Topswara.com -- Impor barang-barang konsumsi melonjak menjelang Ramadhan dan Idul Fitri 2024. Plt Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, nilai impor barang konsumsi per Februari 2024 sebesar US$ 1,86 miliar atau naik 5,11 persen dibanding Januari 2023. Sedangkan dibanding Februari 2024 yang senilai US$ 1,36 miliar naik 36,49 persen. (CNBCIndonesia, 15/3/24).
Impor daging dan sapi juga terjadi sebagaimana dikemukakan Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi, bahwa impor daging dan sapi hidup dalam waktu 2 - 3 Minggu tiba. Ini merupakan bagi volume impor daging sapi yang sudah disetujui pada tahun ini sebanyak 145.250,60 ton.
Kebanyakan impor dari Australia yang bentuk sapi hidup, sedangkan bentuk daging ada dari US (Amerika Serikat), New Zealand. Impor daging sapi sebanyak 145.250,60 ton ini belum termasuk volume impor daging sapi dan daging kerbau beku penugasan pemerintah kepada BUMN Pangan. Hal ini dilakukan untuk menjaga stok pangan yang sudah ditentukan hingga akhir tahun 2024 mendatang. (CNBCIndonesia, 19/3/24).
Fenomena banjir impor menjelang lebaran merupakan hal yang cukup menyedihkan bagi negeri ini, bukannya menggencarkan ketahanan pangan dalam negeri dengan cara meningkatkan produksi dalam negeri, pemerintah malah impor terus menerus.
Mengingat Hari Raya Idul Fitri dirayakat tiap tahunnya, harusnya peningkatan kebutuhan bisa diprediksi dan di antisispasi agar stok pangan tetap stabil, sehingga terwujud ketahanan pangan seperti yang di gadang-gadangkan pemerintah selama ini.
Namun sayangnya pemerintah selalu berdalih bahwa impor adalah upaya untuk menciptakan swasembada pangan ditengah perubahan iklim dan ketersediaan lahan pertanian, serta laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dianggap berpotensi menimbulkan kelangkaan pangan. Sehingga tidak ayal jika setiap menjelang lebaran harga komoditas naik dan impor digencarkan.
Ada yang cukup menggelitik dari statement pemerintah, yang menyebut bahwa impor merupakan langkah terakhir dalam memenuhi kebutuhan pangan, tetapi pada faktanya impor suduh cukup familiar di lakukan pemerintah bahkan seolah menjadi tradisi tiap tahun menjelang hari raya. Seolah tidak ada jalan keluar lain untuk mengantisipasi kelangkaan pangan selain impor.
Padahal ketergantungan pada impor sejatinya mengancam kedaulatan negara
Benar, untuk menciptakan kemandirian pangan harus membutuhkan keberanian dan dana yang cukup besar, hanya saja hal ini cukup sulit mengingat sistem ekonomi yang diterapkan saat ini adalah sistem kapitalisme yang mengamini swastanisasi komoditas pangan oleh para kapital yang mengendalikan sektor hulu hingga hilir.
Makin diperparah dengan status negara yang hadir hanya sebagai regulator penghubung antara para korporasi dengan rakyat. Bukan sebagai pelayan rakyat, yang melayani seluruh kebutuhan rakyat.
Berbeda halnya dengan sistem Islam yang memiliki konsep politik ekonomi yang didalamnya mengatur penjaminan dan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat secara menyeluruh. Termasuk dalam ketahanan dan kedaulatan pangan agar ketersediaan tetap stabil.
Prinsip pertama yang di lakukan negara adalah optimalisasi produksi dengan mendorong para petani atau peternak lokal bisa berproduksi dengan maksimal dengan memberikan subsidi pada rakyat yang membutuhkan termasuk petani dan peternak yang kurang modal atau tidak memiliki modal.
Kedua, memanajemen logistik dengan memperbanyak cadangan pangan ketika produksi sedang melimpah, dan mendistribusikannya secara selektif pada saat ketersediaannya mulai berkurang. Ketiga mengurangi konsumsi bahan pangan yang ketersediaannya mulai kurang dengan melakukan adaptasi gaya hidup, dan yang keempat analisis kerawanan pangan seperti perubahan iklim hingga mitigasi rawan bencana.
Hal ini di dukung pula oleh ketersediaan infrastruktur, sarana dan prasarana memadai seperti jalan, jembatan, alat transportasi dan lain-lain yang diadakan negara untuk mensupport para petani dan peternak agar meningkatkan produksinya dengan baik dan maksimal.
Kemudian negara wajib mengawasi pendistribusian bahan pangan tersebut agar tidak ada pihak-pihak yang bermain monopoli, sehingga mengakibatkan kenaikan harga yang tidak wajar di pasaran.
Dengan demikian negara jelas akan lebih mandiri dan berdaulat, tidak bergantung pada impor dan mampu mewujudkan ketahanan pangannya sendiri.
Wallahu aalam Bishawab []
Oleh: Nur Octafian Nalbiah L, S.Tr. Gz.
Aktivis Muslimah
0 Komentar