Topswara.com -- Kasus bullying seakan tiada habisnya di negeri ini. Bullying pun tidak memandang usia dan gender. Perempuan yang identik dengan kelemahlembutan ternyata bisa juga melakukan aksi bullying.
Itulah yang terjadi di Batam baru-baru ini. Empat perempuan ditangkap oleh Polresta Barelang, Kepulauan Riau karena diduga melakukan bullying dengan kekerasan terhadap anak di Batam. Mereka adalah N (18), RRS (14), M (15), dan AK (14).
Sementara itu, korbannya adalah SR (17) dan EF (14). Video perundungan tersebut bahkan telah menyebar luas di media sosial. Dari penyidik diketahui bahwa motif bullying adalah karena pelaku kesal kepada korban. Pelaku juga menuduh korban mencuri barangnya. (liputan6.com, 3/3/2024)
Sanksi yang Lemah
Berdasarkan hukum di Indonesia, kasus bullying di Batam tersebut dilakukan oleh anak-anak dan orang dewasa. Mereka akan dikenai sanksi yang berbeda. Mereka yang berusia di bawah 18 tahun terkategori anak-anak sehingga sanksi yang dikenakan adalah berdasar Pasal 80 (1) jo. Pasal 76 c UU 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta. Sementara satu pelaku dewasa akan dikenakan Pasal 170 ayat (1) KUHP tentang pengeroyokan secara bersama-sama dengan ancaman penjara 7 tahun.
Penerapan hukum semacam ini membuka celah lolosnya pelaku bullying anak. Karena dipandang sebagai anak-anak, sanksi terhadap mereka menjadi longgar. Mereka bahkan bisa lolos dari hukuman. Akibatnya, tidak ada efek jera dari sanksi yang diterapkan. Bahkan, bisa memicu munculnya pelaku-pelaku bullying lainnya karena menganggap sanksi atau hukumannya rendah atau lemah.
Akibat Asuhan Sekularisme
Fakta memperlihatkan bahwa bullying tidak hanya dilakukan oleh laki-laki. Perempuan pun bisa menjadi pelaku bullying. Anak perempuan juga mampu berbuat kasar, baik secara verbal maupun fisik.
Inilah akibat dari tiadanya pengasuhan yang benar dari orang tua. Sejatinya, tugas orang tua tidak hanya memenuhi kebutuhan jasmani anak-anaknya, tetapi juga mengasuh dan mendidik mereka agar menjadi manusia yang shalih dan shalihah.
Orang tua harusnya mengajarkan anak-anak tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Orang tua juga menerapkan aturan-aturan dalam keluarga untuk ditaati bersama.
Namun, kehidupan di alam kapitalisme sekularisme telah menjadikan orang tua sibuk mengejar materi. Waktu mereka habis untuk mencari uang. Akibatnya, anak-anak menjadi telantar tanpa pengawasan.
Mereka terpapar berbagai konten negatif yang bertebaran di medsos ataupun di sekeliling mereka. Akhirnya, mereka meniru hal-hal buruk tersebut, termasuk bullying dan kekerasan.
Keluarga dalam sistem yang sekuler ini tidak menjadikan agama sebagai aturan. Anak-anak tidak atau kurang diajarkan tentang agamanya sehingga tak punya standar baku dalam kehidupan. Mereka gagap ketika menemui permasalahan dan mencari pelampiasan yang salah.
Gagalnya Pendidikan
Maraknya kasus bullying di negeri ini tidak bisa dilepaskan dari sistem pendidikan yang diterapkan. Sistem pendidikan sekularisme memisahkan kehidupan dari agama. Mereka tidak dibina hingga menjadi pribadi yang mulia dan bertakwa.
Sistem pendidikan yang sekuler ini menghasilkan generasi yang jauh dari agama. Mereka tidak menganggap penting aturan agama dalam kehidupan. Mereka tidak memahami konsep baik dan buruk sehingga berbuat sesukanya. Tidak heran bila tindakan tidak terpuji seperti bullying sangat marak.
Islam Mencetak Generasi Mulia
Islam adalah agama mulia. Ia memiliki seperangkat aturan yang mampu mencetak generasi mulia dan jauh dari kekerasan.
Melalui pendidikan berbasis akidah Islam, anak-anak dibina menjadi pribadi bertakwa dan juga tangguh dalam menjalani kehidupan. Sistem pendidikan Islam tidak bertumpu pada nilai akademik, tetapi pada pembinaan karakter yang sesuai dengan syariat. Generasi yang tak hanya maju dalam iptek, tetapi juga unggul dalam ketakwaan.
Islam juga mengondisikan anak-anak pada pola asuh yang benar. Orang tua yang telah terbina dengan akidah Islam mampu membimbing anak-anaknya sebagaimana perintah syarak.
Dengan penerapan aturan Islam, kontrol masyarakat berjalan sehingga dapat mencegah merebaknya perilaku menyimpang dari syariat. Pelanggaran atau kemaksiatan tidak akan dibiarkan karena masyarakat saling mengingatkan dan menasihati. Anak-anak pun terjaga dari segala pengaruh buruk.
Peran penting negara untuk melindungi dan menjaga generasi dari berbagai kerusakan. Negara akan melarang semua konten yang merusak seperti pornografi, liberalisme, kekerasan, kemaksiatan, dan lainnya. Tayangan-tayangan yang tidak berfaedah akan dihilangkan. Gantinya, konten-konten yang mengedukasi dan dapat meningkatkan ketakwaan pada Sang Pencipta akan diperbanyak.
Negara juga menerapkan sanksi tegas bagi pelaku kejahatan atau kekerasan. Jika pelakunya sudah balig, maka diterapkan sanksi padanya. Anak-anak yang melakukan perbuatan kriminal seperti perundungan tidak dapat dikenai sanksi pidana dalam hukum Islam.
Mereka belum tergolong mukalaf atau dikenai beban hukum. Mereka tidak tidak terkena sanksi pidana Islam sebagaimana sabda Rasulullah SAW.: “Telah diangkat pena dari tiga golongan, yaitu orang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia balig, dan orang gila hingga ia berakal (waras).” (HR. Abu Dawud).
Jika pelanggaran tersebut kelalaian orang tua atau walinya, maka orang tua atau wali yang mendapatkan sanksi. Namun, jika bukan karena kelalaian orang tua atau walinya, mereka tidak dapat dihukum. Negara akan memberikan edukasi terhadap anak yang melakukan pelanggaran tersebut beserta orang tuanya.
Inilah sistem Islam yang mampu menghadirkan generasi mulia. Itu hanya bisa terwujud ketika negara menjalankan syariat Islam secara kaffah. Karena itu, mari perjuangkan sistem terbaik ini demi melindungi generasi kita dari sistem sekularisme kapitalisme yang merundung dengan keburukannya di segala sisi.
Wallahu a’lam bishshawwab.
Oleh: Nurcahyani
Aktivis Muslimah
0 Komentar