Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Anggaran Keuangan Sistem Kekhilafahan: Efektif, Efisien, dan Menyejahterakan

Topswara.com -- Sebagai sebuah negara merdeka yang benar-benar merdeka, khilafah Islamiah memiliki konsep Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sangat efektif dan efisien mewujudkan keadilan dan kesejahteraan ekonomi seluruh rakyat. Hasilnya pernah terbukti selama ribuan tahun sepanjang sejarah peradaban Islam dalam naungan khilafah Islamiah.

Setidaknya ada empat prinsip utama APBN Khilafah yang efektif dan efisien, sekaligus menjadi titik perbedaan mendasar dengan konsep APBN negara penganut demokrasi yang faktanya selalu gagal dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat, karena tidak efektif dan tidak efisien.

Pertama, bab tentang pos APBN khilafah bersifat tetap setiap tahun berdasarkan ketetapan syariah yang jelas dan tegas, sehingga menjadi jelas batasan mana perkara-perkara yang boleh dan mana yang haram.

Sebagai contoh, harta zakat adalah salah satu pos pemasukan tetap, hukumnya wajib. Begitu pula pengeluaran/pembelanjaannya bersifat tetap, yakni wajib hanya kepada delapan golongan penerima harta zakat berdasarkan ketentuan dalam Al-Qur'an (QS. At-Taubah [9]: 60).

Demikian juga, pos-pos pendapatan lain telah ditetapkan oleh syariah yang wajib dilaksanakan, sebagaimana telah ditetapkan pula oleh syariah pos-pos pembelanjaannya.

Karena itu, pos-pos pendapatan maupun pembelanjaan negara khilafah merupakan hukum syariah yang bersifat tetap, tidak berubah setiap tahunnya, sehingga tidak membutuhkan persetujuan dari pihak manapun. Sebab, itu merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan, bukan salah satu opsi pilihan yang boleh dimusyawarahkan.

Sedangkan APBN negara penganut demokrasi bersifat relatif yang dibuat setiap tahunnya sesuai kesepakatan bersama pemerintah dan parlemen, sehingga tidak ada kejelasan perkara yang boleh dan yang haram. 

Sebab, urusannya diserahkan pada kesepakatan yang sangat relatif sesuai kepentingan. Karenanya, hal-hal yang haram pun dipilih, seperti utang luar negeri yang ribawi maupun pajak rakyat yang zalim, lalu pada saat yang sama menjual harta hak milik umum kepada asing.

Kedua, besaran alokasi anggaran untuk masing-masing pos APBN Khilafah diserahkan kepada pendapat dan ijtihad khalifah berdasarkan ketentuan syariah yang diadopsi (diundang-undangkan) demi kemaslahatan umum sesuai dengan kebutuhan riil di lapangan, tanpa terikat oleh waktu-waktu tertentu. Dari sini, akan terwujud efisiensi dan efektifitas waktu pelaksanaan dan ketepatan sasaran anggaran.

Sedangkan alokasi APBN negara penganut demokrasi ditetapkan melalui undang-undang oleh kesepakatan pemerintah dan parlemen yang dibuat di waktu-waktu yang sudah terjadwal dan hanya berlaku untuk periode satu tahun berjalan. Prosesnya panjang dan berliku, sehingga butuh waktu lama dan biaya besar hanya untuk rapat pembahasan APBN. Hal ini jelas tidak efisien dan tidak efektif.

Ketiga, kebijakan keuangan dalam negara khilafah bersifat sentralisasi. Artinya, dana pemasukan/pendapatan dari seluruh wilayah ditarik ke pusat, kemudian didistribusikan (melalui APBN) ke masing-masing daerah secara proporsional sesuai dengan kebutuhannya masing-masing, tanpa memperhatikan jumlah pemasukan wilayah-wilayah tersebut. 

Sehingga, jika ada daerah yang sedang membutuhkan dana besar (misalnya ada pembangunan besar dan bencana alam), sementara boleh jadi pemasukannya tidak sebesar yang dibutuhkan, maka negara khilafah akan melakukan kebijakan subsidi silang. Dengan demikian, pemerataan pembangunan, pemenuhan kebutuhan dan distribusi kesejahteraan akan terwujud secara adil di seluruh daerah.

Sedangkan dalam negara penganut demokrasi, kebijakan keuangannya cenderung bersifat desentralisasi mengikuti jumlah pemasukan/pendapatan masing-masing daerah. Konsekuensinya, perkembangan pembangunan dan tingkat kesejahteraan masing-masing daerah sangat berbeda-beda sesuai dengan jumlah pemasukan daerah tersebut. 

Pada akhirnya, akan terjadi kesenjangan antara satu daerah dengan daerah lain, sebagaimana potret yang terjadi antara wilayah Indonesia Timur dengan Indonesia Barat.

Keempat, realisasi alokasi APBN khilafah secara praktis dimungkinkan di tengah jalan terjadi ketidaksesuaian. Dalam hal ini, jika pendapatan yang kurang, maka dibutuhkan kebijakan khalifah dalam menanggulanginya berdasarkan hukum-hukum syariah yang efektif dan efisien. 

Atau sebaliknya, jika yang terjadi adalah kelebihan pemasukan daripada pengeluarannya, maka kelebihan tersebut tidak harus dihabiskan, tetapi bisa dikembalikan ke APBN, atau ditahan di masing-masing daerah sebagai saldo anggaran untuk dimasukkan dalam alokasi anggaran berikutnya. Sehingga setiap dana yang terpakai bernilai produktif dan tepat sasaran.

Sedangkan dalam negara penganut demokrasi, solusi atas terjadinya pendapatan yang kurang harus kembali dibahas oleh pemerintah dan parlemen untuk menetapkan APBN Perubahan (APBN-P) dengan opsi-opsi yang tidak mengenal batasan halal-haram hukum syariah, sehingga dipilihlah kenaikan pajak pencekik rakyat dan menambah utang ribawi. 

Sementara terkait dengan pengeluaran, maka alokasi anggaran tersebut harus habis terserap. Tetapi, karena faktanya tidak semua anggaran belanja habis dan bisa diserap semua, maka dilakukanlah berbagai cara agar anggaran tersebut bisa dihabiskan begitu saja melalui kegiatan-kegiatan tak produktif dengan istilah penghabisan anggaran.

Demikianlah perbedaan yang sangat prinsip antara konsep APBN khilafah dengan APBN negara penganut demokrasi. Perbedaannya nampak seperti antara putih dan hitam. Sangat kontras. Maka, hasilnya pun sangat jauh berbeda, bagai langit dan bumi.

Perbedaan tersebut di atas menunjukkan keunggulan, efektifitas dan efisiensi APBN khilafah dalam mengurus urusan rakyat di bidang keuangan. Implementasinya pernah sukses diwujudkan oleh negara khilafah dahulu dan pasti akan kembali terwujud manakala khilafah kembali ditegakkan dalam waktu yang tidak lama lagi, insyaAllah.[]


Oleh: Meto Elfath
Aktivis Dakwah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar