Topswara.com -- Belum juga lepas dari ingatan kita, kasus perundungan di Sekolah Internasional di kawasan Serpong, Tangerang Selatan. Begitu pun yang terjadi di salah satu pondok pesantren di Jawa Timur, hingga menewaskan salah seorang santrinya.
Kini kita dikejutkan kembali, dengan perundungan yang dilakukan oleh 4 remaja putri di daerah Batam. Diduga motif pelaku perundungan karena merasa sakit hati. Pelaku melakukan pengeroyokan terhadap seorang gadis, hingga mengalami luka-luka di wajah dan badannya.
Awalnya korban ingin melindungi adiknya, namun justru menjadi sasaran empuk pelaku pengeroyokan, setelah adiknya berhasil kabur. (Tribunnews.com, 02/03/2024)
Menyikapi kasus bullying ini, pemerintah juga telah berupaya dengan mengeluarkan kebijakan, melalui Permendikbud Ristek No.46 tahun 2023, tentang Penanganan Kekerasan dalam Lingkungan Satuan Pendidikan di Indonesia.
Harapannya, melalui peraturan tersebut kasus bullying dapat diminimalisir. Namun, pada kenyataannya kebijakan yang diambil tidak berdampak apapun, dan justru kasus bullying makin merajalela.
Generasi Rentan Kekerasan
Tindakan perundungan yang dominan dilakukan oleh remaja, membuktikan bahwasannya usia tersebut sangatlah labil. Dimana mereka ingin menunjukkan jati diri, siapa diantara mereka yang paling unggul.
Tingkat emosi yang belum stabil, terkadang membuat mereka bertindak di luar nalar. Sehingga muncul kekerasan baik secara verba seperti saling mengejek, caci maki, dan lainnya. Sampai kekerasan fisik dengan menendang, memukul, bahkan sampai membunuh.
Kekerasan dari aksi perundungan ini dipengaruhi berbagai faktor. Diantaranya pertama, kemiskinan yang mendera keluarga, membuat orang tua kurang memperhatikan anak-anaknya.
Orang tua yang sibuk bekerja demi tercukupi kebutuhan keluarga, mereka melalaikan kewajiban utamanya dalam mendidik anak. Sehingga banyak anak berbuat negatif, tanpa sepengetahuan orang tuanya.
Kedua, lingkungan sekitar yang tidak kondusif. Lingkungan pertemanan sangat mudah sekali memengaruhi perilaku anak. Bahayanya, mereka berteman dengan anak yang memiliki sifat buruk. Tentu, mereka akan mudah tertular dengan perilaku temannya tersebut.
Ketiga, media sosial yang menayangkan aksi kekerasan. Anak-anak yang gemar menonton tayangan kekerasan, biasanya ingin meniru adegan-adegan serupa.
Dengan pemahaman yang kurang, mereka tak terpikir nanti akan melukai atau berakibat fatal. Parahnya, tayangan kekerasan yang tidak mendidik ini, mudah diakses oleh anak-anak. Baik melalui gadget, televisi ataupun tempat rental seperti warnet.
Keempat, pendidikan sekolah yang abai dalam mendidik karakter anak. Pada umumnya, pendidikan di sekolah hanya sekadar mentransfer ilmu, sains dan teknologi saja. Tetapi, sekolah kurang memperhatikan dalam membentuk moral anak didik yang beradab dan berakhlak mulia.
Sungguh mengerikan aksi perundungan yang kian massif ini. Tentu saja akan sangat meresahkan keluarga dan masyarakat. Sebagai orang tua, tentu akan merasa kawatir akan keamanan dan keselamatan anak-anaknya. Pasalnya, anak yang terlibat dalam kasus bullying berdampak terhadap psikis dan masa depan mereka.
Sistem Sekularisme Akar Permasalahan
Tidak heran bila kasus bullying makin marak, karena ini semua tak luput akibat dari penerapan paham kapitalisme-sekuler di negeri ini. Paham ini mengukur segala sesuatu dari nilai materi dan menjauhkan generasi dari agama.
Sekularisme meningkatkan tumbuhnya liberalisme (kebebasan). Generasi muda tak mengindahkan lagi norma, dan standar halal atau haram dalam bertingkah laku. Agama sekadar sebagai simbolis yang hanya berada di ruang tertentu yakni seputar peribadatan.
Paham kapitalisme sekularisme yang melandasi negara dalam menerapkan kebijakan dengan berbagai aturan. Maka wajar, paham yang dimasukkan dalam kurikulum pendidikan, melahirkan generasi yang jauh dari kepribadian Islam. Jadi, sistem kapitalisme sekularisme inilah yang memiliki andil besar masifnya fenomena bullying.
Islam Punya Solusi
Agar generasi jauh dari aksi perundungan baik secara verba maupun fisik. Tentu membutuhkan solusi yang komprehensif. Dengan penerapan sistem Islam secara kafah akan membentuk generasi berkepribadian Islam. Dalam hal ini butuh dukungan dan peran penting semua pihak untuk mewujudkannya.
Keluarga sebagai posisi terdekat dengan kehidupan seorang anak, maka sangat berperan penting dalam memberikan pemahaman tentang hakikat kehidupan. Bahwasannya, setiap individu wajib menjalankan Islam secara kaffah.
Sehingga anak merujuk dan mengikuti aturan Islam dan mengetahui apa tujuan hidup yang sebenarnya. Sistem pendidikan Islam juga akan membentuk karakter generasi yang berkepribadian Islam. Menyandarkan baik buruk, halal haram setiap perilakunya.
Dari individu yang menerapkan Islam kafah, maka akan terbentuk masyarakat yang Islami. Masyarakat akan saling mengingatkan dengan amar makruf nahi mungkar, bila ada perilaku yang cenderung pada keharaman.
Media sosial dilarang menayangkan segala bentuk aksi kekerasan dan tayangan lain yang dapat merusak pemikiran dan perilaku generasi. Untuk itu, media sosial harus menayangkan tayangan yang bersifat mendidik.
Negara juga akan mengawasi siapa saja yang tidak menjalankan syariat Islam. Serta memberikan sanksi tegas yang memberikan efek jera, bagi setiap tindakan kriminalitas, termasuk pelaku perundungan.
Khatimah
Oleh karena itu, dengan diterapkannya Islam secara kaffah oleh negara, maka negara akan dapat melindungi berbagai kerusakan pemikiran dan perilaku masyarakat. Terutama generasi mudanya sebagai penerus peradaban bangsa.
Wallahualam bissawab.
Tutik Haryanti
Aktivis Muslimah
0 Komentar