Topswara.com -- Pemerintah melalui Kementerian Keuangan, di tahun 2024 ini, akan segera memberlakukan cukai pada produk minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Hal ini telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2023.
Adapun target penerimaan pajak dari cukai ini adalah Rp4,39 triliun di tahun pertama penetapannya, yaitu 2024. Pemberlakuan cukai MBDK ini bertujuan untuk menekan salah satu faktor risiko penyebab tingginya angka penderita diabetes di Indonesia. (Tirto.id, 23 Februari 2024)
Orang Indonesia, termasuk salah satu bangsa yang menggemari penganan dan minuman manis. Terbukti dari banyaknya gerai atau kedai makanan/minuman manis yang berdiri di sepanjang jalan kota, ataupun yang dijual di berbagai toko, minimarket, supermarket, maupun mall.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran sebab kebiasaan mengonsumsi makanan manis ini disinyalir dapat menyebabkan angka penyakit diabetes semakin tinggi.
Bila merujuk data dari International Diabetes Federation (IDF), tahun 2021 terdapat 19,5 juta orang dewasa berusia 20-79 tahun adalah pengidap diabetes. Angka ini diprediksi akan naik hingga 28,57 juta penderita pada tahun 2045. Sementara itu ada sekitar 8,6 juta anak di bawah usia 19 tahun yang menderita diabetes tipe 1. Dari total angka penderita dewasa, sebanyak 73,7 persen kasus tidak terdiagnosa secara resmi oleh dokter. (Tirto.id, 5 Februari 2024)
Dalam dunia kesehatan, diabetes dibagi menjadi 2 kategori berdasarkan penyebabnya, yaitu: tipe 1dan tipe 2. Diabetes tipe 1 disebabkan oleh faktor genetik ataupun infeksi virus yang menyebabkan rusaknya sel penghasil insulin dalam pankreas.
Penderita diabetes tipe ini harus kontinu mengonsumsi hormon insulin, dengan cara menyuntikkan secara berkala ke dalam tubuhnya. Sebanyak 10 persen penderita adalah tipe ini, dan kebanyakan pasiennya adalah anak-anak.
Adapun diabetes tipe dua disebabkan kurangnya produksi hormon insulin dalam tubuh, sehingga tidak mampu memecah zat gula sederhana di dalam tubuh.
Akibatnya, terjadi penumpukan kadar glukosa dalam darah yang dapat menyebabkan berbagai komplikasi penyakit lain selain diabetes, di antaranya: stroke, gagal ginjal, serangan jantung, glaukoma, dan sebagainya. Tipe ke-2 ini banyak diderita oleh orang dewasa akibat pola hidup yang tidak sehat, serta jarang berolahraga.
Pola hidup yang tidak sehat di masyarakat, terjadi antara lain karena kurangnya pengetahuan dan literasi mereka mengenai gizi serta makanan yang sehat. Di samping itu faktor kemiskinan mengakibatkan rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan gizi untuk keluarganya.
Sebagai contoh: seorang ibu yang tidak mampu membelikan susu untuk anaknya, mengambil jalan pintas dengan memberikan minuman kental manis yang sepintas mirip dengan susu, sekadar agar buah hatinya tidak rewel karena menginginkan susu.
Padahal di dalam produk kental manis tersebut mengandung gula yang sangat tinggi. Melebihi ambang batas yang ditetapkan oleh pemerintah.
Kebiasaan mengonsumsi gula berlebihan secara terus-menerus, dalam sebuah penelitian disebutkan dapat menyebabkan kecanduan, seperti halnya narkoba, nikotin dan alkohol. Gangguan ini disebut sugar addiction, yang dapat mengganggu perilaku serta emosional penderitanya.
Karenanya, pemberlakuan cukai terhadap minuman berpemanis dalam kemasan ini, tidak serta merta akan membatasi konsumsi gula di masyarakat. Apalagi bila ditujukan untuk solusi menanggulangi angka penderita diabetes yang terus meningkat setiap tahunnya. Kebijakan yang diambil penguasa negeri ini belumlah tepat.
Selain karena masyarakat sudah telanjur candu dengan minuman manis, baik yang dibuat dari gula asli maupun pemanis buatan. Faktor kemiskinan serta rendahnya literasi dan edukasi di tengah masyarakat, menjadikan mereka tidak memiliki alternatif lain yang dapat menggantikan kebutuhan mereka akan gula.
Belum lagi dengan menjamurnya minuman-minuman manis produk industri rumahan ataupun UMKM. Serta iklan produk minuman kemasan dan yang berkarbonasi juga sangat menggiurkan bagi konsumen. Rendahnya kesadaran masyarakat akan bahaya yang mengintai, dan keamanan pangan di balik minuman itu seringkali diabaikan.
Pemberlakuan cukai MBDK pun pasti akan mendapat penentangan dari pelaku industri, karena dengan aturan itu mereka tentu akan menaikkan harga jual produk. Akibatnya volume penjualan menurun dan mereka akan merugi.
Di sisi lain cukai yang diberlakukan pemerintah pun memungkinkan untuk terbukanya peluang korupsi. Tak ada bedanya dengan pungutan pajak yang ditujukan untuk mendongkrak pendapatan negara. Keduanya akan menjadi lumbung yang menggiurkan bagi 'tikus-tikus berdasi' yang menggerogoti hak rakyat.
