kelestarian hutan.
Misalnya teknologi Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Negara wajib juga melakukan konservasi hutan, menjaga keanekaragaman hayati (biodiversity), melakukan penelitian kehutanan, dan sebagainya.
Kedelapan, negara berhak menjatuhkan sanksi ta’zir yang tegas atas segala pihak yang merusak hutan. Orang yang melakukan pembalakan liar, pembakaran hutan, penebangan di luar batas yang dibolehkan, dan segala macam pelanggaran lainnya terkait hutan wajib diberi sanksi ta’zir yang tegas oleh negara (peradilan).
Ta’zir ini dapat berupa denda, cambuk, penjara, bahkan sampai hukuman mati, tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya. Prinsipnya, ta’zir harus sedemikian rupa menimbulkan efek jera agar kejahatan perusakan hutan tidak terjadi lagi dan hak-hak seluruh masyarakat dapat terpelihara.
Jenis dan kadar sanksi ta’zir dapat ditetapkan oleh khalifah dalam undang-undang, atau ditetapkan oleh Qadhi Hisbah jika Khalifah tidak mengadopsi suatu undang-undang ta’zir yang khusus.
Wallahu 'alam.
Oleh: Tri S, S.Si
Aktivis Muslimah
0 Komentar