Hal ini semakin membuat kita ragu dengan kebijakan yang dibuat penguasa negeri ini. Benarkah untuk kemaslahatan rakyat? Sementara persoalan yang dihadapi bersifat sistemik akibat penerapan kapitalisme sekuler yang telah mengakar, termasuk soal kepatuhan masyarakat terhadap aturan yang telah ditetapkan oleh penguasa sendiri.
Oleh karena itu diperlukan upaya mendasar dan menyeluruh daripada hanya sekadar memberlakukan cukai minuman berpemanis dalam kemasan. Negara wajib membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan dengan mengonsumsi makanan/minuman yang halal dan tayib.
Serta melakukan pengawasan terhadap pelaku industri kecil dan besar dalam penggunaan bahan baku, serta proses yang dijalani sehingga menghasilkan suatu produk yang aman dikonsumsi.
Pengaturan pangan terbaik hanya ada dalam negara yang diatur dengan Islam. Karena Islam memiliki syariat halal dan haram dalam mengatur apa-apa yang akan dikonsumsi oleh umatnya. Dan bukan hanya sekadar halal, Islam mewajibkan seorang muslim untuk memilih makanan/minuman yang tayib.
Allah SWT. berfirman dalam surah Al Baqarah ayat 168, yang artinya: "Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu."
Islam juga mewajibkan negara untuk mengurus dan menjaga kesehatan rakyatnya dengan baik. Dalam hal menurunkan angka penderita penyakit degeneratif seperti diabetes, negara (khalifah) akan melakukan berbagai upaya preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Dari sisi preventif, negara akan mengedukasi rakyatnya agar memiliki pengetahuan yang memadai tentang risiko penyakit diabetes. Membangun kesadaran umat bahwa tubuhnya adalah titipan dari Sang Maha Pencipta, yang senantiasa harus tetap dijaga dengan baik kondisinya. Sehingga dengan kesadaran itu mereka hanya akan memilih mengonsumsi makanan dan minuman yang halal lagi tayib saja.
Penguasa juga akan membuat aturan dan pengawasan yang ketat terhadap setiap produsen makanan serta minuman, baik industri skala kecil maupun besar. Negara akan memberikan sanksi tegas pada siapa saja yang melanggar aturan tersebut.
Dari sisi kuratif, negara akan menyediakan layanan kesehatan serta pengobatan gratis hingga sembuh bagi penderita diabetes, sehingga tidak menimbulkan komplikasi penyakit lain bagi mereka. Dan melakukan tahap rehabilitasi medis kepada pasien diabetes berupa konsultasi kesehatan serta gizi gratis agar mereka dapat mengatur pola konsumsinya dengan tepat.
Serta yang paling penting adalah negara akan mengentaskan kemiskinan. Sehingga masyarakat dapat memenuhi kebutuhan gizinya dengan baik. Rakyat mampu membeli dan memilih makanan yang terbaik untuk kesehatan mereka beserta alternatifnya.
Untuk itu, Islam akan mewajibkan setiap laki-laki dewasa yang menjadi penanggung nafkah keluarganya untuk bekerja sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Di samping itu negara tentu saja akan membuka lapangan dan kesempatan kerja yang seluas-luasnya, sehingga tidak ada satu pun pria dewasa yang menganggur.
Kebutuhan pokok individu, seperti: pangan, sandang, dan papan, dapat diperoleh dengan harga terjangkau (murah). Selain itu kebutuhan komunal, berupa: kesehatan, pendidikan, dan keamanan, disediakan dan diselenggarakan oleh negara secara gratis. Semua pembiayaan berasal dari kas negara yang bersumber dari harta kepemilikan umum, yaitu pengelolaan sumber daya alam berupa barang tambang yang tidak terbatas jumlahnya.
Di samping itu negara juga tidak akan memberlakukan cukai atau pajak terhadap barang konsumsi ataupun yang lainnya. Kecuali, apabila negara asal bahan baku/produsen barang berasal dari negara asing, yang terikat kerjasama dengan negara Islam (muahid).
Jika mereka memberlakukan cukai untuk barang-barang yang dibutuhkan oleh rakyat negeri Islam, maka penguasa (khalifah) akan melakukan hal yang sama terhadap produk-produk kebutuhan mereka yang diproduksi oleh negeri Islam.
Semua itu karena Islam tidak mengandalkan sumber pemasukan negara dari pajak dan cukai, sebagaimana yang dilakukan negara-negara penganut kapitalisme sekuler hari ini. Sumber pendapatan negara yang diatur dengan Islam berasal dari Baitulmal yang diambil dari berbagai pos-pos kepemilikan umum dan harta negara.
Dengan demikian kesehatan yang optimal hanya dapat dirasakan oleh rakyat dalam sebuah negara yang diatur oleh aturan Islam yang kafah. Karena urusan tersebut tidak hanya diserahkan kepada masing-masing individu, akan tetapi negara memiliki kewajiban me-ri'ayah rakyatnya dengan baik dan optimal.
Wallahualam bissawab.
Oleh: Tatiana Riardiyati Sophia
Pegiat Literasi dan Dakwah
0 Komentar